Tuesday, April 30

Pembeli Beras


18 Oktober 2022


Isi perut diseragamkan kampanye nasi putih, maka, alasan ‘harus beras’ tertanan dalam budaya dan pemikiran. Lapar, oh, ini sungguh kesusahan yang menjalar lebih hebat dari keterlibatan aturan-aturan menyantap cara pandang apa jenis pekerjaan…


Oleh: Dera Liar Alam
Editor: Parangsula


SESUAP rezeki dicari, makan dialas kertas, plastik, atau dilapis polistirena – polimer dengan monomer stirena. Pokoknya kenyang, kawan sebangku semeja di warung makan tepian kuala yang bau bermacam zat di sekitar alir kanal Jongaya malah lahap menyantap nasi dan lauk.

Pernah, suatu malam berdongeng dengan Ika di Jl Patimura. Dia kelas tiga sekolah dasar, berjualan tissue dan menjajah kotak sumbangan bertuliskan kampanye beras. Walau, dia jarang makan nasi. Lebih suka gorengan, “Ubi, pisang, atau bakara lebih nikmat pake lombok sauce,” kata gadis kecil yang menggelandang di warung-warung sekitar pelabuhan laut.

Saya, meramu teks, berbagi gelas kopi dengan tukang sapu. Saban hari mengangkat air, menenteng kardus-kardus berisi gelas plastik untuk pelanggan yang memesan air, dan berkeliling rimba kota kampung, mengutip foto untuk stock shot.

Berkali, sempat membaca regulasi: fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Ejawantah pasal-pasal dalam bentuk teks juga, minim aksi. Barisan antre beras terus memanjang dan berliku. Maka, lihat sendiri apa kerja sistem dan wakil kita dalam sistem — aturan diatur peraturan. “Pengaturan mengenai pemenuhan kebutuhan dasar bagi fakir miskin masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, sehingga diperlukan pengaturan penanganan fakir miskin yang terintegrasi dan terkoordinasi, yaitu dengan membentuk undang-undang tentang penanganan fakir miskin.” Teori ini saya baca di halaman DPR RI.

Lalu, kelakuan. Mengandalkan menggantungkan kebutuhan keinginan keruwetan pada pihak lain. Miskin secara kultural, katanya: mengusung nilai, pemikiran, cara kerja membudaya yang diasumsikan ‘malas’. Eh, ternyata malas itu juga jenis pekerjaan. Begitu asumsi saya. (*)