Friday, January 10

Sajak Pusu


05 Januari 2025


Oleh: Dera Liar Alam


Gambar: Gunung Tampusu, Rewo, Hutan Rumbia, serta ladang sawah di kakinya.


PUSU memanggil awan-awan bertengger di tahtanya.
Begitu leluhur kami meramal hujan terhisap kuala, jurang, tebing, rawa-rewo, telaga purba di relung Salu Mas, Samberong, Watuharan, Tangkiuk, Tatalo’otoken, Talun, Matrong, Pangalombian, Tete U Lei, Linouw, Lahendong. Pada rimba itu, zaman silam Resimen Para Komando baret coklat pernah bergerilya berduel senapan melawan kuasa sentralistik, catatan muntah sejarah itu dikaburkan.

Serdadu Tengkorak Liar juga menari-nari di sana, di belantara terhubung teras Lengkoan.

Wild Rose impor taman dewa mengajak anak-anak nyanyikan bedil patah puluhan abad bertikai keyakinan.
Namun, ada anak-anak terhisap jadi suraro: “Adoh mama e, kalu teken serdadu. Terima dua ratus tidak takut mati. Mati peperangan kena pelor Acheh. Acheh belum sampe, darah so maleleh. Siang malam pikul senapan, serta angkat muka sudah di lautan.”

Mana jiwa belia liar anak-anak wanua:
Pusu.
Pucuk.
Pupuk.
Popok.
Pok pok.
Dan semua dipajaki kuasa terstruktur.
Dan rautmu masih pucat.
Malu-malu mengunyah alinea resah.

Tiada generasi sekarang yang pandung, ingat, babad teken suraro itu terima dua ratus uang Walanda.
Negara kini beternak rakyat yang disuguhi bantuan langsung tunai saban musim pesta. Seperti itu sejarah dipelihara memuluskan kursi-kursi penjajahan berbagai tagihan atas nama regulasi purba dan korup. (*)


Seri: Pesta Sastra Tanah Leluhur