Tuesday, November 19

YANG SESAT dalam Masyarakat Beragama Kita


17 September 2023


Berhitung mundur, waktu ternyata telah banyak memberi tanda, lebih sepuluh tahun silam stigma mengembara tanpa penjelasan dari berbagai pihak – berharap negara memberi pencerahan pada rakyat, umat, masyarakat. Hari ini, atmosfer pemikiran justeru semakin berkabut-asap berita-berita cerita bingung. Stigma sesat, terima saja di jalan nalar, di setapak pemikiran. Padahal, peta bumi telah dapat diakses semua makhluk…


Oleh: Denni Pinontoan
Penulis adalah penulis
Mengajar di IAKN Manado


Editor: Daniel Kaligis


TUDUHAN SESAT hadir dalam wacana masyarakat kita. Dari sekadar perbedaan doktrin, ajaran dan interpretasi, ‘yang sesat’ kemudian menjadi pembedaan secara moral, religius dan martabat. Mereka ‘yang dianggap sesat’ kemudian, baik secara keagamaan, politik maupun wacana, adalah mereka yang harus disingkirkan, dengan cara dibunuh sekalipun. Padahal, ini hanya soal ‘siapa’ menyebut ‘yang sesat’ terhadap ‘siapa,’ dan ‘apa’ tujuan atau maksud dari stigma itu.

Sejarah ‘Yang Sesat’

Apakah salah satu ciri dari masyarakat yang mewajibkan anggotanya memeluk salah satu agama, misalnya di Indonesia dari enam agama yang ‘diakui’ negara, yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Budha, Hindu dan Konghucu, adalah adanya ‘yang sesat’ dan ‘yang lurus’? Atau, apakah usaha mereligiuskan atau pula mengontrol sebuah masyarakat yang dilakukan adalah dengan menghadirkan wacana ‘yang sesat’? Tentu, secara teoritik, pertanyaan ini dapat menimbulkan perdebatan. Namun, kenyataannya, sepertinya begitu. Fenomena ‘saling sesat’ antar atau inter-kelompok beragama marak dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia.

Organisasi terbesar Islam di Indonesia, Majelis Muslim Indonesia (MUI), misalnya mengeluarkan rumusan sepuluh kriteria untuk menyebut kelompok beragama tertentu sebagai ‘aliran sesat’. Sepuluh kriteria tersebut adalah:

Pertama: Ingkar terhadap Rukun Iman dan Rukun Islam.
Kedua: Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai Dalil Syar’i (Al Qur’an dan As Sunah). Ketiga: Meyakini turunnya wahyu setelah Al Qur’an,
Keempat: Ingkar terhadap otentisitas dan atau kebenaran isi Al Qur’an.
Kelima: Menafsirkan Al Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah tafsir.
Keenam: Ingkar atas kedudukan Hadist Nabi sebagai sumber ajaran Islam.
Ketujuh: Melecehkan dan atau merendahkan para Nabi dan Rasul.
Kedelapan:: Ingkar terhadap Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul terakhir.
Kesembilan: Mengubah pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah.
Kesepuluh: Mengafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i.

Di dalam kekristenan, ‘aliran sesat’ sering dihubungkan dengan kata Yunani Hairesis (Bhs. Inggris disebut Heresy). Pengertian awal dalam bahasa Yunani, hairesis menujuk pada kelompok atau sekte, opini atau juga dogma. Tidak ada tendesi apa-apa, hanya menunjuk pada fenomena yang sering terjadi dalam sebuah masyarakat di mana ada kepercayaan atau agama yang dominan. Dalam beberapa kamus bahasa Inggris, kata heresy juga diartikan hampir sama, yaitu: ‘pendapat atau doktrin yang bertentangan dengan doktrin ortodoks, terutama dari sebuah gereja atau sistem agama.’

Berikut juga diartikan, ‘yang mempertahankan seperti pendapat atau doktrin.’

Dalam tradisi sejarah gereja Roma Katolik, kata ini menunjuk pada ‘penolakan dengan sengaja dan terus-menerus dari setiap artikel iman oleh anggota gereja.’ Lebih dinetral lagi, disebutkan heresy adalah ‘setiap keyakinan atau teori yang sangat berbeda dengan keyakinan yang mapan, kebiasaan.’

Di dalam Perjanjian Baru disebutkan sejumla sekte yang berakar dari Yudaisme. Misalnya, sekte orang Saduki (Kis. 5:17) dan sekte orang Farisi (Kis. 15: 5; 26:5). Kata ini juga bahkan digunakan oleh orang-orang yang menolak gereja perdana kepada pengikut Yesus. ‘Telah nyata kepada kami bahwa orang ini adalah penyakit sampar, seorang yang menimbulkan kekacauan di antara semua orang Yahudi di seluruh dunia yang beradab, dan bahwa ia adalah seorang tokoh dari sekte orang Nasrani’ (Kis. 24: 5, lihat juga 14; 28: 22).

Dalam Kamus Besar Besar Bahasa Indonesa (KBBI), kata ‘sesat’ diberi arti: Pertama: Tidak melalui jalan yang benar; salah jalan. Kedua: Salah (keliru) tidak benar; berbuat yang tidak senonoh; menyimpang dari kebenaran (tentang agama dsb). Kata ‘menyesatkan’ diberi arti: Pertama: Membawa ke jalan yang salah; menyebabkan sesat (salah jalan). Kedua: Menyebabkan keliru (salah) dsb; terkait pandangan dan pikiran.

Di sini sangat jelas kita lihat, bahwa ketika dikaitkan dengan agama, KKBI, tampaknya harus mengikuti logika agama untuk mengartikan kata yang sebenarnya netral itu. Padahal, ‘kebenaran’ dalam agama, sering hanya soal ‘interpretasi’ atau ‘doktrin’ yang dominan karena didukung oleh kekuasaan institusi keagamaan tersebut.

Dalam hukum di Indonesia, untuk mengatur kelompok ‘aliran sesat’ dasar hukum yang dipakai adalah Undang-Undang No. 1/PNPS/1965. Terutama dalam pasal 1 disebutkan: ‘Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama itu’.

Pada bagian penjelasan regulasi yang dimaksud, disebutkan bahwa agama-agama yang dianut di Indonesia adalah Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Konghucu. Sehingga, pasal itu harus dibaca dari konteks politis mengenai ‘pengakuan’ terhadap agama-agama. Keenam agama tersebut adalah agama impor. Namun sebenarnya, adalah kenyataan bahwa, baik secara murni – yang kebanyakan dipraktekan secara tertutup – maupun dalam bentuk saling pengaruh dengan agama-agama dari luar itu, atau saling dicampurkan, masyarakat Indonesia yang beragam suku, ras dan kepercayaan banyak yang masih mewarisi, menghayati dan mempraktekkan agama asli kelompok sukunya.

Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, di Jawa terutama muncul banyak aliran keagamaan misalnya kebatinan. Pada tahun 1953, Departemen Agama di masa itu melaporkan adanya lebih dari 360 kelompok kebatinan di seluruh Jawa. Untuk mengatur dan mengontrol kemunculan aliran-aliran tersebut, maka pemerintah membentuk Badan Kordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem) serta Undang-undang (UU) No. 1/PNPS/1965 tentang tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama.

Dalam sejarah kekristenan, Kristen Protestan yang merupakan buah dari Reformasi Martin Luther (1517), oleh Gereja Roma Katolik yang kena kritik tajam dari Luther menyebutnya sebagai bidah atau sekte. Di abad pertengahan, di masa gereja sangat dominan, orang-orang yang berbeda pendapat atau doktrin dengan ajaran resmi gereja juga disebut ‘bidah’. Banyak di antara mereka yang dihukum gantung atau dibakar hidup-hidup.

Dalam sejarah Islam, bidat menunjuk pada kelompok orang dengan ajaran yang menyimpang dari Al Qur’an, Sunnah atau secara umum disebutkan menyimpang dari Syariat. Namun, baik Kristen maupun Islam, yang memiliki otoritas untuk menilai sebuah pemikiran atau kelompok sesat atau benar adalah para elit agamanya. Meski disebut berdasar kitab suci atau tradisi, namun bagaimanapun definisi atau kriteria yang dimunculkan berasal dari sebuah proses interpretasi, di mana konteks politik kelembagaan memiliki peran penting. Tafsir.

Saya tidak bermaksud menulis sejarah ‘aliran sesat’, ‘sekte’ atau ‘bidat’ dalam agama-agama. Namun, pemaparan singkat di atas hendak menggambarkan bagaimana stigma ‘aliran sesat’, atau ‘sesat’ bagi seseorang atau kelompok orang, sebenarnya adalah konstruksi sengaja dari kelompok-kelompok yang dominan dalam masyarakat atau agama.

Pengertian ‘sesat’ yang dikenakan kepada kelompok yang berbeda sangat terkait dengan intepretasi subjektif dan sikap memusuhi. Meskipun maksudnya untuk menjaga kemurnian agama, namun tampaknya sikap permusuhan sangat menonjol.

Kita ambil contoh kasus di Indonesia. Akhir-akhir ini kembali mencuat kontroversi mengenai apa yang dalam kosa kata umum disebut ‘aliran sesat’ oleh kelompok agama tertentu kepada kelompok-kelompok keagamaan yang lain. ‘Aliran sesat’ dipakai sebagai istilah untuk menunjuk pada keompok, baik praktek maupun pemikiran keagamannya berbeda dengan ajaran agama yang diterima secara umum.

Selain menunjuk kepada kelompok-kelompok terbatas, tapi kemudian, misalnya dalam Islam, Ahmadiyah disebutkan juga sebagai kelompok ‘sesat’. Bahkan terakhir, ‘syiah’ oleh kelompok tertentu dalam Islam menyebut aliran yang mayoritas di Iran ini sebagai ‘aliran sesat.’

Dalam agama Kristen, gereja-gereja beraliran Pentakosta dan kemudian Kharismatik, menggunakan kata ‘sesat’ untuk menyebut ‘praktek dan kepercayaan’ yang dilakukan oleh kelompok masyarakat yang masih murni berorientasi pada warisan agama tua milik sukunya. Atau juga, praktek yang mencampuradukan antara teologi Kristen dengan kepercayaan suku. Bahkan tidak jarang, antara denominasi Kristen yang dipicu oleh perbedaan praktek, misalnya soal baptisan.

Ketika di bawah ke ranah hukum, Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 dipakai sebagai dasar hukum. Padahal, sebelumnya itu bagian dari dinamika beragama dan masing-masing agama yang memiliki mekanisme penyelesaiannya. Regulasi ini agaknya menjadi pintu masuk intervensi agama terhadap urusan keagamaan.

Dan dalam kenyataannya, tidak justeru menjadi solusi, malahan makin memperparah hubungan antar dan inter-agama. Dengannya, persoalan ‘saling sesat-menyesatkan’ antar dan inter kelompok agama, juga menjadi urusan negara, yang dicurigai terkait dengan politik kontrol agamanya.

‘Yang Sesat’ di Negeri Kristen

SULAWESI UTARA tahun 1999, masyarakatnya dihebohkan dengan pemberitaan oleh media cetak, lebih khusus Manado Post tentang adanya ‘Gereja Setan’ di Manado. Dalam sejarah Kristen modern, ‘gereja setan’ juga dimasukan sebagai salah satu ‘aliran sesat’ dalam gereja. Waktu itu, koran yang menjadi bagian dari Jawa Post Group ini bahkan sampai membentuk apa yang mereka namakan ‘Tim 11’, yang kerjanya melakukan investigasi terhadap pratek dan orang-orang yang disebut-sebut terlibat dalam ‘gereja setan.’ Sebuah berita koran ini, judulnya sangat bombastis: ‘Gereja Setan Merambah Manado’ (Manado Post, 29 Maret 1999).

Dua nama perempuan muda disebut koran ini sebagai anggota gereja setan, yaitu Rina Harsum Tamanampo dan Laura Gansalangi. Rina, konon adalah Ratu Iblis (Princes of Devil) dan adalah seorang imam dalam struktur organisasi Gereja Setan di Manado. Sementara Laura kata koran itu, memiliki nama panggilan ACE (baca Ase), yang berarti Anak Setan Emas.

Seorang yang memiliki posisi penting dalam pemberitaan tersebut, bernama Herman Kemala, ia seorang evangelis. Kemala, dalam pemberitaan koran itu diposisikan sebagai seorang yang memiliki kemampuan melakukan ‘pengusiran setan’. Mirip seorang tokoh protagonis dalam film-film action. Beberapa arsip berita koran itu mengenai ‘Gereja Setan’ di Manado masih bisa kita baca di sejumlah situs dengan cara mencarinya di google.com.

Oktober 2011, kembali Manado Post memberitakan adanya gereja setan di Manado. Judul beritanya tidak kalah heboh, ‘Manado Target Pusat Gereja Setan di Asia: Target Gereja yang Jemaatnya Tidak Serius dalam Ibadah’ (berita Selasa, 25 Oktober 2011).

Kali ini, pemeran utamanya mereka sebut kelompok Trisula atau kelompok pemberantas aliran sesat di Minahasa Utara. Berita ini tentang rekaman video yang diperlihatkan Trisula. Menurut berita, hal itu mengungkapkan rencana mereka untuk menjadikan Manado sebagai pusat gereja setan di Asia atau nomor dua di dunia setelah California, AS. Sepertinya isi materi beritanya hampir sama dengan yang diberitakan tahun 1999.

September 2012, media di Sulawesi Utara kembali ramai memberitakan lagi ‘aliran sesat’. Kali ini di Kota Tomohon, kota yang memproklamirkan diri sebagai kita religius dan pendidikan. Menyebut diri kota religius, karena pusat gereja terbesar di tanah Minahasa, yaitu GMIM berada di kota ini, selain ada juga gereja Roma Katolik yang sejarahnya cukup tua. Mungkin juga, karena di kota ini ada satu komunitas Islam, yaitu Kampung Jawa Tomohon.

Sebuah portal berita yang berpusat di Manado, dalam sebuah laporan beritanya menuliskan, ‘Akhir-akhir ini, Kota Tomohon dihebohkan dengan menjamurnya aliran sesat dengan melakukan ritual-ritual menyesatkan dengan tujuan membuat sseorang menjadi kebal.’ Judul beritanya mengerikan, ‘Aliran Sesat Landa Kota Religius Tomohon: Pengikut Diharuskan Minum Darah Manusia.’ Begitu ditulis di www.manadotoday.com.

Ritual itu dilaksanakan di dua situs budaya atau di situs sejarah, yaitu Watu Kaimeya dan Pinawelaan, di Kakaskasen. Di tempat itu, katanya ada orang-orang muda yang menjadi pengikut ‘aliran sesat’ dengan melakukan ritual. Praktek ritual dan perilaku para pengikutnya, oleh media disebutkan telah meresahkan masyarakat. Tanpa mau bersikap obyektif dengan memberitakan hasil liputan yang berimbang, media lebih suka menyebut ‘aliran sesat’ kepada yang sebenarnya sebagai praktek ritual adat, yang memang ada orang-orang yang mengikutinya.

Jadinya, opini yang terbentuk di masyatakat bahwa ada sebuah praktek keagamaan yang menyimpang di kota ini. Apalagi, pemberitaan ‘gereja setan’ dan juga ‘aliran sesat’ di wilayah tertentu di Minahasa sudah diterima secara umum oleh masyarakat.

Sebuah media memberitakan bahwa, seorang gembala (sebutan untuk pemimpin agama yang biasanya menunjuk pada gereja-gereja aliran Pentakosta) telah melakukan ‘ibadah pelepasan’ kepada beberapa orang yang menjadi pengikut, apa yang disebut ‘aliran sesat’ itu. Tidak jelas, apa benar ‘ibadah pelepasan’ dalam pengertian seperti terma dalam gereja-gereja ini, sebagai pengusiran roh jahat atau sekadar mendoakan saja. Tapi, biasanya istilah ini diartikan sama dengan ‘pengusiran roh jahat’, karena diasumsikan bahwa pada seorang pengikut yang mereka sebut ‘aliran sesat’, tubuh dan jiwanya telah dirasuk oleh ‘roh jahat’ atau ‘iblis.’ Model ibadah ini biasa ditemukan pada gereja-gereja beraliran Pentakosta, Injili atau juga kharismatik.

Praktek itu murni ritual adat. Sebagaimana biasanya orang-orang Minahasa yang masih memelihara tradisi para leluhurnya melakukan ritual adat di Watu Pinawetengan. Setiap tempat pelaksanaan ritual adat punya kisahnya, yang terkait dengan sejarah, adat istiadat, budaya dan di sana ada makna-maknanya.

Watu Kaimeya misalnya dikaitkan dengan cerita perdamaian Opo Pinontoan penguasa gunung Lokon dgn Opo Rumengan penguasa gunung Mahawu. Arti ‘Kaimeya’ Tonaas, John Sondakh, yang juga ketua umum Minaesaan Tombulu – Sulut, menyebutkan, secara etimologis berarti ‘kami’ (bhs. Tombulu ‘Kai’) dan ‘kami’ (bhs. Tombulu ‘Meya’) (http://minaesaantombulusulut.blogspot.com/). Ini terkait dengan legenda bertemu atau datang bertemunya dua kelompok, yang satu dipimpin Opo Pinontoan (Lokon) dan yang satu di Opo Rumengan (Mahawu). Dua kelompok yang dulunya saling bertikai itu, kemudian mengikat janji untuk berdamai dengan melakukan ritual dan tandanya adalah ‘Watu Keimeya’ tersebut. Betapa luhur dan baiknya makna dari watu tersebut.

Tapi, dengan alasan di situs itu ada sekelompok orang yang melakukan ritual ‘aliran sesat’ dan katanya telah meresahkan masyarakat, maka pada 13 September 2012, lurah setempat, sejumlah warga, pihak kepolisian dan koramil melakukan pembongkaran dan merusak beberapa ornamen tambahan di situs itu. Sebelumnya, tempat itu tertata rapi. Kelompok masyarakat Tombulu yang peduli dengan situs budaya menata tempat itu dan di sana mereka melakukan ritual-ritual adatnya. Memang salah satu ritual adat itu adalah memperlengkapi pengikutnya dengan ritual ‘mandi kabal’.

Sebelumnya, di lingkungan gereja, oleh pemimpin sejumlah gereja telah mengkhotbahkan di ibadah-ibadah Minggu di rumah gereja mengenai adanya ‘aliran sesat’ di Kakaskasen, Kota Tomohon. Sebagaimana tugas mereka yang lazim, mereka meminta kepada jemaatnya untuk mewaspadai praktek itu.

Bahwa ada para pengikutnya yang telah menyalagunakan ‘mandi kabal’ tersebut, mungkin adalah fakta. Dan itu tentu adalah urusan kepolisian, mungkin dianggap sebagai tindakan kriminal atau apalah istilah hukumnya.

Tapi, apakah dengan demikian maka kemudian kelompoknya disebut sebagai ‘aliran sesat’? Bagaimana dengan kelompok-kelompok latihan seni bela diri, seperti Karate, yang juga bisa ada anggota kelompoknya yang salah menyalagunakan kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki? Kenapa, jika terjadi demikian tidak disebut ‘aliran sesat’? Bagaimana pula dengan Debus yang merupakan kesenian bela diri dari Banten yang mempertunjukan kemampuan manusia yang luar biasa. Misalnya kebal senjata tajam, kebal air, tahan pukulan benda keras dan lain- lain?

Refleksi Kritis

Dari apa yang diuraikan secara ringkas dan kasar di atas, ada beberapa hal yang bisa saya refleksikan secara kritis terkait dengan ‘yang sesat’ dalam masyarakat kita.

Pertama, soal ‘yang sesat’: ‘aliran sesat’, ‘ajaran sesat’, ‘penyesat’, ‘orang atau kelompok yang sesat’ dalam kehidupan keagamaan terkait dengan fenomena pluralisasi dalam agama. Itu bisa kita lihat dalam sejarah agama Kristen dan Islam di masa-masa awal atau dalam perkembangannya beberapa abad setelah kelahirannya. ‘Yang sesat’ terutama menunjuk pada fenomena perbedaan, yang sebenarnya itu bagian dari dinamika atau perkembangan suatu agama.

Interpretasi terhadap kitab suci, kehidupan tokoh suci, tradisi dan sejarah, adalah lazim jika memunculkan beragam pendapat. Apakah masih ada agama sekarang ini yang benar-benar murni dalam pengertian sesuai dengan ‘yang asli’ atau ‘yang awal’ atau sesuai dengan apa yang tercantum dalam kitab suci? Saya kira tidak ada.

Konteks geografis dan demografis terkait dengan penyebaran dan perkembangan agama-agama tersebut, pasti akan memunculkan perubahan. Sebenarnya, perbedaan adalah soal biasa. Dan itu sudah mulai terjadi sejak kelahiran agama-agama tersebut.

Kedua, penghakiman terhadap kelompok tertentu sebagai ‘yang sesat’ sangat terkait dengan politik institusi keagamaan. Semua kelompok agama berusaha menjaga ‘kemurnian’ ajaran agamanya. Kecenderungan itulah yang kemudian memunculkan interpretasi untuk mencari legitimasi mengenai ajaran yang paling benar. Namun, karena perkembangan agama sangat tidak bisa dipisahkan dengan konteks maka adalah sebuah kewajaran jika muncul interpretasi yang berbeda-beda. Soalnya, dalam agama-agama, selalu ada kelompok yang merasa paling benar, atau yang merasa paling asli. Kecenderungan ini memunculkan arogansi, dominasi dan rasa berkuasa. Kelompok inilah yang merasa paling punya kuasa untuk menentukan hasil interpretasi. Maka, stigma ‘sesat’ sebenarnya muncul dari kelompok agama yang dominan, terutama dari para elitnya. Karena bagaimanapun, ketika melembaga, setiap (kelompok) agama harus memiliki apa yang disebut dalam bahasa politik sebagai ‘kekuasaan.’ Jadi, stigma ‘sesat’ sangat berhubungan erat dengan kekuasaan dalam lembaga agama. Kekuasaan, apapun itu cenderung hegemonik dan meminggirkan serta diskriminatif.

Ketiga, dalam kasus di Indonesia, hal yang dulunya adalah urusan keagamaan di internal agama masing-masing, dengan adanya UUD 1945 dan turuanannya Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 maka hal menentukan sebuah kelompok di dalam agamanya ‘sesat’ atau tidak, kemudian juga menjadi urusan negara. Meski pasal 1 dalam undang-undang tersebut tidak secara gamblang menyebut hal ‘aliran sesat’ tapi ia kemudian diinterpretasi oleh kelompok agama yang dominan untuk menjadi dasar hukum menjerat kelompok yang menurut mereka sebagai ‘yang sesat’.

Keempat, media tampaknya juga berperan dalam mensosialisasikan mengenai stigma ‘yang sesat’ itu. Media yang sebenarnya independen tapi karena ia hadir dan bersinggungan kuat dengan agama, dalam hal lingkungan sosialnya kuat dengan agama, dan juga persinggungannya dengan kekuasaan. Jadilah, wacana media adalah wacana yang sangat dipengaruhi oleh agama dan kekuasaan. Sejatinya, sebagai sebuah praktek jurnalisme, media harus berhati-hati untuk menyebut sebuah kelompok yang meski oleh agama disebut ‘aliran sesat’ namun karena ia bukan agama, maka bahasa yang dia gunakan mestinya bahasa jurnalistik. Dampak yang sering timbul dari pemberitaan yang tidak independent tersebut, justru keresahan yang muncul dalam masyarakat. Tak berlebihan bila disebut, model pemberitaan media tersebut justru memperuncing persoalan inter-agama dan antar umat beragama dengan masyarakat dan negara.

Jika begitu, ‘yang sesat’ sebenarnya adalah obyek bagi yang mayoritas dan dominan dari segi pengaruh wacana dan kekuasaan. Namun juga, ketika ‘yang sesat’ masih sering digunakan secara serampangan, baik oleh agama, negara maupun media, maka ini menunjukkan fenomena dari masyarakat yang ‘phobia’ dengan pluralitas. Selain bahwa, patut dicurigai, politik kontrol agama oleh negara, menyiratkan usaha penyeragaman sistem nilai dan ideologi.

Ironis, ketika ‘yang asli’, misalnya ritual adat agama tua atau situs budaya masyarakat lokal – yang lebih dulu ada dibanding agama-agama import – justeru disebut sebagai ‘yang sesat’, sementara standar kriterianya berasal dari agama-agama ‘yang bukan asli’ masyarakat lokal tersebut. (*)


Tomohon, 17 September 2012