30 Agustus 2022
Bila bersua di bawah rembulan sepotong, mengulang janji kerontang, bilang saja:
selamat tinggal kenangan, selamanya…
Oleh: Dera Liar Alam
Penulis adalah jurnalis penulis
Editor: Parangsula
RUANG biru itu sungai di bayang langit, pepohon rumbia sepanjang tepi, menghalau deras badai pretensi dibalut persepsi berita. Walau demikian, cinta telah melunasi caranya agar fakta memegang kendali. Meski orang-orang dan situasi merombak titian ke arah pertapaannya…
Cinta di jiwa tak dapat dihenti, apapun alasannya. Bila nanti sia-sia menanti, relakan usai. Entah jiwa menyeruak memanggil beku…
Jiwa biru nan kudus itu telah dikhianati, membikin hati luka hampa. Biru kudus itu telah cemar, dialiri nista.
Apa keliru biru membingkai rimba? Deras telah memangkas diri di tepi sepi, patah menggelayut didebar arus, meski kaku kukuh menancap akar-akar masa silam…
Mengapa kelam buta menikam malam-malam yang aku dambakan? Cinta kau beri dalam cawan bercampur tuba, racun melimpah di tiap teguk. Maka, diam aku pilih dalam sedih mendalam. Kau peluk biru sepenuh gelombang membanting pesisir nun jauh di sana, berkelana mengitar belantara mengemas hipokrisi cemas. Berharap mengerti, kau, tak mungkin.
Lalu, di sana membentang samudera, biru maha luas…
Bukan, bukan itu. Meski sama di bawah bayang cakrawala. Kita tak mungkin mengalkulasi riak mendebur lumpur pasir, dan jiwa tercerai ambisi.
Di seberang, keabadian. Maaf tiada cukup, pengampunan itu bahtera berlayar menjauhi biru, merentangkan jarak kenangan demi kenangan mati.
Biru menjadi kisah tanpa abjad yang mestinya tak tercatat tinta sejarah. Dekap aku selalu, raih dekat di jiwa…
Biru dingin, beku. Air mata meluka wajah, merobek-robek pelukan.
Di bawah bayang langit, cinta erat memikat ruang hilang. Ingin, dingin. Pergi selamanya…
(*)
You’ve completely caught up. Check again tomorrow to see more of your memories!