Thursday, November 21

Reformasi Gagal, Bangkit Neo Orba


27 Mei 2023


Pada masa Soeharto, kekuasaan melalap rakyat secara pukul rata. Korban-korbannya beragam, yaitu komunis, nasionalis, Islam, Katolik, Kristen, dan silakan lanjutkan sendiri. Antar rakyat dikondisikan melalui rekayasa untuk saling curiga dan saling hantam pada masa Orba.


Oleh: Linda Christanty
Penulis adalah sastrawan dan pegiat budaya


Gambar: Riots of Indonesia, May 1998 – DLA/ bangun-indonesia


Catatan pengalaman 25 tahun reformasi:
Kegagalan dan bangkitnya Neo Orba


BERAKHIRNYA kekuasaan rezim Soeharto 25 tahun lalu dianggap tonggak awal dari reformasi di Indonesia. Ketika Soeharto berhasil dipaksa mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, sebagian orang menganggap perubahan strategis dalam kehidupan bernegara pasti terjadi. Namun, tidak sedikit pula yang waspada. Ada yang ragu. Ada yang tidak peduli, karena penderitaan, kerusakan, kehancuran, dan kekecewaan toh tidak dapat disembuhkan dengan pengunduran dirinya.

Kekuasaan Soeharto yang berlangsung terlalu lama, lebih dari tiga dasawarsa, tentu menjalar dan mengakar dalam sendi-sendi kehidupan orang Indonesia, tidak hanya berupa warisan yang terlihat, seperti birokrasi dan kroni, tetapi juga nilai-nilai buruk yang melandasi perilaku kekuasaan. Korupsi, kolusi, nepotisme, cara-cara kekerasan, nilai-nilai militeristik, adu domba, pembentukan borjuasi dalam pemerintahan negara, lahirnya elite militer dan kepolisian, perkoncoan, dan banyak lagi yang berkesinambungan-berkelanjutan-dilestarikan pada masa-masa sesudahnya.

PascaSoeharto lengser, isu bubarkan Golkar mengemuka. Gus Dur mengeluarkan dekrit presiden membubarkan Golkar, yang berakhir dengan kejatuhan Gus Dur.  Isu gantung Soeharto juga sempat menjadi yel yel massa aksi, tetapi tidak dilakukan dengan pertimbangan jangan sampai mengulangi lagi penghukuman yang berdampak terhadap kehidupan atau jiwa seseorang tanpa proses pengadilan yang sah dan adil secara hukum, seperti yang dulu pernah dilakukan rezim Soeharto terhadap banyak rakyat Indonesia pada masa kekuasaannya. Namun, pengadilan gagal menegakkan hukum terhadap Soeharto sesuai perintah TAP MPR RI hingga Soeharto meninggal karena sakit.

Kelahiran Orba melalui genosida. Meski Gus Dur secara terbuka sempat menyatakan keterlibatan Anshor/NU membantai komunis/dan yang dituduh komunis pada Peristiwa 1965 dan peristiwa yang mengikutinya, komando pembantaian awalnya tentulah kelompok fasis dalam militer.

Pada masa Soeharto, kekuasaan melalap rakyat secara pukul rata. Korban-korbannya beragam, yaitu komunis, nasionalis, Islam, Katolik, Kristen, dan silakan lanjutkan sendiri. Antar rakyat dikondisikan melalui rekayasa untuk saling curiga dan saling hantam pada masa Orba.

Banyak orang cemas bahwa rezim Orde Baru akan lahir kembali, mengingat selama 32 tahun ia berkuasa jelas kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang menjadi tulang punggungnya paling terlatih, terorganisir dan meluas, juga sangat kuat secara logistik dan kemungkinan punya dendam politik. Kekhawatiran itu semakin terbukti.  Dua partai besar yang ada sekarang ini tidak dapat dipisahkan dari neo Orde Baru, yaitu Partai Golkar dan Partai Gerindra, yang lahir setelah reformasi. Dua partai neo Orba ini turut menentukan pendulum politik Indonesia pascaOrba. Kebangkitan kembali Orba mungkin terjadi. Kebebasan berorganisasi, kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi juga dimanfaatkan oleh partai-partai neo Orba pascaSoeharto.

Pada masa Soeharto, tiga partai politik di bawah kendali pemerintahannya, yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Golkar. Keguncangan terjadi ketika anggota-anggota PDI memilih Megawati Soekarnoputri menjadi ketua umum, sedangkan pemerintah Soeharto menghendaki Surjadi terpilih sebagai orang nomor satu partai tersebut. PDI adalah fusi atau gabungan dari lima partai, yaitu Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia, Murba, Partai Nasional Indonesia, dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia. Fusi atau penggabungan ini pun atas perintah negara pada masa Soeharto. Suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, mau atau tidak mau, wajib patuh.

Puncaknya adalah 27 Juli 1996. Selebihnya, kita sudah mendengar dan membaca banyak cerita ataupun berita. Markas PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, diserbu aparat dan preman terorganisir.  Puluhan orang pendukung kebebasan demokrasi dibunuh, hilang, dan terluka. Pengurus pusat PRD yang partainya aktif mendukung PDI juga ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Di antara 13 korban penghilangan paksa 1997-1998,  ada Yani Afri dan Sonny, dua pendukung PDI pro Megawati yang hilang sampai sekarang. Mereka tidak pernah dicari dengan sungguh-sungguh oleh negara, seperti halnya Widji Thukul, Herman Hendrawan, Bimo Petrus, Suyat, Yadin Muhidin, Ucok Siahaan, Dedi Hamdun, Noval Alkatiri, Hendra Hambali, Ismail, dan Abdun Nasser. Presiden Joko Widodo gagal menepati janji.

Ketika Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada 21 Mei 1998 itu, saya dan banyak teman tidak yakin tuntutan-tuntutan reformasi akan otomatis terpenuhi. Kami berinisiatif untuk menyelenggarakan rapat akbar rakyat di kampus UI Salemba pada 21 Juni 1998, sebulan sesudah Soeharto lengser.  Pengumuman rapat akbar disiarkan melalui radio. Di luar dugaan, tentara memblokade rute-rute menuju Salemba dan di kampus UI Salemba tentara bersenjata menghalau massa yang masuk ke dalam kampus. Kami telah terilusi oleh kata “reformasi”, sehingga mengira rakyat sudah bebas berkumpul dan berekpresi.

Pada 28 Juni 1998, pertemuan evaluasi rapat akbar berlangsung di kampus UI Depok, sesuai catatan saya sebagai notulen dalam pertemuan itu. Sebagai bukti, penggalan notulensi terlampir melengkapi status Facebook ini.

Perwakilan buruh dalam pertemuan evaluasi itu menyatakan kegagalan terjadi, karena undangan rapat akbar disiarkan secara terbuka di radio, bukan melalui selebaran dalam jaringan tertutup seperti yang dilakukan pada masa Soeharto.  Perwakilan mahasiswa menyatakan rapat gagal, karena mahasiswa tidak siap dan tidak ada izin dari kampus. Seharusnya sebagai tuan rumah, mahasiswa berada di kampus lebih dulu dan datang lebih awal dibandingkan kelompok massa yang lain. Padahal menjelang Soeharto lengser, kampus UI Salemba menjadi posko atau tempat berkumpul mahasiswa dan rakyat. Diskusi-diskusi bebas berlangsung di halaman kampus dengan para pembicara yang sebagian bukan dari kalangan mahasiswa. Apa yang terjadi sebulan setelah Soeharto lengser? Kampus UI Salemba dikuasai tentara.  Tidak boleh ada pertemuan atau kumpulan massa di sana. Tidak ada lagi posko. Salah seorang peserta pertemuan evaluasi menyatakan kegagalan rapat akbar 21 Juni 1998 adalah tidak menyiapkan lokasi-lokasi alternatif rapat akbar jika kampus UI Salemba dikuasai aparat, yang membuat kolap-kolap dapat membawa massa ke sana dan dalam perjalanan dapat mengajak warga ikut dalam pawai-pawai di jalanan.

Meski rapat akbar digagalkan aparat dan massa yang tercerai-berai akhirnya berkumpul di kantor YLBHI, Jakarta Pusat, keberhasilan aksi ini adalah kampanye tentang reformasi yang belum tuntas tersebar. Ini juga pengalaman pertama mengundang massa secara terbuka dan luas pascaSoeharto. Persiapan lebih matang amatlah penting. Kesadaran bahwa reformasi tidak sesuai dengan apa yang diinginkan rakyat banyak terus tumbuh, hari demi hari. Kelak pada November 1998, saya dan banyak orang ikut dalam aksi massa  menuntut Presiden B.J. Habibie yang merupakan kroni Soeharto untuk mengundurkan diri dari jabatan presiden. Aksi ribuan rakyat pada 11, 12, dan 13 November 1998 ini dikenal sebagai Peristiwa Semanggi I. Lagi-lagi, tindakan kekerasan aparat merenggut korban jiwa.

Pengalaman pada hari-hari dan bulan-bulan pascaSoeharto lengser terekam dalam catatan harian saya. Catatan harian ini berakhir pada 29 April 1999, karena buku bekas yang saya gunakan untuk mencatat habis, tidak ada lagi halaman yang tersisa.

Apakah reformasi berhasil? Tentu saja, gagal. Reformasi 1998 gagal memenuhi tujuan-tujuan pokok dan strategis bernegara, dengan kegagalan pemerintah Indonesia menegakkan HAM, hukum dan keadilan. Penurunan kualitas demokrasi berlangsung drastis. Ketidakadilan dan kesenjangan sosial makin tinggi. (*)