01 Juni 2022
Di suatu petang, di sebuah gang, ketika Nunun, anak jalanan Cempaka Putih kehilangan adiknya, 1997
Oleh: Emmy Sahertian
Penulis berkegiatan di Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika
Gambar: Ilustrasi – Dera Liar Alam
AKU membaca mantera sila-sila perkasa itu, sambil membuai adikku terbungkus kain kumal nan lapuk, ketika mengorek gundukan sampah itu…
Ada kertas bertulis:
Ketuhanan yang maha esa
Kemanusiaan yang adil dan beradab
Persatuan indonesia
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
Terhenti di sini, sepenggal kata terakhir tertinggal, tak sempat kubaca karena adikku menangis pilu.
Kembali kubaca mantera sila-sila perkasa itu lagi, sambil menggendong adikku yang masih menangis menunggu ibu bapakku pulang dari mencopet.
Siapa tahu mantera-mantera ini bisa menolong kami…
Tangis adikku meninggi lagi…
Sepenggal kata terakhir tak bisa kubaca…
…
“Diamlah dik. Nih kutemukan mantera ajiguna…, kita akan kaya.”
Kubaca lagi…
Terhenti lagi…
Sepenggal kata terakhir itu tak tuntas terbaca, karena aku terlelap bersandar pada tembok jembatan lama. Ibu bapakku tak pulang, ketangkap polisi dan dipenjara…
Aku membaca kembali mantera sila-sila perkasa itu, sambil menggendong adikku yang terkulai, tak bernafas…
Dan aku memeluknya erat untuk terakhir kali…
Dingin….
Beku…
Sepi…
Sendiri…
Innalillahi wainnallilahi rajiun…
Orang banyak itu membawanya pergi….
Lalu kubaca penggalan terakhir tulisan di kertas itu, kubisikan harapan sebuah kebangkitan:
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
…
“Dik…, bangun dik. Bangunlah sayang… Sudah genap manteranya.”
(*)