Tuesday, April 16

Berkongsi Kenangan


20 Februri 2023


Pernah, ambang malam seorang ibu muda datang di depan rumah, wajahnya lusuh. Bercerita panjang lebar tentang pekerjaannya, tentang kerabatnya yang sakit dan ia ingin menebus harga obat. Saya memberi seberapa yang ada di saku. Dia minta lagi. “Saya kerja di jalan Gunung Nona, besok saya kembalikan uang itu, anggap saja pinjaman,” urai perempuan muda itu dengan tangis tertahan. Meminjam dari kawan, saya memberinya sebagai penghiburan dan kenangan buat dirinya yang kerap menghitung jumlah setorannya seraya menyelipkan beberapa receh di kantong tak terdeteksi…


Oleh: Daniel Kaligis


Gambar: Keramaian di desk pembayaran dekat pintu masuk-keluar.


LOGIKA masker itu sebenarnya tidak berguna di mall, di restaurant, di kafe di mana saja di public space, bila yang datang hangout ternyata untuk minum – makan – ngobrol – bercengkrama bersama di lokasi seperti itu. Anda lihat sendiri, orang-orang bergerombol, ramai, duduk, berdiri, berbisik, berkelekar, atur gaya, benahi style, gantung masker di dada, taruh masker di dagu, berfoto-foto, dst. Ketika bubar mereka bergerombol di gate.

Di suatu ruang menunggu, view tertuju di meja kasir. Pemandangan memang biasa, pekerja di lokasi itu boleh jadi telah dikurangi. Maka, pelayan otomatis merangkap tukang tagih biaya alias kasir. Sarung tangan plastik lengkap sudah dikenakan, terima uang, lalu dengan tangan bersarung yang sama dia memegang gelas piring tatakan dan sebagainya. Di beberapa lokasi, menu enggan dikritisi walau misal terlalu tawar terlalu asin, atau walau dikerjakan serampangan. Begitu kelakuan pedagang asal-asalan yang utamakan keuntungan semata, dan peradaban masyarakat instan pada pasrah.

Logika tertembak, dibunuh kenang-kenangan. Saya mengambil gambar silam untuk publikasi hari ini. Kamera perekam mewartakan cerita on time, sangat mudah kita akses dalam se-per-sekian detik.

Pertanyaan dan soal sekian lama tercatat: Eksperimen alam semesta dalam revolusi angka-angka nyata, walau ‘abu-abu’ dapat didebat dalam rumus para pendusta. Agama itu matematis, religiusitas juga adalah iman fisika yang oleh kebanyakan manusia masih dianggap gaib. Perkalian ekonomi mikro makro menjadi politis, lalu di masa kini yang miskin ternyata banyak orang menjadi lebar badannya, tumbuh seperti hewan, dan jumlah neuron-nya menyusut.

Phainomenon, nama bayi yang berlaksa tarikh tak pernah dewasa. Merengek minta tanggunggugat teori-teori yang dibeli dengan persembahan. Di masa lalu hewan, sembelih. Hari ini tagihan dapat diunduh dengan mudah: tinggal gesek kartu, pencet tombol-tombol, scan barcode, isyarat-isyarat bersyarat. Disadari perang kimia yang berlangsung sekarang ini ternyata lebih dasyat berkecamuk di urat syaraf manusia-manusia, entah siapa dia, siapa mereka, siapa saja. Sehingga, orang-orang butuh penghiburan, butuh penyembuh terhadap kesakitan karena syaraf telah diracuni segala macam perang.

Kita berkongsi kenang-kenangan dalam genangan berbagai soal. Coba kita balikkan fakta, masa ini ada di zaman silam: Jika internet sudah ada di kampung seratus tahun lalu, maka perang mulut akan lebih dasyat karena banyak orang tak pernah percaya masa depan sudah tiba hari ini. Kemudian neraka dan kuda-kuda api tercipta di cakrawala seperti meteor.

Lidah pengarang karang-mengarang. Kenangan telah menjadi politis, dituduh berbagai tafsir asumsi, dan kita masih tergenang dalam kenangan. Seperti itu. (*)