08 Februari 2024
Suatu malam di warung tepi laut saya menulis sajak: Kabir malammu, bintang kelana di atas laut hitam arus menampar. Empat lelaki duduk di pemecah gelombang, obrolannya tanjung: Tanjung Abila, Tanjung Warpandai, Tanjung Kalisalang, Tanjung Hambaroi. Penyadap nira lelah, diam, bicara dengan dirinya di bawah pokok lontar.
Entah siapa, mereka dari titik biru, darah mendidih seberangi sejumlah negeri, membangun dermaga, menulis cerita. Puisi tentang asap yang tak pernah genap dan tak kunjung tamat, senantiasa kumat…
Oleh: Dera Liar Alam
Gambar: Sampan, anak-anak laut, dan gunung yang membayang.
ARA BUNNA itu asap, kosakata dalam dialek Lamma. Senja terik di Kakamauta, kami di persimpangan arah Lamma, sepanjang pagi dan siang menyusur tepi Munaseli ke Baranusa, jalan menanjak ‘ara bunna’ itu mulai nyata, para pendaki pernah berkisah tualang mereka di relung hutan dekat Kakamauta dan Mauta. Ratusan meter ke arah danau kawah Sirung, dari lerengnya tercatat sajak.
Galiau Watang Lema, Southwest, di sana telukmu hanyutkan arus estorie. Kakawin catat mantra-mu. Pernah bersua-mu di masa nan asing membayar cinta zaman purba. Bermalam-malam raut terserak buyar ku-tenun bayang pucat bulir embun rindu pepohon hangus di bibir kawah Sirung.
Bila asap membumbung tinggi, ingatan menyasar langit kelam ibukota. Di sana kendaraan seperti tak henti berlari membawa isu, asumsi yang boleh jadi menggelayut jauh di seberang yang jauh dari jangkauan program negara, jauh dari pantauan sesak kepentingan. “Biru, menyanyi sendiri di ibukota negara. Entah pernah mengenal biru yang dari laut meninggi Woto Adnatang, Woto Lalanggasang, pepohon dan hutan semakin jauh makin biru kelam. Katamu suatu waktu, cinta bersemi pada biru.” Proyek negara diterpa dalam pesta rakyat ramai yang lupa. Lupa plural, dan jadi asap.
Pulau-pulau cerai bencana: rindu membuncah, keruh. Mendung setebal mimpi, sampan, anak-anak merekam biru semesta refleksi politik terbalik dicerminkan samudera: manakala sampan bergeser, bayangan hilang seperti asap, pudar dimangsa biru. Langit politik kita selalu begitu,
Asap mengingat Sirung, Dyah Ayu Pamela, penulis di LIPUTAN6, 18 Januari 2024, mencatat ‘6 Fakta Menarik Gunung Sirung di Pulau Pantar NTT yang Pertama Kali Meletus pada 1904’, seperti ini resume tulisannya, yang mana, “Pada September 2015, Gunung Sirung, masuk dalam rute Festival Adventure Indonesia yang diikuti puluhan pendaki dalam dan luar negeri. Lokasi itu dapat dinikmati pagi atau pun sore hari dari puncak gunung dengan ketinggian 862 mdpl.”
Saya membaca berita politik ditulis Dyah Ayu Pamela bertajuk ‘Mendekati Pemilu, Fedi Nuril Mengaku Masih Bingung Menentukan Presiden Pilihan’, dari artikel yang dicatat 07 Februari 2024, jalan masuk saya ke ‘6 Fakta Menarik Gunung Sirung di Pulau Pantar NTT yang Pertama Kali Meletus pada 1904’. Menarik nyimak cerita Fedi Nuril, aktor yang punya pengikut delapan ratus tujuh puluh delapan ribu di X. entah kisah sang aktor itu juga jadi asap.
Nama-nama pernah ada, seperti mengeja peran dan perang kemudian samar. Asap, dari tepi biru saya catat: Kampungbaru, Hirangbako, Padangsul, Wawalang, Lamahule, Biatiwang, Pailonggo, Tuabang, Helandahui, Kolijahi, Waiwagang, Watoapelolong, Kabaku, Munamukuleng, Pulawala, Dadiwira, Puhorua, Bukalabang, Ape, Lapawala, Abila, Bekupira, Bira Satu, Pulateli, Dantupa, Lewololong, Modibur, Dolabang Bawah, Bakutunggul, Bama, Tuandoku, Dolabang Atas, Hariabang, Bampala, dan seterusnya. Tualang tiada berhenti di sana.
Sedari tahun-tahun silam kita merekam, peran, rekam jejak – jejak digital siapa mampu menghapusnya, asap? Kabut di seberang laut dan asap dihembuskan perbincangan. Rakyat itu politik yang dipermainkan sampah ayat-ayat konstitusi.
Diam. Perekam memelintir kabar raut tertawan senyum menawan, kasir menyodor bill dan beberapa cangkir berwarna: untuk sajian berita murka perdebatan teramat panjang yang dibawa di jalan pulang, di rest room, di kasur, dan seterusnya.
Propaganda kian runcing, kata-kata bersayap, berasap. Politik demokraasi berasap. (*)