
12 Desember 2025
Tugas utama universitas di samping memproduksi ilmu pengetahuan, juga membangun budaya akademik, ikut bertanggungjawab membentuk masyarakat rasional, berpikir logis. Namun saat ini nampaknya kita semakin jauh dari rasionalitas dalam penyelenggaraan hidup ketatanegaraan maupun bermasyarakat.
Oleh: Sulistyowati Irianto
Guru Besar Antropologi Hukum
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
UNIVERSITAS seolah teralienasi dari ruang keseharian masyarakat dan berbagai persoalannya. Ironisnya ‘universitas berdampak’ sedang menjadi slogan saat ini. Ke mana universitas ketika hasil riset, data berbasis bukti, dan berbagai rekomendasi ilmiah diabaikan sehingga berbagai macam bencana kemanusiaan terjadi? Bencana ekonomi, politik, hukum, sosial-budaya datang bersamaan dengan kehancuran lingkungan yang menyengsarakan.
Bencana yang tidak menyisakan apapun kecuali para elit yang tetap hidup dalam zona nyaman, menimbun uang sebesarnya secara ekstraktif untuk dana pemilu berikutnya agar menang lagi.
Caranya adalah dengan terus membuat kebijakan tanpa dasar ilmiah, tidak memedulikan dampak luas kehancuran lingkungan yang membahayakan nyawa rakyat. Bencana yang dilegalisasi oleh titah dan tandatangan para elit penguasa, yang implementasinya didukung aparat keamanan, bahkan putusan hakim yang sebagiannya menghianati independensi pengadilan, yang dipersyaratkan negara hukum. Kritik dan dampak kebijakan yang buruk dari para elit direspon sendiri dengan pernyataan atau tindakan populis yang menganggap rakyat bodoh.
Baca juga:
🖇 Narasi Perempuan dalam Sejarah
🖇 Sihaporas Diserang, Tutup TPL
🖇 Ibu Hutan
🖇 Hutan Karet dan Biopiracy Wickham
Hanya anak-anak muda, para mahasiswa, aktivis, seniman, dan sebagian warga sipil yang berani bersuara. Ke mana universitas ketika seribuan anak muda ditangkap, dipenjara karena menyuarakan penderitaan rakyat dalam ‘Aksi Agustus’ yang lalu? Bukankah esensi demokrasi ada pada rakyat? Para ilmuwan diam ketika prinsip negara hukum diingkari. Seharusnya hukum ditaati oleh penyelenggara negara, bukan diubah, diakali; dan berbagai kebijakan dibuat mengatasnamakan rakyat. Universitas bersama warga masyarakat sipil banyak diam, karena takut dikriminalisasi, diancam, dan terputus mata pencahariannya.
Universitas hidup dalam gelembung, sibuk dengan bebannya sendiri, yang sebagiannya justeru persoalan non-akademik. Politik pendidikan menempatkan universitas hanya sebagai ‘teaching university’, sementara di negara maju ‘research university’ adalah mesin kemajuan bangsa. Memintarkan manusia adalah andalan bagi masa depan mereka, dan didukung negara sepenuhnya.
Mengevaluasi universitas di Indonesia dengan parameter rangking universitas riset dunia adalah kemustahilan belaka. Universitas dibiarkan ‘megap-megap’ agar mencapai ranking dunia, padahal dukungan terhadap universitas sangat minim, dan produksi pengetahuannya diabaikan. Universitas dijadikan bagian jawatan pemerintah, prinsip otonomi universitas dari para pendiri bangsa diingkari. Padahal tujuannnya agar universitas bisa mengembalikan jaman keemasan Sriwijaya, pusat ilmu pengetahuan mancanegara.
Pemerintahan-pun hidup dalam gelembungnya sendiri. Banyaknya bencana ekonomi dan sosial yang kita hadapi umumnya bersumber pada terlemparnya warga masyarakat rentan dan miskin dari akses keadilan, utamanya proses perumusan hukum agar mengakomodasi kebutuhan rakyat. Ketiadaan check and balances di parlemen, karena sembilan puluh persen partai politik berkoalisi dengan pemerintah, melancarkan setiap usulan pemerintah. Bahkan sejarah bangsa-pun direkayasa untuk diubah, demi penghilangan sejarah reformasi 1998, dan peristiwa sejarah kelam lain.
Para ahli yang menyampaikan pendapat akademiknya, aktivis dengan hasil kajiannya, dan masa aksi yang bersuara dan konstitusional, semuanya dikriminalisasi. Mereka dilabeli sebagai perusuh, makar, sebutan yang menyesatkan publik. Budaya takut pada hukum tidak ada, dimulai oleh para elit yang mengakali hukum. Padahal di negara maju, budaya ‘takut hukum’, takut korupsi, melayani publik, mendahulukan kepentingan orang lain, menjadi etika publik, pilar keberlangsungan ketatanegaraan dan kemasyarakatan. Di sini perlahan tetapi pasti, Negara Hukum diruntuhkan, Trias Politica dilumpuhkan.
Industri yang seharusnya menjadi sahabat masyarakat karena berperan menyediakan segala kebutuhan, juga berjalan sendiri. Di negara maju industri digerakkan oleh para ilmuwan universitas. Semua proses dilakukan secara akurat dan akuntabel demi masa depan masyarakat yang lebih baik. Industri yang ditopang para ilmuwan menjadi kekuatan ekonomi negara. Itu sebabnya landasan pada bukti ilmiah menjadi keutamaan.
Di sini industri bertata-kelola bersih ditindas pelayan birokrasi yang korup, dikutip macam-macam pungutan, belum lagi para preman yang memalak. Itu sebabnya saat ini banyak industri tutup, pindah ke negara Asia lain. Akibatnya, angka pengangguran dan pemutusan hubungan kerja semakin tinggi, dan kemiskinan semakin meluas.
Industri sehat tidak bisa tumbuh, kecuali yang pemiliknya berkoneksi dengan elit politik, atau dimiliki para elit sendiri, dijalankan tanpa etika publik. Mereka sendiri yang membuat kebijakan, menjadi hakim bagi sah tidaknya suatu tindakan menguasai tanah rakyat, hutan, pantai, gunung, sungai, danau; beserta kepunahan keragaman hayati, sumber pengetahuan yang tidak terbaharui. Menambang nikel sambil mendeforestasi Raja Ampat, sedikit ‘surga’ yang tertinggal di bumi, adalah tindakan yang tidak bisa ditolerir. Bahkan ada kebijakan seorang mentri yang bisa membuat warganegara kehilangan tanah miliknya secara sepihak. Ini adalah plutokrasi, negara bisa mengontrol tanah rakyatnya secara sah.
Bencana Kemanusiaan
Pengabaian terhadap rasionalitas ilmiah yang paling nyata adalah prioritas pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan ekstraktif, menguras sumberdaya alam sebesar-besarnya dengan sah; bukan pembangunan sumberdaya manusia, memintarkan rakyat. Padahal skenario pertumbuhan ekonomi tinggi secara statistik tidak mencerminkan kemakmuran dan keadilan yang sesungguhnya. Banyak negara maju yang pertumbuhan ekonominya kecil dalam prosentase, tetapi kekayaan suatu industri otomotif atau farmasi di negara itu saja bisa menyamai besarnya APBN kita.
Bencana banjir dan tanah longsor yang memilukan di Sumatra dan wilayah lain yang mengalami deforestasi akibat konversi hutan menjadi kebun monokultur atau tambang adalah tragedi kemanusiaan. Kerusakan planet, hancurnya ekosistem, dan tragedi kemanusiaan dengan korban nyawa dan luka yang mencapai ribuan, mungkin sudah dapat digolongkan sebagai ekosida. Artinya, tindakan melanggar hukum atau kecerobohan, padahal diketahui bahwa terdapat kemungkinan besar kerusakan lingkungan yang parah, baik karena dampaknya yang luas atau durasi kerusakan jangka panjang.
Dalam beberapa tahun ini banyak organisasi internasional mengajukan ekosida (ecoside) sebagai kejahatan internasional kepada ICC (International Criminal Court), dan menambahkan empat kejahatan internasional lain, yaitu genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan penyerangan. Mengapa? Karena krisis iklim dan kerusakan planet terjadi dan berdampak melampaui batas-batas negara. Diharapkan selanjutnya penetapan internasional itu akan diadopsi oleh negara-negara.
Epilog
Pengabaian terhadap universitas, riset dan data berbasis bukti telah terbukti dampaknya, berupa kemunduran masyarakat dalam banyak segi. Matinya rasionalitas akan berakibat bencana kemanusiaan secara total.
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah kumpulan dari komunitas, masyarakat yang tersebar di wilayah Nusantara.
Namun saat ini mereka di daerah mengalami kehilangan ruang hidup, yang berarti kehilangan sumber makanan, air bersih, dan pengetahuan yang selama ini dirawat oleh akar-akar tanaman hutan dan kebudayaannya. Nilai dan tradisi adat yang bertumpu pada upacara menghormati Sang Khalik, sesama manusia, dan lingkungan, juga akan punah.
Kapankah kita menyadari bahwa planet bumi tempat kita berdiam, bukanlah milik kita sesaat, tetapi hutang kita kepada generasi yang akan datang? (*)