12 Maret 2023
Orang-orang laksana bulan, punya sisi gelap yang senantiasa dia sembunyikan…
Oleh: Dera Liar Alam
Gambar: Siapa bilang langit malam tak pernah biru.
SASTRA yang ‘fiktif’ memang seringkali bisa lebih ‘faktual’. Begitu diucap Soe Tjen Marching manakala saya menanggapi cuplikan salah satu puisinya: ‘Sang Istri’. Soe Indonesianis, penulis, dan feminis — dosen senior bidang Bahasa dan Kebudayaan di SOAS University of London.
Di dinding media sosial Soe, dia informasikan tentang penggalan puisi tersebut adalah bagian dari kumpulan puisi ‘Tiga Kitab’ akan terbit akhir Maret, dan puisi-puisinya merupakan kesinambungan dari penciptaan, sampai genosida ’65, pandemi Covid, lalu kiamat.
Berfikir fiktif, itu saya. Di depan jendela nako cermati cakrawala sore, entah berapa juta warna ada di sana, di atas masjid Nurul Majid, di bumbungan Siti Fatimah Hospital, di pemukiman padat dan lorong-lorong kota yang jarang sunyi – Jl. Gunung Merapi, Lajangiru.
Siapa bilang langit malam tak pernah biru? Pertanyaan berapa tahun lalu tentang tembang ‘bintang kecil di langit yang biru’. Para pengarung alam pasti tau dan yakin, mereka pernah melihat bintang di langit biru, saya juga pernah melihatnya sekian kali di ufuk berbeda, ambang pagi, ambang malam. Untuk fiksi, saya merekam gambar langit biru pada jelang malam dalam sebuah foto. Saya bagikan fotonya di sini. Bangun lebih pagi, dan anda akan berkesempatan melihat bintang di langit biru.
Depan jendela nako cermati cakrawala biru itu kental, diseling keemasan jingga dan merah. Photographer menyebut saat itu sebagai ‘blue hour’. Sambil menyatat estorie saya bercakap dengan Frans, saya ceritakan ulang peristiwa manakala di kediaman Gubernur Sulawesi di Makassar, 02 Maret 1957 — Sumual proklamasikan keadaan perang, staat van oorlog en beleg. Hadirin bertandatangan — maka, digariskan ‘Tjara-Tjara Perdjoangan: Pertama-tama dengan mejakinkan seluruh pimpinan dan lapisan masjarakat, bahwa kita tidak melepaskan diri dari Republik Indonesia, dan semata-mata diperdjoangkan untuk perbaikan nasib rakjat Indonesia dan penjelesaian bengkalai revolusi nasional’. Saya tegaskan yang mana Sulawesi pernah berdamai dalam ikatan satu provinsi. Dunia, malahan, tercipta plural dalam damai, kemudian para garong merecokinya. Itu fakta dan factual.
Jendela pantau zaman berisi fiksi: dan tercatat bagi empati dan untuk kepekaan kemanusiaan di bumi: ‘Global financial crisis, billions of human beings living below the poverty line, thousands dying needlessly from war, malnutrition or easily curable diseases and thousands more dying.’ Membela kemanusiaan jauh lebih penting ketimbang membela ketuhanan. Itu pesan silam seorang kawan.
Tentang biru dan fiktif, saya selalu suka. Karena hal itu pula, bacaan berapa tahun silam kembali saya kutip demi fiktif yang jadi nyata walau dalam kelam gulita: “Everyone is a moon, and has a dark side which he never shows to anybody,” kata Mark Twain.
Saya menyenangi teks-teks Mark Twain. Dia pseudonim dari Samuel Langhorne Clemens. Novelis, penulis, dan pengajar berkebangsaan Amerika Serikat.
Clemens tercatat lahir 30 November 1835, di Florida, Missouri. Karyanya yang terkenal The Adventures of Huckleberry Finn, The Adventures of Tom Sawyer, The Prince and the Pauper, A Connecticut Yankee in King Arthur’s Court, dan karya non fiksinya Life on the Mississippi.
Malam, langit, dan kelam. Di sana foto saya jadi fiksi. Dalam kelam, lampu-lampu merekah dan elok. Saya membayang Life on the Mississippi-nya Clemens. Memikinkan ulang apa yang disebut Soe, ‘fiktif yang faktual’.
Saya tualang, datangi pemukiman padat dan lorong-lorong kota yang jarang sunyi, menelusur samudera dan laut, datangi rimba raya, mengokang kamera. Lalu sadar apa yang disebut Soe itu mengandung kebenaran: sastra yang ‘fiktif’ memang seringkali bisa lebih ‘faktual’.
Di negeri ini, teks-teks Soe dipandang malam, biru kelam. Sistem teramat sering mencekalnya. Padahal, kata, teks, ucapan dia itu lampu di semesta. Dari foto ini saya memberi salam bebas merdeka, bagi semua makhluk, berdamailah senantiasa. (*)