12 Oktober 2022
Bahasa ๐๐ข๐๐๐ ๐บ๐๐๐๐๐ adalah bahasa Luwuโ kuno dan ๐๐ข๐๐๐ ๐บ๐๐๐๐๐ adalah sastra lisan yang diciptakan bangsa Luwuโ di Sulawesi Selatan…
Oleh: Linda Christanty
Penulis adalah sastrawan dan pegiat budaya
Gambar: Manuskrip Sureq Galigo abad kesembilan-belas
Sumber foto: wikipedia.org
SEBAGIAN orang menganggap ๐๐ข๐๐๐ ๐บ๐๐๐๐๐ atau ๐ผ ๐ฟ๐ ๐บ๐๐๐๐๐ atau ๐ฟ๐ ๐บ๐๐๐๐๐ adalah sastra Bugis, meskipun epos tersebut faktanya adalah sastra lisan Luwuโ. Saudari Nurhayati Rahman, filolog dan guru besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Hasanuddin di Sulawesi Selatan, turut mengklaim ๐๐ข๐๐๐ ๐บ๐๐๐๐๐ sebagai sastra Bugis dalam esainya, โEpos La Galigo: Huruf, Bahasa, dan Karya Sastraโ, yang dimuat ๐พ๐๐๐๐๐ , sebuah koran di Jakarta, pada 30 September 2022. Esainya itu mempermasalahkan sejumlah kalimat tentang ๐๐ข๐๐๐ ๐บ๐๐๐๐๐ dalam esai saya, โEpos Hilaliโ, yang dimuat ๐พ๐๐๐๐๐ pada 24 September 2022. Ia keberatan saya menulis bahwa โbahasa ๐๐ข๐๐๐ ๐บ๐๐๐๐๐ adalah bahasa Luwuโ kunoโ dan โ๐๐ข๐๐๐ ๐บ๐๐๐๐๐ adalah sastra lisan yang diciptakan bangsa Luwuโ di Sulawesi Selatan.โ
Saudari Nurhayati adalah seorang filolog. Ia tentu sudah membaca dan melihat bukti berupa lontaraโ ๐๐ข๐๐๐ ๐บ๐๐๐๐๐. Apakah dalam lontaraโ ๐๐ข๐๐๐ ๐บ๐๐๐๐๐ yang sudah dibaca Saudari Nurhayati tercantum kata โBugisโ? Yang jelas dalam ๐๐ข๐๐๐ ๐บ๐๐๐๐๐ bertabur kata โLuwuโโ. ๐๐ข๐๐๐ ๐บ๐๐๐๐๐ mengisahkan berbagai bangsa, kecuali โBugisโ.
Saudari Nurhayati mengklaim bahwa bahasa ๐๐ข๐๐๐ ๐บ๐๐๐๐๐ adalah โbahasa Bugis yang sebagian kosa katanya sudah kunoโ. Ia bukan seorang linguis, yang mempelajari dan meneliti bahasa secara mendalam, termasuk asal-usul, perkembangan, dan kekerabatannya, terkait lontaraโ salinan dan bahasa ๐๐ข๐๐๐ ๐บ๐๐๐๐๐. Ulo Sirk, linguis Rusia yang meneliti bahasa ๐๐ข๐๐๐ ๐บ๐๐๐๐๐, menyatakan bahwa tidak jelas apakah bahasa kuno dalam epos itu identik dengan bahasa Bugis kuno, apalagi โbahasa Bugis yang sebagian kosa katanya sudah kunoโ yang dimaksud Saudari Nurhayati. Hasil penelitian Sirk dimuat ๐ด๐๐โ๐๐๐๐ vol. 10, tahun 1975 dengan judul, โOn old Buginese and Basa Bissuโ. Sirk justru menghubungkan asal-usul epos itu dengan tradisi lisan Luwuโ.
Saya menyebutkan bahasa Luwuโ kuno adalah bahasa ๐๐ข๐๐๐ ๐บ๐๐๐๐๐ untuk mempertegas bahasa epos tersebut, sesuai kisah di dalamnya yang menyebutkan Luwuโ berulang kali dan mengisahkan asal-usul Kedatuan Luwuโ, bukan Kedatuan Bugis atau Kedatuan Bugis Kuno.
๐ท๐๐ ๐๐ค๐๐๐๐๐๐ atau ๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐ก๐๐๐๐๐ yang selesai ditulis Mpu Prapanca pada 1365 mengungkapkan adanya ekspedisi Majapahit ke โBantayanโ, โLuwuโ dan โUdaโ. Tidak ada โBugisโ di situ. โBuruโ, โButunโ, โBhimaโ, โLombokโ, โSumbaโ, โSeramโ, โTalaudโ, โTernateโ, โMakhasarโ, โJawaโ, โAmbwanโ (โAmbon)โ, โMalokoโ (โMalukuโ), โTimorโ, dan โBalliโ juga tercantum dalam kitab itu, tetapi โBugisโ tidak ada. ๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐ก๐๐๐๐๐ ditetapkan UNESCO sebagai Memori Dunia pada 2013.
Saudari Nurhayati juga memaparkan pendapat sejumlah ahli tentang penyalinan ๐๐ข๐๐๐ ๐บ๐๐๐๐๐ yang pertama kali dari tradisi lisannya, tetapi pendapat mereka itu tidak bersesuaian satu sama lain, termasuk pendapat Christian Pelras, seorang etnolog Perancis. Dalam bukunya, ๐๐๐๐ข๐ ๐๐ ๐ต๐ข๐๐๐ (diterjemahkan dari ๐โ๐ ๐ต๐ข๐๐๐ ), Pelras memperkirakan ๐๐ข๐๐๐ ๐บ๐๐๐๐๐ mulai disalin sekitar abad ke-14. Namun, ia tidak memiliki bukti lontaraโ ๐๐ข๐๐๐ ๐บ๐๐๐๐๐ dari abad tersebut. Campbell Macknight, antropolog dan guru besar emeritus dari Australian National University, meragukan penyalinan ๐๐ข๐๐๐ ๐บ๐๐๐๐๐ berlangsung sebelum abad ke-18. Bukti lontaraโ salinan tertua ๐๐ข๐๐๐ ๐บ๐๐๐๐๐ berasal dari tahun 1784 dan disimpan di Perpustakaan Athenaeum atau kini bernama Perpustakaan Umum Kota Deventer di negara Belanda. Naskah ๐๐ข๐๐๐ ๐บ๐๐๐๐๐ di Perpustakaan Universitas Leiden berusia lebih muda, yaitu hasil salinan I Colliq Pujiรฉ Arung Pancana Toa Matinroรฉ ri Tucaรฉ pada pertengahan abad ke-19.
Pada 12 Maret 2006, George Junus Aditjondro, sosiolog yang terkenal kritis terhadap pemerintah Orde Baru, diminta menjadi pembicara dalam diskusi buku ๐๐๐๐ข๐ ๐๐ ๐ต๐ข๐๐๐ Pelras di Bentara Budaya, Jakarta. Tentu saja, ia mengkritik panjang lebar isi buku tersebut dengan argumentasi tajam dan bukti-bukti kuat. Salah satu paragraf dari makalahnya yang berjudul โTerlalu Bugis Sentris, Kurang Perancisโ menggugat pembugisan semena-mena terhadap ๐๐ข๐๐๐ ๐บ๐๐๐๐๐ atau ๐ผ ๐ฟ๐ ๐บ๐๐๐๐๐ atau ๐ฟ๐ ๐บ๐๐๐๐๐:
โKlaim Bugis atas Luwuโ, yang dicoba dilegitimasi oleh Pelras dengan mengklaim ๐ฟ๐ ๐บ๐๐๐๐๐ sebagai karya sastra Bugis, sama absurdnya seandainya orang Jawa mengklaim ๐๐โ๐๐โ๐๐๐๐ก๐ dan ๐ ๐๐๐๐ฆ๐๐๐ sebagai karya sastra Jawa. Atau sama absurdnya, seperti kalau orang Jerman mengklaim ๐ป๐๐๐๐๐๐ sebagai karya sastra Jerman kuno, dan tidak mengakuinya sebagai karya Yunani kuno. Makanya lebih tepat kalau dikatakan bahwa ๐ฟ๐ ๐บ๐๐๐๐๐ menjadi landasan filosofis karya-karya sastra Bugis dan suku-suku lain di Sulawesi Selatan dan Barat.โ
Jadi ๐๐ข๐๐๐ ๐บ๐๐๐๐๐ atau ๐ผ ๐ฟ๐ ๐บ๐๐๐๐๐ atau ๐ฟ๐ ๐บ๐๐๐๐๐ sudah jelas bukan karya sastra Bugis.
Saya ragu Saudari Nurhayati memahami metode perbandingan bahasa ketika membaca bagian esainya tentang caranya menentukan bahasa ๐๐ข๐๐๐ ๐บ๐๐๐๐๐. Begini tulisnya: โSaya pernah menyampaikan kepada teman-teman di Luwu yang tidak menggunakan bahasa Bugis, terutama yang menggunakan bahasa Tae (rumpun bahasa Toraja), untuk mencocokkan bahasa mereka dengan bahasa La Galigo. Mereka semua baru paham bahwa ternyata tidak ada satu kata pun yang sama dalam kosakata La Galigo dengan kosakata bahasa yang mereka gunakan.โ
Pernyataan Saudari Nurhayati itu tidak layak secara keilmuan. Dalam rumpun bahasa Austronesia mustahil tidak ada satu kata pun yang sama dalam tiap bahasa, khususnya yang terkait dengan Melayu Polinesia. Dua bahasa ditetapkan sebagai bahasa berbeda pun tidak diukur dari perbedaan seluruh kosa kata masing-masing bahasa, tetapi berdasarkan 200 kosa kata dasar dalam Daftar Swadesh, yaitu sebuah prosedur baku perbandingan bahasa atau leksikostatistik.
Saudari Nurhayati membandingkan dua bahasa dari pengelompokan bahasa yang jelas-jelas berbeda, yaitu bahasa Bugis dan bahasa Luwuโ, Taeโ, dengan tujuan mengklaim ๐๐ข๐๐๐ ๐บ๐๐๐๐๐, sastra lisan Luwuโ, adalah sastra Bugis.
Ibnu Khaldun, filsuf dan sejarawan terkemuka Mesir, pertama kali menyalin ๐ธ๐๐๐ ๐ป๐๐๐๐๐ pada abad ke-14, tetapi ia tidak pernah mengklaim ๐ธ๐๐๐ ๐ป๐๐๐๐๐ adalah sastra lisan orang Mesir atau sastra Mesir. ๐ธ๐๐๐ ๐ป๐๐๐๐๐ adalah sastra lisan Bani Hilal, salah satu suku di Jazirah Arab. Epos itu paling disambut dan dilestarikan di Mesir sampai hari ini. Mesir juga negara yang mengajukan ๐ธ๐๐๐ ๐ป๐๐๐๐๐ sebagai Mahakarya Budaya Lisan dan Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan kepada UNESCO dan ditetapkan pada 2003. ๐ธ๐๐๐ ๐ป๐๐๐๐๐ tersebar dan terkenal di Timur Tengah hingga Afrika Utara. ๐๐ข๐๐๐ ๐บ๐๐๐๐๐ adalah sastra lisan Luwuโ, yang dikisahkan, tersebar, dan dikenal sebelum ia disalin. Tidak jadi soal ๐๐ข๐๐๐ ๐บ๐๐๐๐๐ sengaja disalin atau dilestarikan orang Bugis. Yang jelas penciptanya adalah orang Luwuโ atau bangsa Luwuโ, bukan Bugis. Yang jelas, ia merupakan epos Luwuโ, bukan epos Bugis.
Polemik ini sangat sederhana kesimpulannya. Kegagalan Saudari Nurhayati membuktikan adanya kata โBugisโ dalam lontaraโ ๐๐ข๐๐๐ ๐บ๐๐๐๐๐ dan tidak terdengarnya kata โBugisโ dalam pengisahan ๐๐ข๐๐๐ ๐บ๐๐๐๐๐ menyebabkan gugurnya semua argumentasi, teori, dan dokumentasi yang dibuatnya sebanyak apapun. Bugis tak terbaca, tak tertulis, dan tak terdengar dalam ๐๐ข๐๐๐ ๐บ๐๐๐๐๐, sastra lisan Luwuโ kuno, Memori Dunia dari Indonesia.
Kalangan akademisi, ilmuwan, dan pihak terkait perlu melakukan sosialisasi bahwa ๐๐ข๐๐๐ ๐บ๐๐๐๐๐ atau ๐ผ ๐ฟ๐ ๐บ๐๐๐๐๐ atau ๐ฟ๐ ๐บ๐๐๐๐๐ adalah sastra lisan Luwuโ untuk mengembalikan kebenaran kepada tempat yang seharusnya. (*)