02 Oktober 2021
Oleh: Soe Tjen Marching
Editor: Dera Liar Alam
Gambar: Retouching — Intellectual Monopoly Capitalism and the University
MEDIO dua pekan yang lalu, saya diminta organisasi yang meranking universitas-universitas di seluruh dunia, untuk menjadi salah satu panitia. Saya harus meranking salah satu universitas di Indonesia, nama universitas itu tidak saya sebut.
Ada beberapa yang langsung saya kritik dari kebanyakan universitas di Indonesia: mereka sangat mementingkan formalitas. Yang digembar-gemborkan fasilitas — walaupun fasilitas yang dipakai seringkali tidak ramah lingkungan, tapi isinya tipis.
Ini kritik saya: Universitas fungsinya seperti makelar bisnis, yang mencetak mahasiswa supaya bisa jadi budak perusahaan dan bahkan budak penguasa. Tak ada vissi missi yang mementingkan keragaman serta berpikir kritis, atau membuat mahasiswa sebagai agen perubahan. Tidak ada vissi missi yang mengutamakan hak-hak minoritas dan membuat universitas sebagai suara bagi para minoritas ini. Tidak ada suara kritis terhadap penguasa atau wacana pemerintah yang menyeleweng.
Hal inilah yang selalu saya pertanyakan dalam meranking universitas.
Maaf, kalau universitas cuma gembar-gembor punya komputer canggih, kelas ber-AC, kerja-sama dengan segombyok professor di luar negeri, tapi tidak ada isinya; akan saya beri ranking yang jelek.
Karena permintaan itu, saya tulis sekalian kesan saya tentang kebanyakan universitas lainnya.
Yang saya cari bukan fasilitas mengkilat, seperti kelas ber-AC, lantai porselen, lift, gedung megah, aula yang seperti istana, atau video pakai musik. Saya lebih melihat program studi, apa saja yang diajarkan, apa saja yang didiskusikan, contoh publikasinya bagaimana.
Kalau isi Universitas tidak mementingkan keberagaman, kesetaraan, kekritisan mahasiswa, perlawanan terhadap wacana penguasa atau wacana manipulatif, jelas akan saya beri ranking rendah. (*)
TANGGAPAN
Andri Kristian:
Ini menjadi masukan bagi semua penggerak pendidikan.
Chris Wibisana:
Djangan lupa mentalitas inlander di kampus² kita: baru diakui keilmuan kalau menulis dalam bahasa Inggris. Ah, djalan tjepat pakai Google Translate. Hasilnja: hantjur binasa.
Martin Aleida:
Mengerikan…
Soe Tjen Marching:
Videonya menunjukkan ‘semua kelas ber-AC’. Sampai saya hampir ketawa. AC itu kan bikin rusak lingkungan, kok malah dipamerkan?
Teni Ma’arif:
Soe Tjen Marching di kampusku, AC-nya jadi pajangan, pas dihidupin, listriknya njegglek alias mati.
Aulia Rizal:
Setuju
Daisy Irawan:
Basic sciencenya juga dibabati kok. Pendidikan kita sekarang, dari TK arahnya mencetak pedagang. Kita akan kehabisan ilmuwan.
Putu Oka Sukanta:
Orientasi pendidikan membentuk kemampuan menghafal, bukan kemamouan berfikir. Menjadi USER bukan MAKER.
Soe Tjen Marching:
Betul, makanya fasilitas yang dipamerkan sebenarnya juga menunjukkan mental kapitalisme mereka.
Frans Ari Prasetyo:
Setuju. Profesor atau dosen di NKRI, No Publish No Perish.
Pardo Gultom:
Lulusannya coba dicek bu, apa kebanyakan plagiasi atau tidak…
Soe Tjen Marching:
Pardo Gultom, sayangnya kita tidak sampai ke sana.
Hendy Wijaya:
Di Indonesia, universitas bukan alat utk mencerahkan atau membebaskan belenggu pikiran, tapi jd alat utk melegitimasi penguasa. Tak heran kalau doktrin reliji tetap nomor 1.
Tonang Maruli Jr:
Begitulah yang terjadi di negeri wakanda +62, apalagi yang berbasis agama daamay..
Degung Santikarma:
Universitas pabrik gelar untuk nakut nakuti rakyat…
Soe Tjen Marching:
Memang. Bikin video mahal-mahal, hanya untuk pamer fasilitas yang malah bikin saya ketawa. Kelihatan dari pameran ini kalau mereka cuma akan nyetak budak kapitalis.
Dewanto Sinurat:
Budaya kulit. Apa pun boleh demi kulit luar. Isi nomor 10.
Geraldi Suryaputra:
Bagemana ndak ranking rendah mbak, pemerintah dan perguruan tinggi juga terkesan membiarkan plagiarisme bahkan hal itu dilakukan oleh beberapa rektor kampus untuk mendapat gelar kehormatan.
Waitoin Fano:
Di indonesia, sepertinya hampir keseluruhan kampus punya karakteristik sama dan perilaku yang buruk. Ini problem sistemik, kak. bukan masalah Institusi PT-nya saja. Di Makassar sendiri, kebanyakan kampus yang melarang orang bercadar, membatasi pegiat literasi, ruang publik bagi kelompok mahasiswa kritis ditutup, membangun stigma buruk terhadap kelompok rentan seperti LGBT, dll.
Kresno Brahmantyo:
Waduh, tipikal universitas di Indonesia seperti itu, demi ranking.
Degung Santikarma:
Yang mengerikan, sok tahu mereka…
Soe Tjen Marching:
Iya, Degung Santikarma. Apalagi kalau gelarnya sudah berjejer-jejer atau dapat jabatan tinggi.
Degung Santikarma:
Soe Tjen Marching, ya, dengan image jarang bicara, atau nggak bisa bicara, biar berwibawa, kalau dikritik dianggap melunturkan kesaktian mereka…
Aditya Setiadi:
Beberapa mahasiswa universitas lain — universitas swasta di Jakarta yang tergolong top — yang jadi koresponden kami bahkan memberikan beberapa bukti dosen-dosen senior mengajar mata kuliah dengan mencampuradukkan agama. Misalnya, saat memulai slide PPT, dosen tersebut menulis, “Sejarah komunikasi sama tuanya dengan sejarah umat manusia, sejak Tuhan menciptakan Adam dan Hawa.” Saat kami tanya mengapa tidak dikritik? Mahasiswa jawab, “Tidak berani.” Karena terancam nilainya jelek. Memprihatinkan sekali…
Alex Zulkarnain N:
Aditya Setiadi, lama-lama semua jadi IAIN, dosen yang freethinker sudah nggak ada…
Altrerosje Asri Ngastowo:
Rankingnya bukannya punya ketentuan-ketentuan tertentu? Kadang universitas itu memberikan data sesuai kategori dan poin penilaian dari badan pemberi nilai juga, karena ranking-rankingan itu jadi alat marketing dan branding mereka juga…
Soe Tjen Marching:
Altrerosje Asri Ngastowo, memang ada ketentuan-ketentuannya, tapi ketentuan itu tergantung interpretasi kita juga. Dan saya juga punya kebebasan untuk mengutarakan apapun yang dianggap penting dalam penentuan ranking ini. Tentu saya bukan satu-satunya assesor.
Altrerosje Asri Ngastowo:
Soe Tjen Marching, sedihnya kalau di Indonesia ya, memang banyak universitas yang seolah lebih mengandalkan fasilitas fisik seperti kelas ber-AC, ruang dosen dengan cubical ukuran sekian. Kalau gak salah, itu juga jadi pertimbangan ketika mereka mengajukan akreditasi ke dikti. Tapi ya ingat saya itu hanya seper-sekian persen penilaian. Yang paling besar di tridharma PT, penelitian, pengabdian dan pengajaran, kalau ketiganya itu ada keterkaitannya maka nilainya lebih besar. Lebih besar lagi kalau mereka sering mendapatkan hibah penelitian dari luar PT, kemudian komposisi pengajar dan beban pengajar juga menjadi poin sendiri. Kalau rank dari dikti sendiri selalu mengikuti perolehan poin tersebut. Biasanya sih universitas-universitas yang cuma bagus di kulit ya memang nggak akan dapat akumulasi poin yang tinggi…
Altrerosje Asri Ngastowo:
Tentang pandangan-pandangan kritis kepada pemerintah dll, ya mungkin bisa dilihat dari judul-judul karya penelitian atau pengabdian masyarakat yang dimiliki ya? Atau visi misi universitas. Ya, kalau dalam hal ini memang banyak universitas yang lebih memilih netral.
Soe Tjen Marching:
Saya baru saja minta contoh publikasi dosen-dosennya.
Altrerosje Asri Ngastowo:
Mantap Soe Tjen Marching. Semoga dengan penilaian seperti pandanganmu itu universitas-universitas di Indonesia bisa semakin menggigit, nggak business as usual atau nurutin market atau sekedar nambah poin kuantitatif saja. Semangat mbak…
Alex Zulkarnain N:
Sebenarnya universitas itu tidak perlu ada karena yang namanya pengetahuan adalah membuat orang dari tidak tahu menjadi tahu sedangkan pengetahuan yang dilembagakan dalam sebuah universitas tujuannya tidak lain dan tidak bukan hanya untuk mencari duit. Kita dianggap bego dan tolol kalau tidak kuliah dan tidak punya gelar padahal yang namanya pengetahuan atau pendidikan bisa didapat tanpa harus kuliah. Apalagi di zaman sekarang di mana akses informasi dari belahan dunia manapun terbuka lebar…
Halilintar Lathief I:
Pabrik budak ato pabrik koruptor?
Soe Tjen Marching:
Keduanya Halilintar Lathief I?!
Dadang Christanto:
Universitas di Indonesia mencetak feodal baru lewat gelar gelarnya. Agar rakyat nyembah dan takut dengan gelar.
Satyariga Sukman:
Dadang Christanto, universitas – akademi = santapan industri + politisi intoleran. Ya, new feodal, betul kang. Satu putriku yang sulung saja kuliah karena kuurus beasiswanya sampai S1 Filsafat, tapi adik-adik, tiga putriku tak kuliah karena tak ada biaya.
Soe Tjen Marching:
Betul Dadang Christanto. Inilah yang saya pertanyakan. Sayangnya saya cuma salah satu dari panitia atau assesor ini. Pasti nanti ada yang tidak setuju dengan saya juga.
Juma Raja:
Sarang intoleransi
Kaka Suminta:
Mereka butuh ranking juga hanya untuk pasar.
Sugara Yao:
Memang ada beberapa orang bisa kreatif & sukses tanpa pendidikan formal. Pendidikan formal sangat dibutuhkan untuk mayoritas masyarakat.
Satyariga Sukman:
Universitas, institut, perguruan tinggi perkuliahan yang di kota di sekitar kita memang lebih utamakan bangunan, hil-hil materil tanpa isi tanpa ideologi – filosofi – konsepsi pendidikan, tanpa keberpihakan pada membangun masyarakat kecil. Ya semua itu terminal kelas tapi kan itu pendidikan atau lebih tepatnya pengajaran universitas. Semuanya masih berdiam di menara gading dan loteng pengusaha. Hasilnya kuliah untuk makanan para industrialis dan politikus.
Damairia Pakpahan:
Kapok ya universitas- universitas di Indonesia, ketemu assesor Soe Tjen Marching. Cek ada berbagai kebijakan: anti kekerasan seksual kah, keragaman, kesetaraan gender, pendidikan kritis, keberpihakan pada kaum miskin tertindas dan bagaimana praktiknya. Maju terus lawan penindasan.
Soe Tjen Marching:
Damairia Pakpahan, tapi assesornya bukan saya saja loh, Mai hahaha. Saya cuma salah satunya. Dua minggu lagi, para assesor akan ada pertemuan.
Nurkholis:
Setuju mbak Soe Tjen Marching.
Tetap sehat di London mbak.
Soe Tjen Marching:
Makasih banyak Nurkholis !
Engku Syntal:
Setuju
Amlan Maladi:
Universitas di Indonesia mayoritas masih kolot, hampir tidak ada gagasan yang cemerlang, rata-rata berjiwa kapitalis.
Soe Tjen Marching:
Memang Amlan Maladi, jadinya yang kuliah tidak tambah cerdas, tapi tambah pinter jadi budak.
Muhammad Ekosupriadi:
Bagian tangan kapitalis, sulit melahirkan ide baru
Leonard Binsar Siagian:
Konsep agen perubahan saja kita tidak mengerti mbak, di kantor saya yang dijadikan agen perubahan justru pegawai yang mau-mau saja disuruh kerja ini itu karena pegawai lain kurang kompeten atau tidak mau mengerjakan perkerjaannya sehingga si agen perubahan ini yg mengambil alih. Di mata pejabat kita, itulah makna agen perubahan, seseorang yang bisa mengubah keadaan biar jadi aman, beres dan terkendali.
Yudi Soh:
Paling jago mengeluarkan gelar-gelar ajaib, seperti profesor honoris causa.
Amarai Anderlecht:
Universitas di dalam Negeri menghasilkan SDM Oligarki paradigma bergerak ke arah kapital. Target memperbudak Kaumnya. Yang miskin tetap melarat, pelanggaran hak hidup, buruh dengan upah murah, Pelanggaran HAM. Masuk sistem politik praktis menghancurkan negara dengan KKN di rezim berjalan!
Soe Tjen Marching:
Betul Amarai Anderlecht. Universitas jadi ikut andil dalam merusak juga kalau begini.
Amarai Anderlecht:
Soe Tjen Marching, bahaya sekali bagi generasi bangsa kemudian.
Dharma Hutauruk:
Ada yang bagus ada yang belum. Ayolah, para assessor berikan terus kritiknya. Tetap akan berguna demi perbaikan walau pun kalah suara.
Soe Tjen Marching:
Memang universitas juga harus memenuhi persyaratan Dikti & Depdikbud, Dharma Hutauruk. Tapi kalau saya sebagai assessor membiarkan saja, tambah parah nantinya.
Dharma Hutauruk:
Betul bu, Soe Tjen Marching. Mudah mudahan assessor yang lain ada pula yang memahami sehingga bertambah penyuara.
Soe Tjen Marching:
Semoga saja Dharma Hutauruk, karena saya hanya salah satu assesor.
Ed Dy:
Universitas dengan membuka jalur penerimaan prestasi hafalan ayat, mesti peringkatnya level akherat itu.
Mas Ardhi:
Orientasi sekolah saat ini hanya menawarkan output sebagai pekerja. Sebenarnya tidak salah untuk hal ini. Cuma proses pendidikan menjadi jumud — statis, mekanis, dan mencerabut nilai-nilai. Sekaligus ‘memapankan’ idea materialisme individualistik. Konsekuensinya yang jadi pejabat berkecenderungan korup dan masyarakat biasa tidak jauh berbeda, cuma ranahnya berbeda.
Soe Tjen Marching:
Sebenarnya tidak salah memang Mas Ardhi. Orang butuh kerja. Tapi jangan lupa untuk melawan penguasa dan membela HAM. Jadi buruh atau pekerja, ‘kan bukan berarti sama dengan jadi budaknya penguasa.
Mas Ardhi:
Anda tahu, bahwa spesialisasi mata pelajaran pada jenjang sekolah dasar sebagai contoh, sebenarnya tak layak dilakukan. Bersifat free value, sedangkan tahapan anak sekolah dasar adalah membentuk karakter yang baik. Ini artinya kontraproduktif. Walaupun saat ini memakai Kurikulum 2013 (K-13), namun faktanya tetep saja. Ini kita bicara konsekuensi atas pola pikir yang direlevansikan pada kecenderungan, kehendak dan prinsip-prinsip yang dia pilih. Kenapa output pendidikan tidak peka terhadap kondisi sosial, ketimpangan sosial dan ketidakadilan?
Walau, hal ini tidak bisa digeneralisasi. Namun, perlu kita garis bawahi, apa yg dia ‘cerna’ dalam proses di universitas akan berpengaruh terhadap sikap yang dipilih. Membela atau tidak terhadap HAM bukan sekedar pilihan semata, namun bagian proses yang dia dapat dari pendidikan universitas. Membedah paradigma mahasiswa saat ini ataupun melihat kecenderungan fenomena mahasiswa saat ini adalah sama dengan ‘membaca’ sesungguhnya apa yang dia dapat dari universitas.