Saturday, December 21

Bowong Langit


01 Juni 2023


“Supaya tak tercemar rembesan warna yang luntur karena hujan,” elak Dusing, ketika serdadu menegur dia memasang sang saka terbalik…

Terlelap dia lama, lama sekali dari kisah yang ditutur entah sejak kapan dari moyangnya. Klak, dia berdiri di halaman yang rishi, kabut membumbung di atas ubun-ubunnya, gulita, kelam, putih, biru. Dan anak-anak bertepuk telapak meninggi, seperti yang dia sangka: ada yang menghilang dalam hutan, ada yang dia nazarkan sebagai pengganti dirinya meramu dedaun membebat setiap gores luka perkara dan angkara bengis mengangah…


Oleh: Dera Liar Alam


KITA pernah jadi negara serikat, angkatan perang berkelahi sumberdaya politik pangkat-pangkat gerilya dari belantara kota dan wanua. Rakyat mengungsi, dan tetap terjajah sampai sekarang.

Tangga di pucuk dedaun tuju awan itu Bowong Langit: pepohon di sekitar tempat anak-anak bermain telah lama tumbang jadi tambang jadi lapang – peramu daun terbabit tangki logam menebar pestisida herbisida untuk akali livelihood, Bowong Langit masih memesona dalam hijaunya – walau katak air katak dahan menjauh di rimba entah – meski juku menyingkir karena musim berganti, dan kita masih mencakar syair-syair politik membeber kegamangan leluhur nan luntur dalam kultur ingkar.

Demikian, suatu pagi manakala altar berasap dan kita semayam doa-doa kering dengan spidol kurang tinta: begitu kawan-kawan tetap menyinta, terus menyala meluruh di Arangangia.

Sekian kilometer dari sana, Udin mengeja syair: “Cundung-cundung balaho punna addekko sa’ra kudeddekngko ulu cabale balenu.” Dia terusir dari ladang dari sawah dari rimba meruah dedaun ranting-ranting yang dipatah tanda. Meraung terompet daun aren daun nyiur batang padi pecah. Jadi tikus, jadi topeng, jadi patung, peringatan kaum malang nan gunda.

“Kami suraro, diajar berkelahi, berontak tak pernah menyerah,” urai Uttu, mengisah meriam mortir rocket launcher hadang tank, memelanting panzerkampfwagen. Di bibirnya keretek dan salak mesin perang seumpama ledak-ledak di musim teror.

Tene’ dan Rio. Berkarib sekian zaman, mereka mandi setengah telanjang di rindang Gallang. Pagi berkabut, sejuk, dingin sangat.

Mantera bercampur kecipak lumpur. Orang-orang lewat, memberi salam: “Teruslah bergerilya, menabur benih.”

Gertak senapan, orang-orang terpinggir. Rumah Singgah, lampu redup, lima berkisah, bisik-bisik. Ada dua lelaki menyelinap di kolong, seseorang menyandang golok, menutup wajah dengan sarung. Kemudian topeng-topeng menuju rimbun, berlari, lekas, tangkas, membuat setapak baru, senyap.

Jauh, jauh di jantung rimba, di sana, di Bowong Langit.

Episode dirobek, gulungan dibakar. Abunya dalam gua, tumbuh jadi stalagmite jadi stalactite di Leang-Leang di lereng lurah. (*)


Bersambung