Sunday, March 2

Perdjuangan Rakjat Semesta


02 Maret 2025


Fakta proklamasi yang dicatatkan Sumual, dkk, membantah gerakan Permesta sebagai separatis: “Demi keutuhan Republik Indonesia, serta demi keselamatan dan kesedjahteraan Rakjat Indonesia pada umumnya, dan Rakjat Daerah di Indonesia Bahagian Timur pada chususnya, maka…, dan apa yang seterusnya.”

Nyaku koffië sajak, sambil baca – Operation Haik:
The Eisenhower Administration and the Central Intelligent Agency in Indonesia, 1957 – 1959.
Douglas Blake Kennedy, 1996. Athens: University of Georgia.


Oleh: Daniel Kaligis


Gambar: Sukarno di Markas KRIS
Sumber Foto: Wailan Endola Langkay


SUKARNO berkunjung ke jazirah utara Sulawesi — berpidato kesatuan bangsa dan negara — di Manado, Tomohon, Tondano, 27 September 1957, dia disambut masyarakat dengan spanduk-spanduk mendukung Sumual dan Permesta. Deklarasi pemimpin militer dan sipil di Indonesia Timur sudah dikumandangkan sebelumnya: Perdjuangan Rakjat Semesta, 02 Maret 1957.

Tidak banyak buku yang membahas Sumual, namun diketahui yang mana Letnan Kolonel Herman Nicolas Ventje Sumual adalah perwira militer yang terlibat dalam Revolusi Nasional Indonesia dan Serangan Umum 1 Maret 1949. Jabatan yang pernah diembannya antara lain Panglima Kodam VII/ Wirabuana. Sumual lebih dikenal sebagai pemimpin gerakan Perdjuangan Rakjat Semesta. Dia dan berapa tokoh adalah proklamator gerakan itu.

Gayung bersambut. Letnan Kolonel Herman Nicolas Ventje Sumual bersua Letnan Kolonel Ahmad Husein, bersua Letnan Kolonel Barlian di Palembang. Letnan Kolonel Ahmad Husein, ketua Dewan Banteng memperjuangkan hal-hal sama dengan Permesta di Sumatera Barat. Letnan Kolonel Barlian memrakarsai Dewan Garuda, dia juga punya tujuan sama. Maka tiga perwira itu menanda-tangani Piagam Persetujuan Palembang yang berisi tuntutan-tuntutan kepada pemerintah pusat antara lain pemulihan Dwitunggal, dan agar mengganti pimpinan Angkatan Darat sebagai langkah pertama terhadap stabilisasi Tentara Nasional Indonesia, serta desentralisasi dalam sistem pemerintahan negara yang antaranya meliputi pemberian otonomi yang luas bagi daerah, dan melarang komunisme. Demikian dicatat Lukman Hakiem, 2019, dalam ‘Biografi Mohammad Natsir’.

Kenneth Conboy dan James Morrison, 1999, dalam ‘Feet to the Fire: CIA Covert Operations in Indonesia, 1957–1958’, menyebut bahwa selama tahun 1957, pihak Amerika meningkatkan perhatian bahwa Indonesia akan sangat rapuh di bawah komunisme akibat meningkatnya pengaruh Partai Komunis Indonesia. Awal 1958, Central Intelligence Agency mulai mengembangkan jaringan dukungan misi rahasia kepada Permesta. Pertemuan antara CIA dengan Sumual dan juga Nun Pantouw, yang ditugaskan oleh Sumual untuk mengelola barter kopra yang dikirim langsung dari Sulawesi ke luar negeri, terjadi beberapa kali di Singapura dan Manila. Setelah mendengar tentang serangan AURI di Manado, Sumual bergegas untuk pulang ke Manado bersama Pantouw. Mereka berencana menumpang sebuah pesawat charteran Consolidated PBY Catalina. Sumual kemudian mengetahui bahwa CIA ingin ikut serta dalam usaha mereka dan memberi bantuan setelah Sumual disambut di depan pesawat charteran oleh Brigjen Pelagio Cruz yang adalah direktur koordinasi inteligen nasional untuk Filipina. Ia mengatakan bahwa muatan di belakang pesawat adalah niat baik dari Amerika. Niat baik tersebut berupa enam senapan mesin berat yang menggunakan peluru caliber 50.

Media, propaganda sistem menyebut Perdjuangan Rakjat Semesta sebagai gerakan separatis dideklarasikan tahun 1957 di Makassar, Sulawesi Selatan.

Fakta proklamasi yang dicatatkan Sumual, dkk, membantah gerakan itu sebagai separatis: “Demi keutuhan Republik Indonesia, serta demi keselamatan dan kesedjahteraan Rakjat Indonesia pada umumnya, dan Rakjat Daerah di Indonesia Bahagian Timur pada chususnya, maka…, dan apa yang seterusnya.”



Proklamasi 02 Maret 1957
Sumber Foto: Bode Grey Talumewo


Permesta: Half a Rebellion ditulis Barbara S. Harvey diterbitkan pertama kali tahun 1977, menyebut bahwa perwakilan militer dari Makassar berusaha mendesak pimpinan TNI Angkatan Darat untuk mendukung hal-hal yang sama yaitu otonomi daerah yang lebih besar dan pembagian pendapatan yang akan digunakan untuk pembangunan daerah setempat. Selain itu, mereka juga meminta agar Ko-DPSST yang berada di bawah naungan langsung dari Markas Besar TNI-AD — daripada di bawah Tentara dan Territorium VII yang bermarkas di Makassar — segera digantikan dengan sebuah Komando Daerah Militer.

Diketahui, sebagaimana ditulis Barry Turner, 2017, dalam ‘A. H. Nasution and Indonesia’s Elites’, bahwa medio Februari 1957, Andi Burhanuddin dan Henk Rondonuwu sebagai delegasi dari pemerintah Provinsi Sulawesi berangkat ke Jakarta sebagai upaya terakhir untuk mendesak pemerintah pusat tentang hal-hal yang dibicarakan bulan sebelumnya. Selain kedua orang itu, Panglima Tentara Territorium VII, Letnan Kolonel Herman Nicolas Ventje Sumual, datang ke Jakarta untuk tujuan sama dan untuk bertemu dengan perwira-perwira yang simpatik terhadap Perdjuangan Rakjat Semesta.

Laporan delegasi diketuai Henk Rondonuwu yang datang ke Jakarta bertemu Presiden dan Wakil Presiden memberi penjelasan tentang tujuan Perdjuangan Rakjat Semesta, disebutkan yang mana, “Sukarno tampak lega mendengar jaminan bahwa Perdjuangan Rakjat Semesta tidak bermaksud untuk pecah dari negara Republik Indonesia.” Dan lagi,  dalam pertemuan dengan Hatta, ia terkesan dengan isi piagam Perdjuangan Rakjat Semesta setelah membacanya. Begitu ditulis Barbara S. Harvey di halaman 53 dan 54 Permesta: Half a Rebellion.

Mengulang ‘Staakt-Het-Vuren’ yang saya catat 15 Maret 2021:
Berapa lama belajar dari Korps Speciale Troepen, entah. Pernah berlayar jauh ke Novorossiysk, kota pelabuhan di Krai Krasnodar  — Rusia, dan terapung-apung berhari-hari di atas samudera hitam, mesin kapal rusak, stok makanan habis, maka, kopra pun dilahap mengganjal lapar.

Semua tinggal bekas. Kenang telah pergi seperti disapu badai. Tualang menghentarnya kembali ke bumi sama. “Twilight merah,” kata sang Suraro. Perang berkecamuk, entah kapan usai. “Rambutnya panjang e mama, berikat merah dan putih, hidupnya siang malam hanya di rimba raya.”

Suraro, tak ada namanya dalam lembar history. Pengalaman tempur bersama I.S.R. di Tulehu bertahun silam itu merasuk. “De beste verdedigibg ligt juist in de aanval,” tulis I.S.R. dalam Pedoman Gerilya I, tertanggal 21 Maret 1949.

Staat van Oorlog en Beleg, larut malam bulan Maret di Makassar, bawa mereka kembali merimba. Gorela sang gorela, ikat kepala merah-putih ada dalam tembang mereka di belantara Sulawesi.

Harvey mencatat ada sekitar enam ribu serdadu terbunuh manakala Perdjuangan Rakjat Semesta bergejolak, tak menghitung berapa korban sipil dan kerugian materi, serta waktu yang hancur oleh praksis sebuah pilihan juang, entah tanpa ujung.

Catatan usang untuk dilupa. Saya tanya A.E.K, sang suraro, katanya, “Perdjuangan Rakjat Semesta tidak pernah menyerah. Begitu yang mereka mau dan mereka tegaskan dalam praksis, dalam jiwa. Walau orde selanjutnya menggilas dia dan mereka, sahabat-sahabatnya. Musnah.

Rekan, mereka telah menyemesta. Kita baru saja hendak belajar kemanusiaan semesta. (*)