Thursday, November 21

Tak Ada Bugis dalam Sureq Galigo


12 Oktober 2022


Bahasa ๐‘†๐‘ข๐‘Ÿ๐‘’๐‘ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ adalah bahasa Luwuโ€™ kuno dan ๐‘†๐‘ข๐‘Ÿ๐‘’๐‘ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ adalah sastra lisan yang diciptakan bangsa Luwuโ€™ di Sulawesi Selatan…


Oleh: Linda Christanty
Penulis adalah sastrawan dan pegiat budaya


Gambar: Manuskrip Sureq Galigo abad kesembilan-belas
Sumber foto: wikipedia.org


SEBAGIAN orang menganggap ๐‘†๐‘ข๐‘Ÿ๐‘’๐‘ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ atau ๐ผ ๐ฟ๐‘Ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ atau ๐ฟ๐‘Ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ adalah sastra Bugis, meskipun epos tersebut faktanya adalah sastra lisan Luwuโ€™. Saudari Nurhayati Rahman, filolog dan guru besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Hasanuddin di Sulawesi Selatan, turut mengklaim ๐‘†๐‘ข๐‘Ÿ๐‘’๐‘ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ sebagai sastra Bugis dalam esainya, โ€œEpos La Galigo: Huruf, Bahasa, dan Karya Sastraโ€, yang dimuat ๐พ๐‘œ๐‘š๐‘๐‘Ž๐‘ , sebuah koran di Jakarta, pada 30 September 2022. Esainya itu mempermasalahkan sejumlah kalimat tentang ๐‘†๐‘ข๐‘Ÿ๐‘’๐‘ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ dalam esai saya, โ€œEpos Hilaliโ€, yang dimuat ๐พ๐‘œ๐‘š๐‘๐‘Ž๐‘  pada 24 September 2022. Ia keberatan saya menulis bahwa โ€œbahasa ๐‘†๐‘ข๐‘Ÿ๐‘’๐‘ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ adalah bahasa Luwuโ€™ kunoโ€ dan โ€œ๐‘†๐‘ข๐‘Ÿ๐‘’๐‘ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ adalah sastra lisan yang diciptakan bangsa Luwuโ€™ di Sulawesi Selatan.โ€

Saudari Nurhayati adalah seorang filolog. Ia tentu sudah membaca dan melihat bukti berupa lontaraโ€™ ๐‘†๐‘ข๐‘Ÿ๐‘’๐‘ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ. Apakah dalam lontaraโ€™ ๐‘†๐‘ข๐‘Ÿ๐‘’๐‘ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ yang sudah dibaca Saudari Nurhayati tercantum kata โ€œBugisโ€? Yang jelas dalam ๐‘†๐‘ข๐‘Ÿ๐‘’๐‘ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ bertabur kata โ€œLuwuโ€™โ€. ๐‘†๐‘ข๐‘Ÿ๐‘’๐‘ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ mengisahkan berbagai bangsa, kecuali โ€œBugisโ€.

Saudari Nurhayati mengklaim bahwa bahasa ๐‘†๐‘ข๐‘Ÿ๐‘’๐‘ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ adalah โ€œbahasa Bugis yang sebagian kosa katanya sudah kunoโ€. Ia bukan seorang linguis, yang mempelajari dan meneliti bahasa secara mendalam, termasuk asal-usul, perkembangan, dan kekerabatannya, terkait lontaraโ€™ salinan dan bahasa ๐‘†๐‘ข๐‘Ÿ๐‘’๐‘ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ. Ulo Sirk, linguis Rusia yang meneliti bahasa ๐‘†๐‘ข๐‘Ÿ๐‘’๐‘ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ, menyatakan bahwa tidak jelas apakah bahasa kuno dalam epos itu identik dengan bahasa Bugis kuno, apalagi โ€œbahasa Bugis yang sebagian kosa katanya sudah kunoโ€ yang dimaksud Saudari Nurhayati. Hasil penelitian Sirk dimuat ๐ด๐‘Ÿ๐‘โ„Ž๐‘–๐‘๐‘’๐‘™ vol. 10, tahun 1975 dengan judul, โ€œOn old Buginese and Basa Bissuโ€. Sirk justru menghubungkan asal-usul epos itu dengan tradisi lisan Luwuโ€™.

Saya menyebutkan bahasa Luwuโ€™ kuno adalah bahasa ๐‘†๐‘ข๐‘Ÿ๐‘’๐‘ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ untuk mempertegas bahasa epos tersebut, sesuai kisah di dalamnya yang menyebutkan Luwuโ€™ berulang kali dan mengisahkan asal-usul Kedatuan Luwuโ€™, bukan Kedatuan Bugis atau Kedatuan Bugis Kuno.

๐ท๐‘’๐‘ ๐‘Ž๐‘ค๐‘Ž๐‘Ÿ๐‘›๐‘Ž๐‘›๐‘Ž atau ๐‘๐‘’๐‘”๐‘Ž๐‘Ÿ๐‘Ž๐‘˜๐‘’๐‘Ÿ๐‘ก๐‘Ž๐‘”๐‘Ž๐‘š๐‘Ž yang selesai ditulis Mpu Prapanca pada 1365 mengungkapkan adanya ekspedisi Majapahit ke โ€œBantayanโ€, โ€œLuwuโ€ dan โ€œUdaโ€. Tidak ada โ€œBugisโ€ di situ. โ€œBuruโ€, โ€œButunโ€, โ€œBhimaโ€, โ€œLombokโ€, โ€œSumbaโ€, โ€œSeramโ€, โ€œTalaudโ€, โ€œTernateโ€, โ€œMakhasarโ€, โ€œJawaโ€, โ€œAmbwanโ€ (โ€œAmbon)โ€, โ€œMalokoโ€ (โ€œMalukuโ€), โ€œTimorโ€, dan โ€œBalliโ€ juga tercantum dalam kitab itu, tetapi โ€œBugisโ€ tidak ada. ๐‘๐‘’๐‘”๐‘Ž๐‘Ÿ๐‘Ž๐‘˜๐‘’๐‘Ÿ๐‘ก๐‘Ž๐‘”๐‘Ž๐‘š๐‘Ž ditetapkan UNESCO sebagai Memori Dunia pada 2013.

Saudari Nurhayati juga memaparkan pendapat sejumlah ahli tentang penyalinan ๐‘†๐‘ข๐‘Ÿ๐‘’๐‘ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ yang pertama kali dari tradisi lisannya, tetapi pendapat mereka itu tidak bersesuaian satu sama lain, termasuk pendapat Christian Pelras, seorang etnolog Perancis. Dalam bukunya, ๐‘€๐‘Ž๐‘›๐‘ข๐‘ ๐‘–๐‘Ž ๐ต๐‘ข๐‘”๐‘–๐‘  (diterjemahkan dari ๐‘‡โ„Ž๐‘’ ๐ต๐‘ข๐‘”๐‘–๐‘ ), Pelras memperkirakan ๐‘†๐‘ข๐‘Ÿ๐‘’๐‘ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ mulai disalin sekitar abad ke-14. Namun, ia tidak memiliki bukti lontaraโ€™ ๐‘†๐‘ข๐‘Ÿ๐‘’๐‘ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ dari abad tersebut. Campbell Macknight, antropolog dan guru besar emeritus dari Australian National University, meragukan penyalinan ๐‘†๐‘ข๐‘Ÿ๐‘’๐‘ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ berlangsung sebelum abad ke-18. Bukti lontaraโ€™ salinan tertua ๐‘†๐‘ข๐‘Ÿ๐‘’๐‘ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ berasal dari tahun 1784 dan disimpan di Perpustakaan Athenaeum atau kini bernama Perpustakaan Umum Kota Deventer di negara Belanda. Naskah ๐‘†๐‘ข๐‘Ÿ๐‘’๐‘ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ di Perpustakaan Universitas Leiden berusia lebih muda, yaitu hasil salinan I Colliq Pujiรฉ Arung Pancana Toa Matinroรฉ ri Tucaรฉ pada pertengahan abad ke-19.

Pada 12 Maret 2006, George Junus Aditjondro, sosiolog yang terkenal kritis terhadap pemerintah Orde Baru, diminta menjadi pembicara dalam diskusi buku ๐‘€๐‘Ž๐‘›๐‘ข๐‘ ๐‘–๐‘Ž ๐ต๐‘ข๐‘”๐‘–๐‘  Pelras di Bentara Budaya, Jakarta. Tentu saja, ia mengkritik panjang lebar isi buku tersebut dengan argumentasi tajam dan bukti-bukti kuat. Salah satu paragraf dari makalahnya yang berjudul โ€œTerlalu Bugis Sentris, Kurang Perancisโ€ menggugat pembugisan semena-mena terhadap ๐‘†๐‘ข๐‘Ÿ๐‘’๐‘ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ atau ๐ผ ๐ฟ๐‘Ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ atau ๐ฟ๐‘Ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ:

โ€œKlaim Bugis atas Luwuโ€™, yang dicoba dilegitimasi oleh Pelras dengan mengklaim ๐ฟ๐‘Ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ sebagai karya sastra Bugis, sama absurdnya seandainya orang Jawa mengklaim ๐‘€๐‘Žโ„Ž๐‘Ž๐‘โ„Ž๐‘Ž๐‘Ÿ๐‘Ž๐‘ก๐‘Ž dan ๐‘…๐‘Ž๐‘š๐‘Ž๐‘ฆ๐‘Ž๐‘›๐‘Ž sebagai karya sastra Jawa. Atau sama absurdnya, seperti kalau orang Jerman mengklaim ๐ป๐‘œ๐‘š๐‘’๐‘Ÿ๐‘œ๐‘  sebagai karya sastra Jerman kuno, dan tidak mengakuinya sebagai karya Yunani kuno. Makanya lebih tepat kalau dikatakan bahwa ๐ฟ๐‘Ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ menjadi landasan filosofis karya-karya sastra Bugis dan suku-suku lain di Sulawesi Selatan dan Barat.โ€

Jadi ๐‘†๐‘ข๐‘Ÿ๐‘’๐‘ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ atau ๐ผ ๐ฟ๐‘Ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ atau ๐ฟ๐‘Ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ sudah jelas bukan karya sastra Bugis.

Saya ragu Saudari Nurhayati memahami metode perbandingan bahasa ketika membaca bagian esainya tentang caranya menentukan bahasa ๐‘†๐‘ข๐‘Ÿ๐‘’๐‘ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ. Begini tulisnya: โ€œSaya pernah menyampaikan kepada teman-teman di Luwu yang tidak menggunakan bahasa Bugis, terutama yang menggunakan bahasa Tae (rumpun bahasa Toraja), untuk mencocokkan bahasa mereka dengan bahasa La Galigo. Mereka semua baru paham bahwa ternyata tidak ada satu kata pun yang sama dalam kosakata La Galigo dengan kosakata bahasa yang mereka gunakan.โ€

Pernyataan Saudari Nurhayati itu tidak layak secara keilmuan. Dalam rumpun bahasa Austronesia mustahil tidak ada satu kata pun yang sama dalam tiap bahasa, khususnya yang terkait dengan Melayu Polinesia. Dua bahasa ditetapkan sebagai bahasa berbeda pun tidak diukur dari perbedaan seluruh kosa kata masing-masing bahasa, tetapi berdasarkan 200 kosa kata dasar dalam Daftar Swadesh, yaitu sebuah prosedur baku perbandingan bahasa atau leksikostatistik.

Saudari Nurhayati membandingkan dua bahasa dari pengelompokan bahasa yang jelas-jelas berbeda, yaitu bahasa Bugis dan bahasa Luwuโ€™, Taeโ€™, dengan tujuan mengklaim ๐‘†๐‘ข๐‘Ÿ๐‘’๐‘ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ, sastra lisan Luwuโ€™, adalah sastra Bugis.

Ibnu Khaldun, filsuf dan sejarawan terkemuka Mesir, pertama kali menyalin ๐ธ๐‘๐‘œ๐‘  ๐ป๐‘–๐‘™๐‘Ž๐‘™๐‘– pada abad ke-14, tetapi ia tidak pernah mengklaim ๐ธ๐‘๐‘œ๐‘  ๐ป๐‘–๐‘™๐‘Ž๐‘™๐‘– adalah sastra lisan orang Mesir atau sastra Mesir. ๐ธ๐‘๐‘œ๐‘  ๐ป๐‘–๐‘™๐‘Ž๐‘™๐‘– adalah sastra lisan Bani Hilal, salah satu suku di Jazirah Arab. Epos itu paling disambut dan dilestarikan di Mesir sampai hari ini. Mesir juga negara yang mengajukan ๐ธ๐‘๐‘œ๐‘  ๐ป๐‘–๐‘™๐‘Ž๐‘™๐‘– sebagai Mahakarya Budaya Lisan dan Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan kepada UNESCO dan ditetapkan pada 2003. ๐ธ๐‘๐‘œ๐‘  ๐ป๐‘–๐‘™๐‘Ž๐‘™๐‘– tersebar dan terkenal di Timur Tengah hingga Afrika Utara. ๐‘†๐‘ข๐‘Ÿ๐‘’๐‘ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ adalah sastra lisan Luwuโ€™, yang dikisahkan, tersebar, dan dikenal sebelum ia disalin. Tidak jadi soal ๐‘†๐‘ข๐‘Ÿ๐‘’๐‘ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ sengaja disalin atau dilestarikan orang Bugis. Yang jelas penciptanya adalah orang Luwuโ€™ atau bangsa Luwuโ€™, bukan Bugis. Yang jelas, ia merupakan epos Luwuโ€™, bukan epos Bugis.

Polemik ini sangat sederhana kesimpulannya. Kegagalan Saudari Nurhayati membuktikan adanya kata โ€œBugisโ€ dalam lontaraโ€™ ๐‘†๐‘ข๐‘Ÿ๐‘’๐‘ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ dan tidak terdengarnya kata โ€œBugisโ€ dalam pengisahan ๐‘†๐‘ข๐‘Ÿ๐‘’๐‘ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ menyebabkan gugurnya semua argumentasi, teori, dan dokumentasi yang dibuatnya sebanyak apapun. Bugis tak terbaca, tak tertulis, dan tak terdengar dalam ๐‘†๐‘ข๐‘Ÿ๐‘’๐‘ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ, sastra lisan Luwuโ€™ kuno, Memori Dunia dari Indonesia.

Kalangan akademisi, ilmuwan, dan pihak terkait perlu melakukan sosialisasi bahwa ๐‘†๐‘ข๐‘Ÿ๐‘’๐‘ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ atau ๐ผ ๐ฟ๐‘Ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ atau ๐ฟ๐‘Ž ๐บ๐‘Ž๐‘™๐‘–๐‘”๐‘œ adalah sastra lisan Luwuโ€™ untuk mengembalikan kebenaran kepada tempat yang seharusnya. (*)