Saturday, July 27

Eksplorasi Proposisi Peran


23 Agustus 2022


Kebudayaan dalam segala dimensi, kalau memberi kesan abadi, justru akan dinegasi, dan kalau dianggap hancur dan tiada kepastiannya, justru menemukan bentuknya yang lebih tinggi.
diskursus kemasyarakatan & kemanusiaan


Oleh: Daniel Kaligis
Penulis adalah jurnalis penulis
Editor: Parangsula


Gambar: Kabasaran modify – pernah dianggap mengandung berhala


TANDA masih ada, walau hendak dihapus, atau dibiar hilang. Bila pernah menyimak lebih dalam prilaku yang menjalar saat ini, yakinlah, bahwa, yang abadi dari ranah peradaban dan budaya itu hanyalah perubahan. Masa silam cuma obrolan gombal, dicita-citakan untuk diulang, walau ada banyak peristiwa berulang dalam kebobrokan, namun, manusia terus mencari dan menemu baru.

Kekhasan, kemiripan masa silam, terpaksa menyesuaikan diri dengan kebutuhan sekarang, mungkin juga kebutuhan besok dalam rencana, semisal event makin mendekat yang menyorot lingkungan di mana kita berpengapa dan tinggal, serta apa yang mendukungnya dari kedalaman tak terkira, pula dari daratan yang mampu kita pandang dan maklumi.

Bagi budaya di masing-masing etnis yang berdiam di Sulawesi Utara, ada yang memberi dia tanda, bahwa kekhasan itu masih ada, dengan cara mengabadikan itu dalam sebuah acara serta beberapa dokumen yang layak kita ambil intisarinya, tentu saja bagi pengembangan seni dan budaya daerah ini ke depan.

Berkesenian sudah berlangsung saban hari, entah itu dari kerja rakyat berdasarkan kearifan tradisionalnya, atau seremoni yang mengundang para penonton untuk turut bercengkrama di sana.

Ini sebuah contoh dari aktivitas berkesenian, dan kerja – yang disebut – berkebudayaan – mungkin belum tertulis dalam kamus adat dan budaya; derap para muda di kaki Gunung Lokon yang menyuguh Burn The Cold City, awal 2008, dan menampilkan tiga group band Tomohon, yaitu, Gato, Paeyus dan Manguni Botax. Yang ini tentunya dapat mewakili rasa serta pandangan seni budaya versi anak muda kita dewasa ini di banyak tempat, tak khusus di Sulawesi Utara. Inilah menurut saya, sebuah tanda dari perubahan yang mengekal itu. Cara peradaban menemu dirinya dalam apa yang kita maui.

Berikutnya sederet pameran, yang oleh para penggagas acara itu menyebut, “Mengharap gerakan-gerakan baru. Kesadaran mencipta dan membangun diri mengisi sejarah”. Seperti itu gerak terjadi, segores tinta sejarah, isi peradaban, membudaya, kemudian terlupa, kecuali dalam lembar-lembar dokumentasi yang kerap memenuhi etalase ketaksadaran manusia.

Di titik lain, beberapa saat sebelumnya, sejak penghujung 2007 dan masih terus berlangsung sampai sekarang, ada perhelatan digagas DR Benny Josua Mamoto. Seni dan budaya diberi sarat makna gemerlap sebuah kepedulian. “Apresiasi kepada seniman dan budayawan sangat minim. Memberi apresiasi kepada para pengabdi seni budaya agar jadi daya dorong pemberi semangat bagi segenap pelaku agar terus berkreasi demi lestarinya seni budaya Sulawesi Utara,” demikian Gelegar Benito Tambulenas mengutip pernyatan Mamoto terhadap apa yang ia kerjakan. Penghargaan kemudian diberikan bagi para penggiat seni budaya di daerah.

Maka, dapat diakui, bahwa dalam peran dan kerja yang dilakonkan oleh mereka ada proses pencarian terhadap nilai-nilai yang pernah dianut, sebab ada saja satu dua nilai ternyata sudah dimangsa pergulatan zaman, luntur, dilupakan, atau sama sekali sudah ditinggalkan oleh masyarakatnya.

Lupa dalam ingatan, kelitik sebuah dialektika digelar mengenang silam, kita lalu terkenang kembali.

Berikut ini beberapa dari mereka yang beroleh penghargaan atas inisiasi DR Benny Josua Mamoto. Bernard Ginupit, seniman multi talenta dari di tanah Totabuan, Lodewyk Dirk Ngantung pelaku Kabasaran dari tanah Minahasa, Nelwan Katuuk, penggiat musik Kolintang, Hein Kaseke untuk Musik Bambu, Keryangan Odameng untuk kesenian Masamper dari gugus kepulauan di utara jazirah Sulawesi. Kemudian gagasan untuk menciptakan kain motif batu Pinawetengan. Apresiatif, dan memang mengagumkan!

Di balik itu, kemegahan diam dalam gedung, seperti kritik beberapa perupa dan pegiat seni dan budaya yang menyebut lokasi bagi mereka berkreasi sudah menjadi ‘pentungan’. Ini juga deretan pertanyaan belum beroleh jawaban, selain gema gamang. Sama seperti keraguan kita terhadap apa yang sementara kita sajikan sekarang.

Tanya kita, tanya pegiat budaya, orang-orang di banyak lokasi pertunjukan di daerah, “Berapa banyak duta-duta budaya kita yang mampu mengomunikasikan keunikan yang dipunyai Sulawesi Utara? Berapa banyak event dengan tag adat budaya yang isinya mampu mengundang semua rakyat?

Pameran lukisan dan ukiran, produk lokal, bolehlah dikata punya keunikan tersendiri; hanya sayang, kualitas dan kuantitasnya belum mampu bersaing dengan produk dari dunia luar. Kalau ada pergelaran adat dan budaya, event itu kenyataanya belum memompakan semangat baru bagi perekonomian rakyat agar dapat berpartisipasi dan beroleh seonggok rezeki.

Seperti yang pernah saya ucap di lead ‘Api Seni di Tungku Peradaban’ sebagai interupsi budaya, 17 November silam, bahwa adat dan kearifan lokal yang pernah membudaya sudah dianggap asap dan terus saja dihalau dari tanah kita, sehingga anak-anak yang lahir sekarang sepertinya ‘buta tuli’ peradaban sendiri, dan lebih suka meresapi berbagai rasa ‘tak sesungguhnya’. Seperti ‘petaka’ sirop rasa mangga, yang tanpa mangga sama sekali, atau jajanan kemasan rasa durian yang tak pernah menggunakan durian sebagai bahan bakunya.

Di banyak tempat ada event yang lebih memikat dan mampu menyedot jutaan tatap mata, demikian anak-anak kita hanyut di sana, dan merasa sebagai bagian dari peradaban itu. Langkah karya kita tersendat? Coba tanya lagi lebih dalam pada jiwa yang menggerayang liar, mencorat-coreti segala cakrawala pandang yang membikin kita berada di titik ini dan masih boleh menatap dari jendela hati miris pada sistem dendam dan menindas itu!

Dalam kilas balik tahun ini, bagi seni dan budaya lokal Sulawesi Utara, saya memang lebih banyak mengulang apa yang sudah pernah diucap sebelumnya. Mengeksplorasi proposisi logis berkesenian untuk tujuan estetika. Dan – bagi saya sendiri, sesuatu paling berharga yang dapat saya berikan adalah kritik. Supaya tak ada omel hati sebelum kita dicerca narsis tak pernah sembuh dari peradaban bumi. Agar mata boleh melek pada hal realistis dan masuk akal di khazanah – yang memang – irasional ini, dan boleh membayangkan menggambarkan menikmat ‘situasi miris’ jadi kenyataan di sekitar kita: kemiskinan, ketidakadilan yang tumbuh bersama ‘kampanye sistem bingung’ di negeri ini.

Untuk kesekian kali, tambahkan bara bagi tungku peradaban, walau nantinya dalam realita batu bara tinggal cerita, atau elpiji terus merangkak jadi persoalan kurangnya energi di negeri ini. BBM memberi judul baru pada ‘beban berganda masyarakat’. Soal tak pernah tersentuh perkara, namun marak di operasi-operasi bersandi keamanan dan keindahan hanya mampu menembus tembok-tembok penginapan kecil yang tergusur.

Ingatkah kita pada tanah dan air yang sudah diprivatisasi, juga ladang kita yang sudah dipenuhi proyek asing? Mengertikah kita mengapa tertawa lepas boleh menyembuhkan banyak penyakit masa kini, ketika kelitik budaya menyaru peran? Apa saja! Dan berikan lagi sedikit ruang bagi kebudayaan rakyat untuk bersitatap dengan hidup yang sesungguhnya, real, berkeadilan. (*)


Dimuat pada kolom Kilas-Balik Budaya:
Harian Swarakita Manado, Desember 2008