Thursday, November 21

Beradat Bersarikattoulawa


12 Desember 2022


Hutan takdirnya berkebalikan dengan fenomena hutang negara dan kutang:
Hutan makin tandus, hutang kian subur, kutang sudah dicopot. Kutang: tafsir kebijakan sistem. Negara membuka seluas-luasnya kesempatan investasi yang berpotensi menelanjangi adat dan ruang rakyat, termasuk hutan adat dan hutan rakyat…


Oleh: Daniel Kaligis
Gambar: Pegunungan Lembean, di sisi kiri ketiak danau, di situ Sarikat Toulawa.


POTRET hutan di negara kita, sebagaimana dilaporankan Global Forest Resources Assessment, 2020, dirilis Food and Agriculture Organization (FAO), luas kawasan hutan lindung di Indonesia mencapai 51,7 juta hektar – menyumbang sekitar tujuh persen dari total area hutan lindung secara global. Indonesia berada di posisi ke delapan negara dengan area hutan terluas di dunia atau berkontribusi dua persen dari total area hutan global.

Mengeja Sarikat Toulawa, mengenang tou dan kayobaan: yaitu, manusia, tanah, pepohon, gunung, hutan, huma, sawah, air, danau, sungai, irigasi, dan regulasi negara terkait sumberdayanya. Sarikat Toulawa petakan hutan rakyat tangkapan air yang dibiarkan tumbuh, dikelola turun temurun dan hasilnya dibagi bersama oleh kelompok tou pemangku hak atas tanah itu di Papakelan, Minahasa dalam Indonesia sejak dulu kala.

Di masa kuliah, dekade 90-an, dari puncak tertinggi jazirah utara Sulawesi, sering saya tatap Sarikat Toulawa mengentara di area selatan gunung Klabat. Padahal, sekian kali mendaki puncak 1990 meter dari permukaan laut itu, yakni Klabat, dari sana kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Tondano tampak menarik. Muka bumi dengan variasi kontur, gunung, bukit, dataran, dan lembah; Paduan pemandangan yang mengukir keunikan tersendiri di pulau Sulawesi. Dari sana, danau Tondano terlihat seperti gitar dikitari barisan bukit dan pegunungan. Sarikat Toulawa adalah bagian dari kawasan itu, petakan yang tersambung ke perbukitan sekeliling danau.

Medio 2006 saya dan beberapa kawan datang ke sana. Memantau lebih dekat apa cerita penebangan hutan di DAS Tondano. Sarikat Tulawa, hutan yang dikelola bersama oleh orang Papakelan sejak zaman dahulu, dan dari sana air sungai Taler mengalir dan bermuara di danau Tondano. Sarikat Toulawa adalah area hutan rakyat dengan luas 489,900 meter bujursangkar dikelola turun temurun. Di sekeliling Sarikat Toulawa ada hutan negara dan ladang cengkih di beberapa wilayah kampung yang melingkupi area tangkapan air Pegunungan Lembean.

Jumat, 06 Oktober 2006. Tas punggung, kamera, GPS untuk mengambil titik koordinat, dan bekal makan-minum. Pukul 08.06 pendakian kami mulai. Jhoni Kawengian, warga Papakelan berada di depan dan bertindak sebagai penunjuk arah, menyusul Youdy Deeng, saya dan beberapa kawan.

Menyusur jalan kampung, sepanjang itu Deeng bercerita tentang ia yang mendatangi dinas kehutanan dan mengeluhkan kondisi hutan yang terus saja ditebangi. Batas kampung, di kaki pegunungan itu, tumpukan balok dan papan hasil tebangan adalah pemandangan biasa. Deeng membidikan kamera, tangannya berayun pelan merekam, lalu menerawangkan lensa hingga ke hutan yang terlihat hijau membiru dari kejauhan. Makin ke dalam kami masuk, alam hening, hanya dengkur mesin penebang terdengar jauh dalam rimba.

Di kelokan di mana ada pohon untuk berteduh, John Kawengian bercerita tentang penebangan yang sudah menjadi menu sehari-hari di sana. “Pohon sudah hampir tak bersisa, dan sepertinya tidak ada yang peduli,” dengusnya. Nanti di jalan pulang baru cerita itu dikomentari Yorry Karisoh, “Ini yang dapat kita sebut kuburan, dari luar terlihat indah, dalamnya berserakkan tulang belulang,” ujar kawan dari wanua Telap itu dengan raut kesal.

Sarikat Toulawa seumpama sajak purba. Terminologi itu menghembus aroma rimba kering dan basah, keringat para peramu, pengembara, pemburu, pemacul, penyadap nira saguer, disebarkan jauh ke seberang oleh angin badai, dirindu perantau Pegunungan Lembean. “Kanaramen,” begitu kata Jhonn Kawengian, tou Papakelan, bertutur pada saya tentang perlakuan pada hutan di dekat kampungnya. Pepohon aren, cempaka, rumpun bambu, semak, mahoni, meninggi lalu ditebangi.

Tegakan cempaka di Sarikat Toulawa, orang kampung menyebutnya nantu, kete’na – kayu keras. Aren itu seho, batangnya diolah jadi sagu manakala kemarau, sabut ijuknya dibikin tali, dibuat sapu, mayangnya diketuk, kemudian disadap sebagai saguer, minuman segar bila telah berfermentasi dapat bikin mabuk.

Obrolan di Sumikola

Kenal terminologi Sarikat Toulawa lewat forum Sumikola, yakni pertemuan orang-orang kampung di Minahasa, khususnya di seputaran Danau Tondano. Kegiatan ini eksis pertengahan 1990-an hingga awal 2000-an. Kemudian berlanjut, tetap menelusur datanya hingga hari ini.

Di Sumikola itu baku-dapa, kong bacerita. Diskusi tentang banyak soal. Dari forum Sumikola, orang-orang kampung belajar membuka wawasan, belajar hak-hak, membuka fakta-fakta dan data. Hutan, awalnya ada dalam wilayah rakyat, berada dalam hak kelola adat.

Sarikat Toulawa sesungguhnya sering saya nikmati dari belasan kilometer di seberang danau, dihalang dedaun rumbia, rumpun bambu, seho, alang-alang. Di sana, pepohon rindang pernah menjarang ratusan kali, lalu kembali, mengulang, hijau muda, membiru, melintasi musim. Sebagaimana cerita, ratusan tahun silam, bahkan ribu ketika tak tercatat, sebab Sarikat Toulawa lebih mengental di tutur turun temurun.

Dalam diskusi di Sumikola kita bahas, ‘cangkul parang untuk mengakali hidup subsisten dan berbagi dengan sesama. Di zaman silam, ego telah mendaurnya sebagai senapan mesin pembasmi untuk menjajah kemanusiaan dan semesta’. Batasnya selalu digeser regulasi negara. Dentum kebijakan membijaki ruang rakyat semakin terpinggir. Berkali-kali ditera dalam syair menyinggung Sumikola, Sarikat Toulawa dan berbagai peristiwa di Minahasa: realita tanah, realita wanua, realita kota, mimpi perkampungan di mana begitu banyak orang terusir namun dibahasakan sebagai ‘penertiban’.

Mengapa Sarikat Toulawa didiskusikan di Sumikola? Area itu kritis. Deru gergaji mesin saban waktu mendengkur, membahana dari rimba yang menjarang tegakan pohonnya. Daya dukung sumber-sumber kehidupan bagi manusia-manusia yang menempati wilayah itu sudah sangat memprihatinkan. Data Dinas Kehutanan Minahasa pada akhir tahun 1990-an hingga tahun 2000-an, luasnya 27.695,57 hektar. Jadi ada sekitar 22,88 persen dari   luas   Minahasa.

Data hutan Minahasa dibahas saban ketemu Sumikola, jadi tetapannya sudah ‘masuk kepala’, jadi hafalan. Hukum tua, perangkat desa, lurah, dan masyarakat, kebanyakan sudah tahu dan paham data terkait sumberdaya di wilayahnya, sebab ada sejumlah lembaga berkegiatan di kampung-kampung prioritas program terkait hutan dan area tangkapan air sekitar DAS Tondano.

Daftar lembaga berkegiatan di Minahasa dari penghujung 1990-an berlanjut sampai tahun 2000-an, bicara sumberdaya dan hutan, termasuk advokasi hak-hak rakyat dalam negara: Forum Patoupan Katouan (FPK), NRM-P – USAID, JICA, LP2S, Unima, Unsrat, dan seterusnya. Berikutnya ada Jaringan Kampung (Jarkam) di DAS Tondano, bersentuhan langsung dengan lembaga-lembaga yang disebut di awal.

Ada progress diberi oleh kerja-kerja lembaga yang datang di Minahasa, data dibincang berkali-kali, diulas dalam pertemuan-pertemuan di wanua membikin komunitas orang kampung beroleh informasi apa saja sumber-sumber yang ada di wilayah kelola mereka. Data sejumlah penelitian diperoleh, dalamnya terhubung para tou yang terlibat dalam kerja-kerja itu.

Laste

November 2022 silam, mendengar cerita banjir di Papakaelan. Saya mengutip kisah berita. Glady Kandouw, mengarahkan warga terdampak banjir untuk pindah lokasi sementara waktu. “Saya akan perjuangkan revitalisasi DAS Tondano tahun 2023 nanti. Saya mengingatkan agar masyarakat selalu menjaga lingkungan sekitar dengan tidak membuang sampah sembarangan, agar tidak terjadi banjir seperti ini,” kata Ketua DPRD Minahasa itu.

Di sana, puluhan rumah tergenang banjir. Syane Deeng, warga Papakelan, bilang yang mana banjir sering terjadi akibat penebangan pohon di pegunungan. “Hutan di sekitar Papakelan itu sudah gundul,” kata dia.

Bait berita di atas itu dapat anda simak di swarakawanua.id, 05 November 2022.

Belasan tahun lalu, Kawengian dan Deeng, kawan jaringan tou Papakelan, berkisah tentang perlakuan hutan zaman silam, bagaimana penanaman pohon dan hutan dijaga, hasilnya dibagi untuk kepentingan bersama. Saya membahasakannya sebagai ‘bersarikattoulawa’. Membaca cerita hari ini, sekonyong-konyong badan – regulasi – terasa dingin dan palsu. Hutan, gunung, bukit, tangkapan air telah telanjang. Sampah ada di diri masing-masing, mengalir semau-maunya. (*)