13 Agustus 2022
Digital footprint — rekam data terkait interaksi di berbagai tempat, entah perlintasan yang misalnya memanfaatkan Google Maps, perkunjungan ke laman-laman atau platform atau portal disadari atau tidak – semua itu oleh sebab perkembangan ilmu pengetahuuan boleh jadi menguntungkan – dalam mengenali deretan prestasi seseorang, atau sebaliknya – jejak itu membongkar rancang strategi sesuatu yang dirahasiakan. Jejak digital punya jangkauan mahaluas, tak terbatas ruang, waktu, dimensi, dan ringkas diakses siapa saja, lalu jadi kekal di internet. Apa saja itu: teks, status di laman sendiri, foto, video, konten, komentar, data apa saja, internet banking, persetujuan akses cookies, riwayat pencarian, dll…
Oleh: Daniel Kaligis
Penulis adalah jurnalis penulis
Editor: Philips Marx
Gambar: Edit – digital footprint
COBA kata kunci pencarian di jagad maya untuk ‘digital footprint’: hari ini, Sabtu, 13 Agustus 2022, penelusuran di mesin pencari dalam waktu 0,38 detik, di layar digital termuat hasil sekitar 132.000.000 indikasi dan petunjuk terkait pencarian terminologi itu. Dan kita dapat lanjut pada sasaran yang hendak kita tuju sesuai maksud pelacakan.
Berapa zaman silam, percik darah pernah dianggap pengorbanan. Jejaknya tertera dalam sejumlah teks kudus. Turun-temurun cerita itu dibincang dalam berbagai persepsi, ditafsir, diasumsikan, ditulis ulang, bahkan jadi keyakinan. Dulu, di depan altar ada pencuri kurban. Zaman sekarang, pengembat derma dimangsa closed-circuit television.
Tentang jejak darah, kawan saya Linda Christanty, seorang sastrawan, penulis, pegiat budaya, pembela kemanusiaan, pemenang Khatulistiwa Literary Award, di portal YouTube-nya, Cerita Mak Cik Linda, menerakan ‘Ritual Darah dalam Agama dan Kekuasaan’. Di situ dia “Mengisahkan pembantaian manusia yang terjadi dari zaman ke zaman, dari penguasa ke penguasa. Pengikut doktrin pembantaian massal percaya bahwa kesucian paling murni lahir dari kehancuran total. Uniknya, agama tertua di dunia tidak mengorbankan manusia, melainkan mata lembing,” begitu ditulis Linda.
Fakta, data, drama, entah apapun telah menjadi bagian hidup kemanusiaan semesta, mengalir dalam perang dan damai, dalam susah dan senang. Waktu berganti, semua jadi kenangan untuk dievaluasi sekarang, hari ini.
Baca Artikel Terkait:
🖇 Edukasi Pengetahuan Hukum
🖇 Kapolri: Tidak Ditemukan Fakta Tembak-Menembak
Lalu, dor! Ada lagi yang tertembak, jejak darah memercik, meleleh. Orang-orang menangis, yang lain takjub, ada yang meminta kematian itu dikembalikan pada kehidupan. Mustahil! Namun sayang, Orang mati dari zaman manapun tak pernah dapat dibangkitkan, apalagi untuk bersaksi. Kalau saja ada ‘coroner autopsy’, yakni ada ‘kepentingan hukum’ untuk mengenali dan menditeksi penyebab kematian, prosesnya akan panjang, dan hal ini tidak akan menolong si tertembak mati untuk dapat dikembalikan hidupnya seperti semula. Mati, selesai. Fakta, data, proses, hukum, dan segala konsekuensi adalah urusan orang hidup.
Mujizat itu pengalihan isu. Mengenai hal pengalihan isu ini, Linda bilang, “Pola pengalihan isu dilakukan rezim masa lalu dan masa kini untuk menghadapi tuntutan rakyat.” Tulisan itu dimuat di Bangun Indonesia dalam tajuk ‘Berjuang untuk Hari Cerah, Melawan Hantu Tertuduh’, 20 April 2022.
Apa mau disangkal? Kita telah tiba di mana ilmu menjadi alas pengujian segala fenomena dan peristiwa, science. Segala perkara diuji, dibenturkan, ditelitih, dibahas hingga lunas. Ilmu, sebagaimana didefinisikan — bermakna memahami, mengerti, atau mengetahui. Dalam kaitan penyerapan katanya, ilmu pengetahuan dapat berarti memahami suatu pengetahuan. Semisal ilmu sosial dapat berarti mengetahui masalah-masalah sosial, dan seterusnya.
Jejak darah memercik di tanah air kita. Selasa, 19 Juli 2022, Linda menera status, “Jika suatu kasus kejahatan melibatkan petinggi militer ataupun petinggi sipil di negeri ini, maka penyelesaian kasus itu pasti sulit sekali memenuhi rasa keadilan bagi korban dan rakyat. Inang dan Ama di Muaro Jambi, saya turut berduka atas kematian putra kalian. Hanya doa yang bisa saya panjatkan sesuai keyakinan saya. Semoga satu saat kasus ini terungkap jelas dan keadilan terpenuhi.”
Je Sebastian, kawan saya di Jakarta, terkait ‘jejak darah’ yang mengusik kemanusiaan semesta, menyebut, “Penjahat paling sadis dan berbahaya adalah aparat bersenjata yang melawan hukum.” Kamis, 11 Agustus 2022 at 17:25.
Mujizat, apa itu? Keterangan palsu boleh jadi, hoax, cerita bohong, dan seterusnya. Dewasa ini, terminologi itu erat dengan fenomena upaya menghalang-halangi kebenaran untuk dimunculkan ke permukaan.
Jejak Ilmu
Mari kita ulangi, demi menandai jalan ‘jejak ilmu’, menuju perubahan, dan kemudian jadi ‘lebih baik’. Obyektif melihat soal yang sementara mendera bangsa kita. Negeri kita terintegrasi dengan negara-negara dunia, di mana pengujian segala ilmu sementara berlangsung. Maka, mari uji, evaluasi hukum-hukum, regulasi, ketetapan dan semua aturan di negeri ini apakah relevan praksisnya dengan kebutuhan masyarakat. Atau kandas pada mitos para penghambat kemajuan ‘ilmu’, pula kemajuan negara.
Bagi masyarakat luas, ilmu dibutuhkan: apa itu? Sekumpulan pengetahuan empiris, teoretis, dan pengetahuan praktis tentang semesta, termasuk semua disiplin pengetahuan yang dipelajari, dihasilkan secara jujur oleh para ilmuwan yang menekankan pengamatan, penjelasan, dan prediksi dari fenomena di dunia nyata. Historiografi dari science – disebutkan – sebaliknya mengacu pada metode historis dari sejarah intelektual dan sejarah sosial.
Ilmu dipelajari, diamati, diteliti, dst. Setiap persoalan dicarikan jalan keluar. Untuk tujuan kita, ada sejumlah definisi: Science dapat didefinisikan sebagai urutan pengetahuan dari fenomena alam dan hubungan antara mereka. Begitu disebut William C. Dampier-Whetham, ‘Science’, dalam Encyclopedia Britannica, edisi ke-11. (New York: Encyclopedia Britannica, Inc, 1911); Ilmu terdiri dari pemahaman yang runtun dan sistematis, deskripsi dan atau penjelasan dari fenomena alam. Berikutnya, ada hitung-hitungannya: matematika dan logika – alat yang diperlukan untuk usaha tersebut,” kata Marshall Clagett, Greek Science in Antiquity – New York: Collier Books, 1955. Selanjutnya, “Science adalah penjelasan sistematis dari fenomena yang dirasakan atau fenomena imajiner, atau didasarkan pada penjelasan seperti itu. Matematika menemukan tempatnya dalam science hanya sebagai salah satu bahasa simbolis di mana penjelasan ilmiah dapat diekspresikan.” David Pingree, Hellenophilia versus the History of Science, Isis 83, 559 (1982); Pat Munday, entry ‘History of Science’, New Dictionary of the History of Ideas – Charles Scribner’s Sons, 2005.
Baca juga:
🖇 Lagu Presisi dan Fenomena Gunung Es Mafia Tanah
Jejak digital sementara dibuka. Saksi-saksi memberi suara, mujizat masih berseliweran mendesak ruang publik. “Bila sungguh karena ingin melindungi harkat dan martabat keluarga yang kau cintai seperti apa katamu, ya lakukanlah dengan tanganmu sendiri. Jangan gunakan tangan orang lain, apa lagi bawahanmu yang berpangkat kopral, jenderal. Itu baru ksatria. Rakyat jelata yang tak rela sesamanya dibantai seolah tanpa arti,” kata Je Sebastian melanjutkan uraian dia tentang ‘jejak darah’. Interupsi itu ditulisnya, 12 Agustus 2022.
Siapa saja boleh punya pengetahuan. Namun, science, atau ilmu itu merupakan ‘pengetahuan khusus’ dan bersayarat. Ilmu menelusur ‘apa penyebab sesuatu’ dan ‘mengapa sesuatu itu ada dan terjadi’. Menurut Dani Vardiansyah dalam pengantar ‘Filsafat Ilmu Komunikasi’, Indeks, Jakarta 2008, bahwa, “Ada persyaratan ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu.”
Sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam yang telah ada lebih dahulu. Di sini kita berbagi syarat ilmu itu yang dipetik dari sejumlah sumber:
Pertama, ilmu itu obyektif — ilmu harus memiliki obyek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Obyeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji obyek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan obyek, sehingga disebut kebenaran obyektif; bukan subyektif berdasarkan subyek peneliti atau subyek penunjang penelitian.
Kedua, ilmu itu metodis — ada upaya meminimalisasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensinya, harus ada cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Secara umum metodis bermakna ‘ada metode tertentu’ merujuk pada metode ilmiah.
Ketiga, ilmu itu sistematis — dalam proses, mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu obyek. Ilmu mesti terurai dan terumuskan dalam hubungan teratur dan logis, sehingga membentuk suatu sistem utuh, menyeluruh, terpadu, dan mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut obyek.
Keempat, ilmu itu universal.
Indonesia, dalam kacamata dunia adalah ‘potensi’. Bergeraklah semakin harmonis dengan ilmu pengetahuan sebagai ‘mujizat’ zaman ini. Walau ada sejumlah mitos penghambat. “Kaum tua, ….kaum pro status quo lainnya dan para oligarkh di setiap zaman ya pasti akan berusaha menghambat perubahan-perubahan sosial dan gerakan kritik yang bertujuan agar negeri ini lebih baik,” kata Linda Christanty di artikelnya, ‘Berjuang untuk Hari Cerah, Melawan Hantu Tertuduh.’
Sebagaimana diketahui, investigasi empiris dari dunia alam telah diuraikan sejak Era Klasik. Sejak Abad Pertengahan metode ilmiah telah digunakan, munculnya ilmu modern dapat ditelusur ulang ke periode modern awal, selama masa yang dikenal sebagai Revolusi Ilmiah yang terjadi pada Abad Enam-belas dan Tuju-belas di Eropa. Metode ilmiah dianggap begitu mendasar bagi ilmu pengetahuan modern sehingga beberapa orang menganggap penyelidikan-penyelidikan alam sebelumnya sebagai pra-ilmiah. Seperti yang sudah dicantunkan pada paragraf sebelumnya, yang mana secara tradisional, sejarawan ilmu pengetahuan telah mendefinisikan science cukup luas untuk mencakup penyelidikan-penyelidikan tersebut.
Di sini kritik pengetahuan itu jadi penting, di negeri kita, sebab, hukum sebagai pengetahuan dan ilmu masih eksklusif dijamah kaum tertentu. Rombongan rakyat umat masih menelan tafsir ‘ilmu palsu’. Mereka jadi ‘obyek hukum’ yang gampang disuapi ‘mujizat’, mudah diracuni provokasi dan pengalihan isu.
Sejumlah perkara telah menjadi bahan pelajaran penting sepanjang zaman, selama kemanusiaan berada di semesta. Untuk itulah ilmu perlu diuji, diterapkan bagi kemanusiaan dan perdamaian dunia.
Laste
Soal hukum: Disebutkan di Amnesty International, bahwa, membunuh dan hukuman mati melanggar hak untuk hidup dan hak untuk tidak mengalami perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Hak tersebut dilindungi dalam Deklarasi Universal HAM, instrumen HAM lainnya, dan banyak konstitusi nasional di seluruh dunia, termasuk konstitusi di negara kita.
Mengapa ‘jangan membunuh’ itu masih bertahan dalam teks kudus, bukan mujizat? Sebab kelahiran karya Mahaagung, dan tak ada sesuatu dan seorangpun di bumi ini telah mewawancarai sang Agung itu untuk dimintai keterangannya. Fakta, selama ribuan zaman, tak pernah ada kebangkitan yang pernah menceritakan celaka yang dialaminya. Diam, terkubur dan jadi abu, menyatu semesta.
Mujizat, fashion segala mitos pengingkaran ternyata telanjang di depan ilmu. Jejak digital itu ditunjang ilmu, terus menderas, tak mungkin dihambat.
Maka, ceritakan kebenaran ilmu itu. Kita semua, saksi-saksi ketika mujizat penghambat kebenaran itu diterkam ilmu. Salam damai. (*)