Saturday, November 23

Ayo Ngopi


13 Februari 2022


Terminologi ‘ayo’, dalam dialek Melayu Manado ditutur ‘mari jo’. ‘Mari jo bakalae deng kopi’, mari berkelahi dengan dogma larangan ngopi, lalu berdamai dengan ‘uang kopi’. Masih ingat, boss saya penyuka jurnalistik dan mendanai pendirian koran harian di jazirah utara Sulawesi, bilang terkait artikel dan berita yang disogok: “Ada secangkir kopi dalam tulisan ini, ada sebotol bir dalam kutipan pernyataan ini,” sambil dia menunjuk artikel yang dimaksud.


Oleh: Daniel Kaligis
Penulis adalah jurnalis penulis


Gambar: Warung kopi moderen


MARIJO NGOPI tamang, ayo ngopi kawan, kita sama-sama nikmati, Bung! Sambil baca sepotong teks De Corona Militis, artikel karya Quintus Septimius Florens Tertullianus (155–230): dia, sang Tertullianus, mahir kesusasteraan klasik, terlatih penulisan orasi, dan hukum. Ia terkenal di Kartago, kota kuno di Afrika Utara, di sisi timur Danau Tunis.

Kita mahir bersandiwara, menulis status ‘ngopi’. Sesungguhnya pinjam gelas dan cairan tetangga, lalu foto-foto. Saya juga acap kali begitu. Tidak beli kopi, cuma nonton teman minum. Saya, aqua dan alkohol saja.

Hei, susastra. Apa itu mahkota, corona? Kita ngopi seraya dijaga pasukan. Diamat-amati, ditodong teks dan kode-kode, begitulah pelarian jiwa-jiwa yang telah disumpahi baptisan segala pengobatan. Mereka yang menetap di dusun-dusun sunyi disebut dukun. Padahal, modernism sementara melacak jejak purba, memakan akar-akar dan buah, tapi membenci harga kopi tepi peradaban.

Di jalan-jalan masa silam berulang, saya bicara dengan kawan, namanya Johan, “Tertullianus itu tumbuh besar di kebudayaan Pagan, ditafsir kafir hingga sekarang.” Ah, Johan lebih sibuk mengurus ibu kota, nyerocos nanya-nanya dia empat hari lalu, 09 Febryari 2022. “Kalau mau nonton Formula E, beli tiketnya di mana ya? Beli tiketnya tidak harus ke Yaman, ‘kan ya?” Saya tertawa dalam hati dan dalam ‘emot’, jangan sampai murka turun, manis di bibir sandiwara radio, wajah tidak nampak, pendengar pemirsa tegang.

Kartago, Hanno Agung, Hamilcar Barca, Hannibal. Perang Punisia membakar gusar sejarah murka: Pedang Romawi menghunus jantung kota, hancur-leburkan Kartago. Seperti itu ditera sejarah. Masa silam memuja teks. Cerita tutur leluhur di tanah kita diludahi. “Puih…!” Berhala katanya.

Lanjut ngopi. Ketua, sekretaris, bendahara, belajarlah dari Tertullianus. Tuan-tuan nyonya-nyonya lengkap pangkat dan gelar, kita sama-sama duduk, sama-sama berdiri dan menyanyi berdoa bergembira.

Laut, gelombang garang. Kita menikmat senja, mengulang kisah mimpi yang punah di Mediterania, di Malta, di Sisilia, dan di Sardinia.

Orang-orang pulang ngopi, dibilang ke Yerusalem. Betapa mahalnya tiket, kau mengerti itu. Mana paspor? Ke ibu kota negara dulu habis duit sekitar satu jutaan. Belum beli kode-kode dan hadiah. Pulang – pergi sekitar tiga puluh jutaan. Begitu. Tanggal 13 tafsir kafir, angka-angka yang jadi tertuduh.

Lebih setahun status ngopi ini. Samuel, kawan saya di Raja Ampat bilang, “Agustinus juga dari Kartago, penulis City of God.” Begitu kata dia pada saya, medio Agustus 2020.

Kartago — Qart Hadasht, ‘Kota Baru’ – yang – sebetulnya kota itu kuno di Afrika Utara. Istilah Kartago juga digunakan untuk kawasan berpengaruh sekitar peradaban Kartago zaman lampau. Menurut legenda, kota ini didirikan Ratu Dido, Elissa, dari Fenisia.

Sambil membaca terus ngopi, mimpi Kartago, perjalanan. Menarik menyimak Itineraria Phoenicia ditulis Edward Lipiński. Saya menjawab, “De Civitate Dei contra Paganos, bro Samuel, teks penghiburan bagi rakyat yang tergoncang manakala Roma ditakluk Visigoth.”

Berlayar jauh pelarian. Kanaan, sebagaimana dicatat untuk bahasa, dituturkan di pesisir wilayah Mediterania, Ibrani, Arab kuno, dan Aram, ‘Phoenicia’ dalam bahasa Yunani dan Latin, dan ‘Pūt’ dalam bahasa Mesir. Merupakan bagian dari sub-kelompok Kanaan dari bahasa-bahasa Semit Barat Laut. Anggota lain dari keluarga ini adalah Ibrani, Amon, Moab dan Edom. Daerah di mana bahasa Fenisia diucapkan termasuk wilayah modern Lebanon, pesisir Suriah, pesisir utara Israel, sebagian dari Siprus, setidaknya sebagai bahasa penting di beberapa daerah berdekatan Anatolia. Bahasa itu ditutur di jajahan Fenisia sepanjang pantai barat daya Laut Mediterania, termasuk di wilayah modern Tunisia, Maroko, Libya dan Aljazair serta Malta, bagian barat Sisilia, Sardinia, Korsika, Kepulauan Balears dan ujung paling selatan Spanyol. Demikian contekan dari Glenn Markoe di kitabnya Phoenicians, dan Zellig Sabbettai Harris dalam A grammar of the Phoenician language, melengkapi yang ditera Edward Lipiński dalam Itineraria Phoenicia, 2004.

Saya berguman: Jubah jadi beban tubuh, tiara dituduh bersajak enam ratus enam puluh enam, senapan menodong, ‘di mana maskermu?’ Apa lagi ini, hoax microchips rasul rfid mengumandang tanda binatang, etic kuno syair-syair apocrypha disihir jadi keyakinan-keyakinan melawan science.

Ngopi jadi popular, walau sejarahnya cukup kuno. Orang-orang berkumpul, berdiskusi, lalu terbitlah matahari pencerahan. Neraka terbakar, sistem kebakaran jenggot menengok pelarian saling tuduh untuk tafsir yang segan dibahas dogma.

Mari jo ngopi, tamang. Periksa informasi, periksa berita, jangan mau disogok, jangan juga menyogok. Salam damai. (*)


#bukäbuku