19 Juni 2022
Tercatat di ‘Syair Satir Selatan’, petualangan di pesisir Badau, berlanjut di Labuanbajo. Di bayang mangrove ditebang proyek pelebaran pantai, penghalau gelombang setan-setan korupsi. Teks mendaratkan murka investasi. Ketika penutup muka sudah hampir tidak laku, sandal dituduh sundal.
Jualan hari ini dogma fiksi dan inflasi. Nun jauh di sana, Pachacamac memeluk Mama Quilla sang ibu bulan terbenam di ujung teluk, memerintah kelahiran makhluk. Di sini, regulator mendulang undang-undang seperti pedang…
Oleh: Daniel Kaligis
Penulis adalah jurnalis penulis
Gambar: Kapal sandar dan Kamera
VIRACOCHA tembang mengiris irama darah sejarah. Dewi Bumi Dewi Laut: dewa-dewi bermandi kelam, berkelahi jabatan. Pedang dihunus, leher rakyat, perut rakyat, sajak terbunuh di tikungan bersimbah keringat, darah, minyak goreng.
Bernabe Cobo bilang di kisah sunyinya, Viracocha suka sekali berperang, “Dia pangeran gagah berani hendak taklukkan separuh bumi.”
Di sana, di Tawantinsuyu, kekaisaran kuno berpusat di pegunungan Andes. Suatu ketika tarian. Baju bulu, tenun kipas, benteng, tanah liat. Senjata.
Matahari padam bagi Atahualpa. Penguasa Inka yang dianggap dewa matahari itu ditangkap sang conquistador Spanyol, Francisco Pizarro, 16 November 1532. Walau membayar tebusan, Atahualpa tetap dieksekusi pada 1533.
Tawantinsuyu, sajak melayang surat-surat ribuan kilo di pegunungan molek, Apu Illapu membaca mantera memanggil hujan, Ayar Cachi menggeliat bumi ribut bergoyang. Pachacamac memeluk Mama Quilla sang ibu bulan terbenam di ujung teluk, memerintah kelahiran makhluk.
Laut, hutan, badai, langit, trip, dedaun nyiur, peta, estorië: Kita, gelombang dipolitisir layar demoskratos pedagang dogma padang pasir!
Suatu masa, kita bersila di atas pasir dan semak pantai, menenggak vodka dan cap tikus, mengunyah ikan asap, pisang bakar, ubi bakar. Sajak hangus, laut adalah rindu yang kau bawa jauh berlayar. (*)