08 Ferbuari 2023
Guncang magnitudo tujuh koma delapan di kerak dangkal, di sana, di tanahmu, di bumi kita: di Gaziantep, di Kahramanmaras, di Pazarick, di Nurdagi, di mana lagi, entah. Mercalli masih kau berkhotbah di Monza, di Calabria, di Napoli. Aah, di sini ceramah wacana tentang para petinggi pendongeng tinggikan tensi dan gengsi, itu saja…
Potret usang!
Oleh: Dera Liar Alam
Gambar: Kelok Gusung di mana kapal-kapal dan perahu berbelok menyasar port.
BERPULUH mungkin berlaksa tatapan: saban sore bertumpuk di kelok rumpang menikmat lengking gemuruh, pembisik, perusak, gelombang, arus, obrolan peziarah minta difoto. Orang-orang buta huruf duduk di rumput dekat rambu larangan. Bila tak dilarang, rambu diduduki, diambil dan dibawa pulang.
Kelam di atas kota, di ujung Gusung. Tempat kapal-kapal berbelok menyasar port, bandar dedaun harum, silih arus keluar, pergi berlayar membawa tualang barang-barang perantau. Perahu motor mengiang, lewat satu dua sekian detik mengumandang serak. Sisa minyak bumi membentuk sketsa kemilau di air asin, terceraiberai arus gelombang.
Pergi jauh pelancong, surat kawan dari Tanah Rencong, bumi goncang: Kahramanmaras, busur, anak panah, peluru peledak dilupa. Di pojok warung kopi modern – empat lima enam – bibir tularkan skenario kiamat. Mereka bersemangat menebar virusnya. Berkali-kali tembakkan kameranya ke atas roti kelebihan ragi bisnis gula garam yang dicari para gemuk.
Sekira dua kilometer dari situ, di ruas padat bernama seseorang, entah pahlawan entah penindas. Ada lima badut berganti baju. Sehat-sehat mereka, memboyong kotak bertulis sumbangan pembeli gabah. Anak-anak gibah, mengintip kaca mobil gelap, sekelam senja badai.
Depan museum, di bawah patung, ada dua pasang mata jatuh hati. Mereka mengunyah kerupuk, menaruh minuman kemasan di depan kerumunan. Lalu bercinta hingga larut, tiada pusingkan gerimis menderas…
(*)
🍷
Makassar 08 Februari 2023