Saturday, November 23

Gugat Upacara Konde


03 Oktober 2023


Anak-anak berebut buku baru, masyarakat instan menulis status kenyang lapar dan doa-doa kabur…


Oleh: Daniel Kaligis
Artikel ini dimuat di kelung.id – 21 April 2019
Gambar: Perempuan dan buku.
Sumber gambar: www.businessinsider.de


APRIL 21 TAK SEMUA bicara konde, seperti dibiasakan bertahun-tahun. Kawan saya Sus Yanti Kamil, sekarang tinggal menetap dan beraktivitas di Labuanbajo, Nusa Tenggara Timur, pada statusnya bercerita tentang ponakannya merajuk ketika tidak lagi menjadi ketua kelas.

“Suatu kesempatan ketika kami sedang kumpul keluarga, adik saya, oom si bocah, meceritakan perihal tersebut. Si bocah langsung meraung-raung menangis dan minta agar kami tak membahasnya. Bertanyalah saya ke si bocah: kenapa kamu menangis? si bocah bilang, “ia malu, reputasinya hancur,” tulis Sus.

Itu status Sus kemarin, 20 April 2019.

Saya menanggapi status Sus. Saya bilang, “bahas pilpres issue dikasih belok ke anak.” Dan kami saling tertawa.

“Buih ombak di pulau, lambang kesucian orang-orang nelayan, orang-orang pulau. Kini, buih putih itu terancam gelisah. Orang-orang nelayan, orang-orang pulau-pun terancam gelisah.” Status Sus, 4 April 2009.

Pada fotonya, tertanggal, 03 April 2009, Sus menulis, “Duhai perempuan bangsaku, aku berdiri di sini bersamamu, dengan setangkai mawar nan semerbak bagi negeri. Inilah jiwaku, inilah sukmaku. Kepersembahkan bagi bangsa yang harum mewangi. Mari, bergegaslah kita menuju kemartabatan sejati.”

Kenal Sus sejak 1999, saya memanggilnya ‘Susi’. Kami bersua ketika training gender dilaksanakan Lingkar Pendidikan Alternatif untuk Perempuan, di Manado.

Manakala berselancar di internet, dan mampir di halaman group LITERATER, saya memetik sajak Grace Anne Pakasi Kandou, ‘Rindu yang Pahit’, ditulis, 16 April 2019.

“Malam di tepi telaga | kukunyah rindu ini | dan kutelan perlahan | pahit, terlalu pahit | tapi. terlanjur kutelan || Malam di tepi telaga | kucari wajahmu di riak dingin air | tak kujumpa || Malam di tepi telaga | aku masih menunggu | keajaiban memuntahkan rindu yang terlanjur kutelan”. — Menepis dingin di utara Tondano.

Saya dan Grace tidak saling kenal, tapi saya meyakini – melihat dari marganya, dia berasal dari tanah Minahasa, Grace Anne Pakasi Kandou.

Grace, dalam sajaknya, berkisah ‘ruang’ yang sehari-hari dinikmati oleh orang-orang Minahasa sekitar danau Tondano. Hal mana, ruang itu saya kenal, akrab. Seperti yang disebut Grace, ‘ruang’ itu ‘memuntahkan rindu yang terlanjur kutelan’.

Alasan sederhana mengapa saya menyenangi sajak yang ditulis Grace, sebab ‘ruang’ dan ‘pengalaman berada pada ruang itu’ memang kental.

Di sana, daerah tangkapan air semakin sempit. Tegakan pepohon dan benih-benih baru mengering oleh musim, atau diterbangkan janji pemilihan pemimpin pemimpi. Rembes limbah, sampah, pendangkalan, eutrofikasi, sudah cerita lama yang akan didoakan bila banjir dan longsor menggila.

Di saat itu, tanda pagar peduli membanjir, menderas di status: #SaveDanau #SaveEcengGondok #SaveSeranganFajar

Membaca menulis memang penting, melebarkan nalar dan wawasan. Salah satu adalah membaca dan menulis lingkungan di sekeliling kita. Juga menulis status dan membaca status di facebook, di twiter, di line.

Meski, literatur dan informasi ada di mana-mana. Dapat digunakan untuk maksud sepeti yang disebut tadi, melebarkan nalar dan wawasan. Kita boleh membaca apa saja dengan mudah saat ini, sebab informasi pun tanpa kita kehendaki sudah ada di depan hidung di depan mata.

Makanya, ada orang yang setiap siuman dari tidur langsung menjangkau gadget dan menghapus spam. Pada ruang sama, ada orang yang kurang tidur sebab membuat banyak sekali tulisan dan informasi, entah berguna entah menjadi sampah.

Kejadian April terkait literatur menarik di simak, lalu dijadikan status #SejarahPerempuan. Padahal history, kental nuansa lelaki ‘his story‘: Herstory is a term for history written from a feminist perspective, emphasizing the role of women, or told from a woman’s point of view.

Ingat para Perempuan

Medio 24 April 1800, Library of Congress didirikan di Amerika Serikat.

Pada situs Library of Congress yang membahas Jefferson’s LegacyA Brief History of the Library of Congress, menyebut yang mana  Thomas Jefferson berjasa dalam tahap awal pendirian Library of Congress.

Thomas Jefferson adalah presiden Amerika Serikat ketiga, menjabat dari tahun 1801 hingga 1809, demikian dicatat di BIOGRAPHY –nya. Di Library of Congress disebutkan yang mana, setahun setelah menjadi presiden, yakni pada 26 Januari 1802, dia mengesahkan undang-undang yang menetapkan struktur organisasi Library of Congress. Dia juga yang membuat aturan untuk memberi izin bagi presiden dan wakil presiden untuk meminjam buku.

Sesungguhnya, Library of Congress didirikan pendahulu Jefferson, yaitu John Adams, presiden Amerika Serikat kedua.

Ketika didirikan, seperti tercatat di Jefferson’s Legacy: A Brief History of the Library of Congressbuku-buku yang ada di situ dipesan dari London. Koleksi awal terdiri dari 740 judul buku dan 30 peta disimpan di Gedung Capitol.

Koleksi yang tersimpan di gedung itu mencakup berbagai jenis subyek, sebagian besar dipesan dari London adalah buku-buku hukum sesuai dengan tugas Kongres sebagai pembuat hukum di Amerika Serikat.

Menyebut John Adams, kadang kita lupa, ada nama yang mendampinginya, yaitu Abigail. Dia adalah ibu negara kedua Amerika Serikat. HISTORY menyebut Abigail terkenal karena advokasi hak-hak perempuan, berjasa bagi pendidikan perempuan, dan penghapusan perbudakan.

Sejak kecil, Abigail senang membaca dari dari perpustakaan keluarga.

Setelah menikah dengan John Adams, Abigail tetap bersemangat mendukung persamaan hak perempuan dan laki-laki, walau dirinya sering terpisah dari suaminya dan mengurus anak-anaknya seorang diri, dia berhubungan dengan suaminya melalui korespondensi.

Saat John Adams dan rekan-rekan delegasinya membincang kemerdekaan Amerika Serikat dari Inggris, pada 31 Maret 1776, Abigail menulis kepada suaminya dari rumah mereka di Braintree, Massachusetts:

“Dan, omong-omong, dalam kode hukum baru yang menurut saya perlu anda lakukan, saya berharap anda akan mengingat para perempuan, dan menjadi lebih murah hati dan menguntungkan mereka daripada pendahulumu. Ingat, semua lelaki akan menjadi tiran apabila mereka bisa. Jjka perhatian khusus tidak diberikan kepada para perempuan, kami bertekad kobarkan pemberontakan, dan tidak akan membelenggu diri kami dengan hukum apa pun di mana kami tidak memiliki suara, atau perwakilan.”

Abigail adalah ibu dari John Quincy Adams, presiden Amerika Serikat keenam.

John Adams adalah salah satu pemimpin gerakan kemerdekaan untuk membebaskan Amerika dari Inggris. Ketika perang kemerdekaan, dia bertugas di Prancis dan Belanda sebagai diplomat dan turut merundingkan perdamaian. John Adams ikut menandatangani proklamasi kemerdekaan Amerika yang diumumkan 4 Juli 1776.

Kembali ke soal Library of Congress.

Medio Agustus 1814, tentara Inggris membakar Gedung Capitol termasuk perpustakaan dan tiga ribu buku di dalamnya.

Sekarang Library of Congress punya tiga gedung di Washington, D.C. Perpustakaan itu menjadi yang terbesar di dunia dari segi luas rak buku dan total koleksi buku.

Katalog dari Library of Congress mendaftar lebih dari 32 juta judul bahan pustaka yang ditulis dalam 470 bahasa. Perpustakaan juga menyimpan koleksi 61 juta manuskrip, dan koleksi buku langka terbesar di Amerika Utara, termasuk naskah Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat dan kitab Gutenberg.

Library of Congress menyimpan lebih dari satu juta judul terbitan pemerintah Amerika Serikat, satu juta terbitan surat kabar dari seluruh dunia selama tiga abad terakhir. Di sana ada 33.000 volume surat kabar yang dijilid, ada 500.000 gulung mikrofilm, lebih dari 6.000 judul buku komik, dan koleksi literatur hukum terbesar di dunia.

Ada juga Koleksi bahan nonbuku terdiri dari film, ada 4,8 juta judul peta, lembar musik, ada 2,7 juta judul rekaman suara, lebih dari 13,7 juta lembar foto – termasuk gambar arsitektur, serta biola Betts Stradivarius dan Cassavetti Stradivarius.

Kepala perpustakaan itu saat ini adalah perempuan, Carla Hayden.

Hayden dilantik sebagai pustakawan kongres keempatbelas, 14 September 2016. Dia perempuan pertama, dan orang Afrika-Amerika pertama yang memimpin Library of Congress.

21 April 2009:
Perpustakaan Digital Dunia

Anda ingin membaca bebas biaya? Berbagai material sumber primer dari berbagai kebudayaan dunia dalam format multibahasa: manuskrip, peta, buku langka, partitur musik, rekaman, film, cetakan, foto, rancangan arsitektur, dan berbagai bahan budaya lainya, kunjungi Perpustakaan Digital Dunia atau World Digital Library (WDL).

Pada situs WDL, disebut yang mana Perpustakaan Digital Dunia dimaksudkan untuk mengembangkan pemahaman antarbangsa dan budaya, memperluas kandungan variasi dan isi pada internet, menyediakan bahan dasar pengajaran bagi pengajar, sarjana, dan peminat umum, serta untuk memperkuat kemampuan lembaga-lembaga mitra untuk mempersempit kesenjangan digital intra dan antarnegara.

Berita peluncuran World Digital Library ditulis Daniel Cressey pada International Weekly Journal of Science, dengan judul ‘The World Digital Library’s director explains his vision’, sehari sebelum peluncuran, 20 April 2009.

Tujuan didirikannya Perpustakaan Digital Dunia untuk mengembangkan dokumen non-bahasa Inggris dan non-barat di internet, dan membantu penyediaan bahan penelitian akademik. Ini adalah upaya mendorong negara berkembang memacu digitalisasi arsip dan dokumen sejarah berharga yang mereka miliki negara-negara di dunia.

World Digital Library diresmikan 21 April 2009, dikelola bersama UNESCO dan Library of Congress milik Amerika Serikat. Perpustakaan ini dan dimaksudkan sebagai sumber rujukan dokumen primer berbagai dokumen penting dunia yang dapat diakses bebas biaya.

Perempuan dan Negara

Sebelum basi, balik lagi pada kalimat pembuka di atas: ‘Anak-anak berebut buku baru, masyarakat instan menulis status dan doa-doa kabur’.

Tidak hanya di Indonesia, orang di berbagai bagian dunia ada saja yang suka menulis status sembarangan di media sosial. Itu yang saya sebut sebagai ‘doa-doa kabur’.

Nah, ini juga ulangan dari yang di atas, mendukung keyakinan ‘doa-doa kabur’, bahwa entah siapa, boleh jadi saya juga termasuk pada kelompok yang ‘saban siuman dari tidur langsung menjangkau gadget dan menghapus spam. Atau, saya malah setiap ada kesempatan selalu menjangkau gadget dan membuat status yang jadi spam dan sampah di halaman orang.

Terus saja menulis, terus membaca.

Isu ‘anak-anak berebut buku baru’, saya kutip dari Farida Indriastuti pada tulisannya di Perempuan Penggerak Literasi.

Farida Indriastuti, pendiri perpustakaan di berbagai daerah terpencil di Indonesia, dalam Perempuan Penggerak Literasi, Farida punya pertanyaan: ‘Benarkah Minat baca rendah?’ Faktanya, minat baca anak-anak di daerah-daerah pelosok masih tinggi, permintaan buku juga tinggi. Anak-anak saling berebut untuk membaca buku baru.

Tentang isu perempuan dan negara, saya tertarik pada status Farida Indriastuti di media sosial, 19 April 2019 silam, “Jujur saya takut dengan pemimpin dunia semacam Donald Trump (AS), Jair Messias Bolsonaro (Brazil) dan sejenisnya. Retorikanya sangat menakutkan. Diksi yang digunakan kasar, rasis, anti imigran dan menghina perempuan. Presiden Brazil Bolsonaro ini pernah menghina anggota kongres perempuan, Maria do Rosário.”

Pernyataan brutal, penghinaan Jair Messias Bolsonaro pada Maria do Rosário, seperti yang disebut Farida, juga direkam Roque Planas, jurnalis The Huffington Post dalam tajuk ‘Brazilian Congressman Tells Colleague She’s Not Worth Raping’. Berita itu tayang 11 Desember 2014.

Pada 29 Oktober 2018, kelakuan dan pernyataan-pernyataan kontroversial Bolsonaro dirangkum dari berbagai media oleh Sam Meredith, Digital Reporter CNBC di London, dalam tajuk “Who is the ‘Trump of the Tropics?’: Brazil’s divisive new president, Jair Bolsonaro – in his own words”.

Menanggapi situasi terkini negara, Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menyebut di statusnya, “Kami para perempuan perkasa ada di belakangmu Pak Presiden dan KPU.” Status itu dia tulis empat jam sebelum saya memulai mengetik estorie ini, 20 April 2019.

Dinni Leo menanggapi status Sulistyowati Irianto, “Siap ikut.”

Sulistyowati Irianto menanggapi Dinni, “Gerakan perempuan selalu eksis bela bangsa dan hadir dalam setiap kedaruratan.”

Soal perempuan adalah soal negara. Walau, bumi paternalistik dengan ‘peyoratif’ dan bengis memberi ruang sempit pada perempuan untuk urusan publik, dalamnya termasuk hak-hak manusia.

O iya, sebelum lupa: peyoratif itu unsur bahasa yang memberi makna menghina dan merendahkan.

Masih banyak soal yang belum rampung terkait perempuan dan negara.

Siapa peduli negara, peduli perempuan. Adelina Sau, tenaga kerja Indonesia dari Nusa Tenggara Timur yang bekerja di Malaysia meninggal di Penang 11 Februari 2018. Kurang gizi, badan penuh luka karena kekerasan.

Atas kasus kematian Adelina, Perwakilan Kementerian Luar Negeri, Tody Baskoro, menyebut akan menindaklanjuti proses hukum terkait kejadian itu.

“Kementerian Luar Negeri akan terus memantau proses hukum terhadap para tersangka dan memastikan pelakunya mendapat ganjaran sesuai aturan hukum pidana Malaysia,” tulis kontributor Kompas di Kupang, Sigiranus Marutho Bere, mengutip pernyataan Baskoro.

Berita itu sudah lewat setahun, Kompas menayangkan kronologi kasus itu18 Februari 2018.

Adelina diberangkatkan calo ke Malaysia dengan dokumen yang dimanipulasi. Yohana Banunaek, ibu Adelina, seperti ditulis Ola Keda dari LIPUTAN6sudah melaporkan peristiwa kematian anaknya ke Polres Timur Tengah Selatan.

Tiga hari silam, 18 April 2019, seperti diberitakan Tribun, Pengadilan Tinggi Malaysia membebaskan Ambika MA Shan, terdakwa penyiksa yang menyebabkan Adelina Sau tewas.

Glorene A Das, Direktur Eksekutif Tenaganita, lembaga pelindung pekerja migran di Malaysia, mempertanyakan sistem hukum Malaysia. “Adelina adalah perempuan muda yang disuruh bekerja selama dua tahun tanpa bayaran. Tubuhnya disiksa secara brutal,” kata Glorene, seperti dilaporkan Free Malaysia Today.

Kawan saya Sahertian Emmy, dari Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika, pada statusnya kemarin menulis, “Au fain, kata pendek Adelina Sau sebelum ia meregang nyawa karena tersiksa hidup dengan majikan yang sadis. Kata singkat ini penuh dengan muatan penderitaan luar biasa yang tak bisa dilontarkan. Kini majikannya dibebaskan pengadilan di negeri Jiran.”

Bagi Sahertian Emmy, keadaan itu adalah ‘sebuah penyaliban’ keadilan dan kebenaran yang universal itu.

“Sebagai anak NTT kita harus bangkit untuk menentang kedegilan ini, meski jalannya panjang dan berliku. Ayo kawan, mari gabungkan kekuatan,” ungkap Emmy.

Ben de Haan, kawan Emmy, menjawab memberi dorongan semangat pada Emmy, “Katong dukung doa dari jaoh sa Mapend EmmyTuhan beri kekuatan dan kemampuan meneruskan perjuangan bersama rekan-rekan, memperjuangkan hak saudara-saudara kita yang bergelut untuk hidup lebih baik bersama keluarga.”

Bagaimana keberpihakan negara pada perempuan?

Indonesia pernah punya pemimpin perempuan. “Dia memerintah dengan perspektif laki-laki,” kata Vanda, teman saya di wanua Paslaten, di Minahasa.

Di kampung-kampung di Minahasa, bicara soal perempuan disebut sudah berdaya, karena keterlibatan perempuan pada tataran publik disebut cukup tinggi. Rapat-rapat desa mereka hadir. “Maar kebijakan pro perempuan nyanda dapa lia, dorang cuma jadi tukang antar kopi deng kukis kalu rapat desa,” urai Vanda.

Perempuan pernah menggugat, sebab, kabar demokrasi negara adalah pilihan politik kekuasaan terkait sistem. Sampai sekarang ini potret kebijakan masih terus merangkak sebagai ‘bayi’ tak mampu berdiri sendiri.

Demikian juga arah pembangunan pemberdayaan perempuan adalah politik. Pembangunan konspirasi. Ujung belum berpangkal dari berita kita adalah korupsi: korupsi waktu paling menonjol. Sebab kita lebih banyak menunda janji-janji tak berkesudahan.

Berita seperti derita, terkorupsi status-status kabur dalam doa yang malas dikerjakan. Indikasi paling mudah dari sebuah berita terkorupsi, bahwa, ia dapat ‘ditukar’ uang: uang makan, uang rorok, uang taxi, uang lelah, dan uang-uang yang menyebut dirinya sebagai bukan suap.

Terkait perpolitikan negara yang sementara kita nikmati, pemilu misalnya yang aromanya masih dapat kita endus sampai detik ini. Dian Kartikasari, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan menyebut, partisipasi politik sejati dari perempuan hanya dimungkinkan, jika perempuan mendapatkan pendidikan dan pengetahuan politik menyeluruh dari penyelenggara pemilu. Hingga akhirnya, perempuan dapat menggunakan hak pilihnya secara cerdas.

Itu yang disebut Sulistyowati “Gerakan perempuan selalu eksis bela bangsa dan hadir dalam setiap kedaruratan.”

Demikian yang digugat Emmy, agar negara berpihak, jangan lagi ada ‘penyaliban’ keadilan kebenaran.

Juga gugat Farida Indriastuti, hentikan retorika menakutkan. Pagari diksi yang kasar, rasis, anti imigran dan menghina perempuan.

“Duhai perempuan bangsaku, aku berdiri di sini bersamamu,” kata Susi.

Atau “Rindu Pahit” yang dikumandang Grace Anne Pakasi Kandou sebab lingkungan alamnya yang dirusak akan semakin kental? Janji tetap ditunggu agar keberpihakan pada perempuan boleh terwujud.

Perempuan mengingatkan kita pada kelahiran dan kematian. Perempuan adalah setapak rindu yang merentang sejarah melahirkan bumi semua kelamin, lalu dipolitisir.

Bagi saya, perempuan bukanlah upacara konde, bukan parade kebaya dan fashion. Perempuan adalah tentang kebijakan atas hak-hak yang seharusnya dan memang mereka punyai sebagai manusia. Perempuan adalah narasi sejarah setara lelaki.

Perempuan adalah negara pada jalan yang masih sunyi, namun harus terus dijuang. (*)