
11 Maret 2025
Oleh: Daniel Kaligis
HUTANG: Sistem dan hak-hak. “Izin berbagi,” kata Denny, kawan di Wanua.
“Bebas.” Begitu saya menanggapi. Saya membiarkan siapa saja dapat mengutip dan berbagi hal baik dalam hidup. Apa hendak dibagi, hutang? Berbagi kalkulasi, menghitung kekuatan di tataran rakyat. Terbaca sama, sama-sama tergantung hutang, miskin dan tertindas.
Maka, isu dibagi. Gambar perkara telah sering digubris, walau nyatanya tak didengar pemangku kursi kuasa. Rakyat terbiar – hanyut pada isu baru yang diskenariokan panggung sistem, sumberdaya dirampok. Begitu riwayat episode orde kukuh kekuasaan.
Berbincang kami, Aneis, Denny, James, dan saya. Aneis ada di negeri seberang. Demikian James, di bilik tersekat di ibu kota negara. Kami dengan soal masing-masing, menyempatkan diri mengomeli perkara negara. Isu ‘jangan biarkan hak asasi-mu ditentukan oknum-oknum tidak beres’ mengental manakala even pilih pemimpin dan wakil rakyat menderas tiap musim.
Ketika itu Maret 2014. Lebih sepuluh tahun berlalu dari hari itu manakala saya berbagi tautan, gambar berisi teks — jangan biarkan hak asasi-mu ditentukan oleh pelanggar HAM, koruptor, antitoleransi, penjahat lingkungan, perampas tanah, pro upah murah, pro diskriminasi. Diskusi dengan kawan-kawan selalu hadirkan skeptis dan idea baru.
Realisasi hari ini, apa? Masih sama. “Tahta diwariskan pada anak, hutang diwariskan pada rakyat,” beber Shinta Miranda. Saya membaca statusnya beberapa jam silam selagi menulis artikel ini.
Rizal, kawan pengemudi taxi-online – ketika melintas di kawasan Sudirman – bilang ke saya, “Apa-apa susah didapat sebab semua harga naik sekarang. Perhatikan pemimpin-pemimpin di daerah yang baru saja dilantik: saudaranya pejabat lama, kerabatnya, atau bahkan anaknya, tidak ada wajah baru.”
Korupsi dan berbagai pelanggaran langgeng. Rakyat masih pada posisi sama, hanyut pada kebaruan isu panggung kekuasaan yang bersikukuh menelantarkan soal-soal. Kabar 2011, Amerika Serikat mengetahui perihal keterlibatan Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, dalam kasus korupsi serta kekerasan yang ia lakukan demi mempertahankan kekuasaan politik. The Age media yang berbasis di Australia, 11 Maret 2011, dalam dokumen yang dipublikasikan Wikileaks menyebut Yudhoyono telah secara pribadi turut campur mempengaruhi jaksa dan hakim dalam rangka melindungi tokoh-tokoh politik yang melakukan korupsi. Ia juga dilaporkan kerap menggunakan agen rahasia Indonesia untuk memata-matai beberapa saingan politik serta beberapa staf pentingnya. “Staf Wikileaks secara eksklusif mengatakan kepada reporter The Age, bahwa pada 2004, Yudhoyono turut campur tangan dalam kasus Taufiq Kiemas, suami mantan presiden Indonesia, Megawati Soekarnoputri. Dilaporkan, Kiemas telah menggunakan kekuasaan politik istrinya yang memimpin partai terbesar ke dua di Indonesia untuk melindungi dirinya dari tuntutan hukum yang menjeratnya. Hal itu disebut dalam dokumen Wikileaks sebagai korupsi legendaris selama masa jabatan sang Megawati.”
Paragraf di atas boleh anda telisik di babaknya LIPUTAN 6. Ketika berita tayang, saya membagikannya hari itu juga, 11 Maret 2011: “Amerika Serikat mengetahui perihal keterlibatan Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, dalam kasus korupsi serta kekerasan yang ia lakukan demi mempertahankan kekuasaan politik.” Diulang sebagai penegasan bahwa perkara itu ada dan jejaknya masih dapat ditelusur hari ini – penguasa dan partai berkuasa, berbagi kursi kepentingan. Pemimpin punya corong di mana-mana, demikian juga partai ‘mengaku mengakomodir soal rakyat’, sementara kesenjangan terus saja melebar.
Maju setapak.
Tercatat terlapor, korupsi Transjakarta ke Mahkamah Agung, transkrip telepon bocor antara Megawati Soekarnoputri dan Basrief Arief, Jaksa Agung, disebar ke publik. Transkrip itu diduga terkait keterlibatan Joko Widodo dalam skandal Transjakarta.
Deretan judul boleh dibaca di berbagai media di tanah-air: ‘Bawa Setumpuk Dokumen Tim S3 Adukan Jokowi Ke KPK Terkait Dana Pendidikan’, ‘Konsultan IT Joko Widodo Bongkar Proyek Kartu Jakarta Pintar’, ‘BPK: Sistem Online dan KJP Jokowi Tak Sesuai Ketentuan, Negara Rugi Miliaran.’ Anda dapat memperpanjang deretan judul itu, silakan.
Skandal korupsi dikaitkan dengan Joko Widodo berfokus pada tuduhan korupsi ketika ia menjadi Wali Kota Surakarta dan Gubernur Jakarta. Ada program dengan kesalahan manajemen keuangan ditemukan Badan Pemeriksa Keuangan antara 2005 dan 2013 melalui audit laporan tahunan pemerintah. Program-program termasuk dana pendidikan, manipulasi pengadaan, tindakan ilegal melawan peraturan. Skandal duplikasi data BPMKS, pengadaan bus Transjakarta telah diajukan ke Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan Agung. Walau gugatan ternyata macet oleh isu merangsek menuntut baru, baru-baru, hindar menghindar, hilang jejak.
Di sini sambil membaca ulang sejarah. Varius Avitus Bassianus, tenar sebagai Elagabalus, dari Dinasti Severa. Elagabalus naik takhta pada usia empatbelas tahun melalui kudeta militer didukung Julia Maesa, neneknya. Reputasinya buruk di mata sejarah tradisional. Pengawal Praetoria, 11 Maret 222, membunuh Elagabalus bersama ibunya, Julia Soaemias. Tubuh mereka dimutilasi kemudian diseret melalui jalan-jalan di kota Roma, lalu dibuang ke Tiber, Tevere, sungai yang bermuara di Pegunungan Apennine di Emilia-Romagna dan berujung di Laut Tyrrhenia.
Masih membekas dalam ingat, COVID-19 ditetapkan sebagai pandemi global oleh WHO, 11 Maret 2020.
Sistem berseru, “Tak akan mundur melawan korupt.” Dijawab fakta, maju saja belum, jalan di tempat dan nengok ke sana ke mari. Hanya seru, teriak-teriak.
Mundur selangkah.
Kesaksian seorang serdadu yang pernah bertugas di Istana Bogor kepada Benedict Richard O’Gorman Anderson, menyebut bahwa Supersemar diketik di lembar berkop Markas Besar Angkatan Darat, bukan di atas kertas berkop kepresidenan. Soal itu yang menurut Benedict jadi alasan mengapa Supersemar hilang atau sengaja dihilangkan. Para pelaku sejarah telah mangkat, keberadaan Supersemar makin sulit diterangkan.
Rekam sejarah lupa, ini juga kami bahas dalam diskusi di dinding media sosial. “Woiii, hati-hati bocor dokumen negara,” ucap Benny. Saya jawab skeptik. “Dokumen ini sudah public domain, broer: sejarah selalu terbuka dibedah siapa saja.”
Wahyu, kawan saya yang mengajar matematika di SMP Negeri Meosbefondi, Papua, mengutip Pidato Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno 17 Agustus 1966 ‘Karno Mempertahankan Garis Politiknya yang Berlaku: Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah’, sbb: “Surat Perintah 11 Maret itu mula-mula dan memang sejurus waktu, membuat mereka bertampik sorak-sorai kesenangan. Dikiranya Surat Perintah 11 Maret adalah satu penyerahan pemerintahan, dikiranya Surat Perintah 11 Maret itu satu Transfer Authentic, of Authority, padahal tidak! Surat Perintah 11 Maret adalah suatu perintah pengamanan, perintah pengamanan jalannya pemerintahan, pengamanan jalannya any pemerintahan. Demikian kataku pada waktu melantik kabinet kecuali itu juga perintah pengamanan keselamatan pribadi presiden, perintah pengamanan wibawa presiden, perintah pengamanan ajaran presiden, perintah pengamanan beberapa hal.”
Hari ini diskusi, mindset masih diisi teori usang, menelisik keyakinan-keyakinan sama dengan kepentingan-kepentingan berkelahi sepanjang zaman.
Tahta kuasa hanya wariskan hutang. Wajah-wajah dikenal semenjak penjajah enyah ternyata berkelakuan sama, kejam dan menindas. Maka, sampai hari ini juang masih berkelanjutan agar kebodohan terstruktur miskin sistematis itu boleh digeserkan garis batasnya. Enyah hutang-hutang menindas. (*)