Tuesday, April 30

Arah Juang Melawan Tergusur di Kebun Terakhir


22 Desember 2023


Hanya tafsir: panggung rakyat itu luka, dan terus didesak kekuasan dan modal dan seterusnya; Seperti itu gambar dalam renung – panggung jalanan – New York 1909, apokrifa di Petrograd, sebagaimana ditulis Temma Kaplan dalam ‘On the Socialist Origins of International Women’s Day’, bahwa beredar di lingkaran internal para kolomnis Prancis, yang mana ada seorang perempuan buruh pabrik tekstil melakukan demonstrasi pada 08 Maret 1857 di New York. Bukan, bukan itu.


Oleh: Dera Liar Alam


Editor: Parangsula
Gambar: para pemantik di panggung


BUKAN apokrifa yang itu. Sejarah perempuan adalah perjalanan maha panjang, dan malam ini, 21 Desember 2023, dia ada di pentas ‘Arah Juang’ di Jl. Manguni Raya – Tikala, Malendeng, di lantai empat Gedung Teater IAIN Manado. Dia Oma Ndio, Perempuan Petani Kalasey Dua, berseru menggugat, “Kehidupan kami dari bertani, bila mereka datang menggusur, di tanah mana lagi kami bertani? Saya akan berjuang hingga titik darah terakhir.” Ini dia ‘Arah Juang – peradaban kemanusian nonton bareng Lingkey: Tanah Terakhir’ – di sana orang-orang berjaringan berkumpul, berdiskusi, bersajak, nyanyi menyayat, kata demi kata dirajut saling menyemangati. Dalam dialek Malayu Manado, seperti ini tutur Oma Ndio itu: “Torang pe kehidupan dari bertani. Kalo dorang datang ba gusur, torang mo bertani di mana? Oma akan tetap berjuang sampe titik darah terakhir.”

Pemantik diskusi ada di panggung, Agustina Lombone, Satryano Pangkey, Abdul Muis Daeng Pawero, Kalfein Wuisan. Sambil menikmati panggung, saya mencatat – Arah Juang – film, obrolan, sajak, nyanyian, gitar di sudut ruang, orang-orang, etc: Koffietijd. Journey. Jurisdiction. Sovereignty. Journalism. Menandai soal hari ini tentang kemanusiaan semesta ditindas pembangunanisme. Nah, Agustina Lombone itulah yang disebut di atas sebagai Oma Ndio.

Proyek sejarah tutur dari Belanda di awal dekade 2000-an, memilih dua daerah di Indonesia, yakni, Bengkulu, mewakili daerah dengan budaya ‘tertutup’, dan Minahasa, mewakili daerah dengan budaya ‘terbuka’. Masih ingat ketika itu saya dan beberapa teman mewakili Swara Parangpuan, Lili Djenaan, Ijek, Jepol. Kami datang ke Kalasey – termasuk Kalasey Dua, berkeliling di sana dan bercerita dengan orang-orang di sana. Jernih dalam mindset beberapa terminologi yang diucap oleh masyarakat di sana: pengusiran di tepi Malalayang, Onderneming Lingkey, PT. Asiatic, petani pisang, petani kelapa, petani ubi, nelayan, orang mabuk. Waktu telah lama bergeser, saya masih ingat ketika resto mewah tumbuh di ujung kota di pesisir pantai di mana dulu orang-orang kampung berjualan gorengan, pisang, ubi, sukun, dan lain-lain. Bahan baku obrolan dengan masyarakat saat itu didokumentasikan sebagai bagian dari ‘sejarah tutur perjuangan perempuan’.

Manakala proyek sejarah tutur dari Belanda berlangsung, saya kebagian dua daerah tujuan untuk interview, Tokambahu di Makawidey – Kasawari, Bitung, dan di Kalasey, Minahasa.

Sebagai refleksi kasus konflik tanah di Kalasey Dua, saya memilih beberapa bait tulisan Satryano Pangkey di halaman ylbhi.or.id, ‘Kisah Petani Kalasey Dua Mempertahankan Kebun Terakhir’:

Senin, 07 November 2022, hari cukup cerah di Desa Kalasey, Minahasa. Sekitar pukul 06.00 WITA, puluhan petani sudah berjaga dan berkumpul di posko SOLIPETRA — Solidaritas Petani Penggarap Kalasey Dua. Posko berjarak kurang lebih satu kilometer dari pemukiman warga ini dibuat di areal perkebunan secara swadaya oleh petani sejak pertengahan tahun 2021. Posko ini dibuat dengan tiang penyangga dari bambu (buluh jawa) dan beratap campuran seng bekas, sisa-sisa baliho, spanduk di atas tanah seluas 10×15 m² yang lengkap dengan dapur tempat memasak. Posko yang dijadikan tempat berjaga oleh petani sekaligus tempat berembuk ini merupakan sisa wilayah perkebunan petani dari yang sudah dirampas penguasa.

Pagi itu, para petani menyempatkan diri untuk beribadah, melatunkan lagu-lagu rohani, memanjatkan doa, serta menaruh harapan agar pemerintah bisa mengurungkan niat untuk merebut tanah dari pangkuan petani.

Tak berselang lama warga beribadah, sekitar pukul 07.30 WITA warga mulai siaga. Beredar foto dan video via WhatsApp yang menunjukan ratusan aparat gabungan yang terdiri dari Brimob, Anggota Polres Manado, dan Satpol PP Sulut telah berbaris rapi dan dipersenjatai lengkap dengan pentungan dan tameng. Tujuh mobil sabhara dan satu unit mobil water canon berkumpul di jalan masuk Ring Road perbatasan memasuki Kalasey Dua.

Sejam kemudian, petani mendapat kabar aparat gabungan telah berkumpul di Kantor Desa Kalasey Dua. Saat itu, ada perwakilan dari pendamping hukum petani yang mendatangi salah satu pimpinan Polres Manado untuk berdialog dan meminta agar upaya penggusuran dihentikan karena warga masih melakukan upaya hukum dengan menggugat SK Hibah Pemrov Sulut No. 368 Tahun 2021 kepada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tentang tanah seluas 20 hektar di lahan yang sudah turun-temurun dikelola petani Kalasey Dua. “Kami juga meminta dasar hukum, surat tugas, dan perintah pengadilan atas penggusuran, tapi apa daya niat mereka sudah bulat mengawal penggusuran,” tutur penulis kala itu. “Jangan ada yang protes, kami menjalankan tugas negara,” jawab seorang polisi.

Modal mereka saat itu hanya seragam dinas yang dipersenjatai lengkap dengan alat pemukul dan bahasa yang mendaku kami penegak hukum.

Sekitar pukul 09.30 WITA, terlihat puluhan aparat polisi dan Satpol PP sudah memasuki areal perkebunan mengawal alat berat. Warga kemudian melakukan penghadangan dengan memalang jalan masuk dengan batang pohon pisang, kayu, dan bebatuan. Namun, upaya itu tidak berlangsung lama. Aparat berhasil menerobos masuk. Melihat hal itu, sontak para petani pasang badan. Ibu-ibu berada di garis depan sambil berpegangan tangan memalang aparat. Situasi waktu itu mulai mencekam.

Aparat mulai bertindak represif. Mereka berusaha menerobos masuk sampai terjadi dorong-mendorong antara aparat kepolisan dengan warga. Terlihat intel-intel polisi yang berbaju preman mulai bertindak kasar serta menarik satu-persatu orang yang dituduh provokator.

“Babi deng ngana!” (Kamu babi!)

Kata makian tersebut keluar dari mulut salah seorang polisi ditujukan pada ibu-ibu petani yang meminta aparat kepolisian untuk tidak berlaku kasar dan menghentikan upaya penggusuran.

“Ini negara hukum, barang siapa melawan akan ditindak secara tegas,” teriak anggota polisi dengan pengeras suara dari mobil komando.

Panjang cerita. Namun sebagai  gambaran soal terkini seperti yang ditulis Satryano dalam beberapa paragraf di atas. Para pemantik diskusi disoraki semangat, “Kita membaca berita di berbagai kawasan di pulau-pulau di Jawa, Kalimatan, Sumatera, dan di mana-mana tentang orang-orang tergusur. Namun, ternyata dekat dengan kita, tetangga kita, saudara kita tergusur. Pilihannya hanya dua: mati perlahan karena didera sistem, atau bangkit dan terus melawan,” kata Satriyano.

Panggung itu memang cerita panjang, dari New York, Petrograd, hingga Kalasey Dua – Arah Juang yang memutar ingatan kemanusiaan semesta, dari saat manakala kata ditera tinta, hingga saat Oma Ndio mengulang kata-katanya dengan airmata dan tetap berapi-api, “Saya akan berjuang hingga titik darah terakhir.” (*)