Thursday, December 26

Bapa Abner


28 Februari 2023


Guru Rumaikeuw, begitu orang-orang di sana mengenalnya. Mestinya ia sudah pensiun pada 01 Agustus 2012. Tapi, pada usia 62 tahun ia masih giat mengajar. Saya bertemua dia akhir 2013, kemudian mendokumentasikan foto dan tulisan ini.


Oleh: Daniel Kaligis


Gambar: Bapa Abner, usia enam dua.


LAMA tidak bertemu, samar saya memandang deretan foto Franz, seorang teman di Papua, saya bertanya, “Kalau tidak salah, itu bapa Abner Rumaikeuw, di Pasir Putih?” Franz yang menetap di Manokwari itu bilang, “Memang muka mirip dengan guru Rumaikeuw, tapi beliau itu pak Yohanes Ariks.” Pikiran saya melantur pada orang-orang yang berjuang di bidang pendidikan di negeri ini. Saya coba mencari data, sejauh ini belum beroleh dan tidak mendapat kabar tentang guru Rumaikeuw.

Kisah perjuangan yang panjang, puluhan tahun mengabdi supaya cita-cita anak-anak bangsa boleh terwujud. Abner Rumaikeuw adalah Guru SD YPK 02 Immanuel Pasir Putih. Dia punya cerita tentang kerjanya di Manokwari. Abner sudah mengabdi di dunia pendidikan sejak tahun 1973. Awalnya sebagai guru di SD YPK Sarbe, Kecamatan Babo – Bintuni.

Coba menilik kondisi dunia pendidikan di Indonesia. Dari dua rarus juta penduduk Indonesia, tercatat ada 20,89 persen yang berpendidikan hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Penduduk dengan pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama 14,54 persen. Penduduk tamatan Sekolah Dasar ada 23,4 persen. Berikutnya 11,14 persen. Sisanya belum tamat Sekolah Dasar atau tidak sekolah dan belum sekolah 23,61 persen.

Sangat miris memang, dikatakan yang mana dari sekian juta penduduk tidak sampai tujuh persen orang yang sempat duduk di jenjang pendidikan tinggi – itupun terbagi di berbagai jenjang: D1 dan D2 proporsinya 0,41 persen, D3 1,28 persen, S1 4,39 persen, S2 0,31 persen, S3 0,02 persen. Demikian data yang ditampilkan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil per Juni 2022.

Lalu apa upaya sistem dalam hal ini penyelenggara negara, penyelenggara pendidikan di negeri kita mengatasi bobrok dan latah yang sudah bertahun-tahun mengakar? Hanya dengar kabar di sejumlah daerah punya gebrakan seperti mengocok kartu sama, berulang: jam belajar ditambah, bongkar-pasang kurikulum, dan lain-lain. Berita buruknya sudah sekian kali terdengar, contohnya korupsi pengelolaan dana Ujian Nasional pada Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud.

Merdeka belajar, merdeka mengajar? Tanda tanya-nya sudah pasti sebesar tantangan untuk mencerahkan pandangan para pemimpin di negeri ini. Berita kemarin, “Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah meluncurkan Merdeka Belajar Episode 23: Buku Bacaan Bermutu untuk Literasi Indonesia di Kantor Kemendikbudristek, Jakarta, Senin, 27 Februari 2023. Buku itu diterbitkan untuk menjawab tantangan rendahnya kemampuan literasi anak-anak Indonesia akibat kurangnya kebiasaan membaca sejak dini.” Begitu ditulis di Tempo. Suara-suara dari pelosok memuji-muji.

Sekolah-sekolah yang memurahkan harga gaji guru itu bukan cerita baru. Demikian juga kisah guru Rumaikeuw adalah cermin tersebar di berbagai lokasi negeri ini yang enggan memerdekakan pendidikan sebagaimana semangat merdeka belajar yang dipuji-puji itu. (*)