15 Desember 2023
Oleh: Dini Usman
Penulis adalah pelukis dan penulis
Editor: Parangsula
BEBERAPA kawan dekat saat kebetulan bertemu muka atau berbalas kata melalui WhatsApp, dengan rasa ingin tahu kutanyai mereka. Sebenarnya rasa gusar ini begitu parah menyelubungi pikiranku. Aku ajukan kalimat singkat, “Bagaimana perasaanmu? Apakah kau merasa terhempas?”
Semua yang mengungkapkan perasaannya menjawab cepat dan kelihatannya cukup jujur. Ya, aku tahu mereka jujur dan mengungkapkan perasaan kecewa yang mendalam di lubuk hatinya. Mengapa harus berbohong, jujur saja lebih enak.
Satu per satu dengan nada datar, kesal, marah bilang begini:
Aku tertipu, kata yang satu.
Aku tak menyangka, jawab yang satunya.
Aku merasa dikhianati, jawab yang ketiga lagi.
Aku speechless, kata yang lain.
Yang kebetulan bertemu langsung, sempat kulihat matanya memerah, cahayanya meredup menahan air mata yang tumpah, sedangkan yang tidak bertemu, kurasakan energi tulisannya begitu galau dan penuh amarah. Semuanya mungkin menyadari bahwa ketololan adalah yang paling kentara dari cara berpikir yang dipilih dengan sadar selama ini.
Bagaimana tidak, yang paling mengenaskan dari diri kita adalah menyerahkan perasaan percaya pada seseorang dalam urusan cinta individual barangkali, atau untuk urusan yang lebih luas seperti percaya pada pimpinan kita. Selain memberi kepercayaan, ada kecenderungan yang lebih ekstrim yakni membebek, menjadi pengikut, dan sebagian besar menemukan modelnya sebagai pengikut garis keras pula.
Bukankah memercayai itu sesuatu yang sakral? Sesuatu yang sangat mahal? Bukankah setidaknya kita dituntut untuk mencari tahu rekam jejak yang kongkrit?
Rekam jejak atau track record ini tidak bisa ditipu melalui propaganda, permainan di sosial media, kemasan dari para PR yang handal. Trust itu muncul dan dibangun tidak sehari, tapi karena perbuatan nyata. Titik!
Tidak karena ‘dipermainkan’ iklan tentu saja. Ia lahir dari kemewahan yang penuh kompleksitas warna dan disebabkan adanya energi dari usaha nyata, bukan diskursus atau pencitraan murahan. Usaha nyata itu tentunya berangkat dari ide yang tak usahlah cemerlang tapi setidaknya bagus, dan gagasan yang matang itu semakin dimatangkan dalam praksis.
Well, kekurangan terbesar kita adalah mudah percaya, mudah kecewa, mudah marah, mudah melupakan, mudah memaafkan, mudah dikorbankan, mudah dibujuk rayu, mudah panik, mudah menyogok, mudah menerima suap, mudah putus asa, mudah mengambil keputusan, mudah kasihan dan mudah tersinggung. Untuk segala kekurangan yang lain, silakan ditambahi sendiri kalau mau dan kalau jujur.
Aku pikir segala kekurangan itu sudah benar ada di dalam diriku. Apakah juga ada di dalam dirimu? Jika benar, pantaslah kita contoh jenis manusia yang tidak maju, sebuah bangsa yang tidak mau maju. (*)