Saturday, December 21

Surat Purna Polisi kepada Kepolisian R.I.


05 Desember 2022


Surat Terbuka
Disampaikan dengan hormat kepada:

  1. Kepala Kepolisian Republik indonesia
  2. Kapolda Sulawesi Selatan
  3. Kabid Propam Polda Sulawesi Selatan
  4. Ketua Kompolnas
  5. Kapolres Gowa
  6. Ketua PP Polri Gowa

SEBAGAIMANA kita ketahui situasi terkini, bahwa, jajaran kepolisian RI bersama pemerintah sementara membenahi institusi ini, dalam hal ini mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada institusi Polri, seperti yang diamanatkan Presiden Jokowi. Maka, terkait hal itu, dan atas nama kecintaan saya pada institusi ini – dan agar kepercayaan masyarakat terhadap Polri boleh terjaga dan tidak mengalami ‘surut langkah’ dalam pembenahan sebab ‘ada kegoncangan praktik, ada polisi nakal’. Lewat surat terbuka ini saya berkehendak untuk meluruskan dan mengingatkan dalam ‘konteks hukum’ apabila terdapat oknum anggota polri yang melakukan suatu tindakan merugikan pelayanan kepada masyarakat agar segera ditegur dan diberi peringatan, ada sanksi yang sudah diatur. Ditemukan sejauh ini ternyata ada perilaku oknum tidak sesuai aturan hukum yang diamanatkan kepadanya. Mereka-mereka itu kiranya segera sadar diri dan introspeksi.

Saya – AKBP (Purnawirawan) Kamaluddin SH, Msi, dengan ini melaporkan dan menyampaikan kepada bapak yang mana saat ini telah beredar dan viral di media sosial dengan judul ‘Perseteruan Polisi VS Purnawirawan Polisi’ menyangkut ucapan dan perbuatan oknum anggota Polres Gowa di wilayah kerja Polda Sulawesi Selatan. Sehubungan dengan itu, untuk menghindari kemungkinan munculnya prasangka terhadap diri saya sebagai penghianat terhadap institusi Polri, saya tegaskan, “Sama sekali tidak pernah ada di benak saya sedikitpun kehendak berkhianat. Diulangi, saya dalam hal ini hanya meluruskan, mengingatkan kita semua dalam ‘konteks hukum’ yang kita anut di negara ini.

Kita semua menyadari, apapun upaya para petinggi Polri untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada institusi Polri sebagaimana perintah Presiden RI, tidak akan mungkin dapat terwujud apabila tidak didukung seluruh anggota Polri, khususnya yang masih aktif bertugas, dan berkelaborasi antar-fungsi, lembaga sosial, media, lembaga terkait, dan masyarakat luas.

Ada peristiwa ‘Perseteruan Polisi VS Purnawirawan Polisi’. Saya sampaikan kronologinya sebagai berikut:

Sabtu, 12 November 2022 sekira pukul 17.30 WITA, telah datang dua orang masyarakat – perempuan dan laki-laki di rumah saya minta tolong untuk dibantu karena anaknya bernama Bobi Satria, umur 16 tahun. Kedua masyarakat itu menyampaikan bahwa anak mereka Bobi dan seorang temannya telah ditangkap polisi dari Polres Gowa pada Jumat, 04 Nopember 2022. Ditelusuri, rupanya Bobi dan temannya sementara mengendarai motor, dan kedapatan di bawah sadel motornya ada busur.

Sabtu itu, orang tua Bobi menuturkan kepada saya yang mana mereka khawatir sebab anak mereka sudah ditahan selama sepuluh hari dan tidak dapat mengikuti pelajaran di sekolahnya. Oleh pihak polisi yang menahan Bobi itu melarang orang tua dipertemukan dengan anaknya. Saya bilang, “Cocok anak itu ditangkap. Diamankan oleh polisi karena kedapatan membawah busur. Makanya kalian orang tua agar selalu mengawasi anak kalian karena masalah pertikaian menggunakan busur sudah sangat meresahkan masyarakat.”

Berikutnya saya cari nomor telepon teman di Polres Gowa. Saya berbicara dengan kepada Ipda Ariyanto salah satu Kanit di Polres Gowa untuk minta tolong kiranya Bobi dapat dipertemukan dengan orang tuanya. Akan tetapi, Ipda Ariyanto bilang bahwa bukan unitnya yang menangani soal penahanan Bobi dan temannya. Ipda Ariyanto selanjutnya bersedia mencari informasi unit mana yang menangani Bobi. Sekitar pukul 18.30 WITA Ipda Ariyanto menghubungi saya melalui whatsapp menyampaikan bahwa persoalan Bobi ditangani unit Tindak Pidana Tertentu (Tipiter). Nama kanitnya Ipda Irham, pemeriksanya bernama Riski. Lengkap nomor handponenya disampaikan ke saya.

Sekira pukul 19.35 WITA, saya hubungi Riski. Saya minta tolong agar Bobi dipertemukan orang tuanya. Riski menjawab, “Siap! Suruh saja mereka (orang tua Bobi) datang besok pagi karena anak tersebut tidak ditahan melainkan dititip saja untuk dibina dan ibunya sudah tanda tangan surat penitipan.” Saya jawab, “O, begitu. Atur saja dengan baik. Kalau memang bisa, tapi kalau tidak bisa proses lanjut saja.”

Pada Senin, 14 Nopember 2022, sekira 07.00 WITA masuk whatsapp dari Riski menginformasikan bahwa anak itu telah dipertemukan dengan ibunya. Saya katakan, “OK, terima kasih banyak bantuannya, dik.”

Jelang berapa saat, ibu dari Bobi Satria menelpon ke saya lagi minta untuk anaknya dikeluarkan dari ‘tahanan’ supaya bisa katanya masuk sekolah. Saya sampaikan, mohon maaf, saya tidak bisa mengeluarkan anak ibu karena bukan kewenangan saya. “Kenapa tidak langsung saja minta tolong sama pak polisi yang menangani persoalan Bobi.” Dari warung kopi, saya hubungi Riski, saya mengucapkan terima kasih banyak atas batuan ‘adik’ saya itu. “Terima kasih banyak, dik, sudah mempertemukan Bobi dengan orang tuanya. Mohon petunjuk lanjut.”

Berpikir saya, mungkin ada sedikit masalah, kenapa orang tua dari Bobi meminta anaknya tersebut dikeluarkan dari ‘tempat penitipannnya’.

Jawabannya saya dapat dari Riski: “Sudah mau dibuatkan surat perintah penahanannya.” Saya bilang, “O, begitu. Apa tidak keliru, dik, kalau baru mau dibuatkan surat perintah penahanannya? Sudah lebih sepuluh hari anak itu diamankan. Jika memang mau ditahan, kenapa bukan dari awal. Penahanan anak di bawah umur mestinya sangat singkat. Saya bertannya, “Penahanan untuk anak berapa lamakah?” Dijawab ringkas, “Delapan belas hari,” kata Riski. Tegas saya mengomentarinya. “Mingkin salah itu, dik. Seingat saya hanya lima belas hari — delapan hari kemudian ditambah tujuh hari perpanjangan. Jadi, dik, baca dulu baik-baik regulasi. Ada KUHAP dan aturan peradilan anak.

Lalu, Riski menyambungkan pembicaraan kami, antara saya dan Kanit-nya. Kanit bersuara, “Siapa kamu?” Saya ucapkan salam, “saya Kamaluddin, pak. Pensiunan polisi, tapi masih ada hawa polisi sedikit sehingga kalau ada hal-hal yang sifatnya cerita miring terkait polisi saya berupaya meluruskan dan konfirmasi, pak Kanit.”

Suara ketus dan keras dari seberang, “Jangan anggota-ku diajari KUHAP atau aturan. Bapak ‘kan sudah pensiun. Kamu sudah pensiunan,” ujar Kanit itu.

Orang-orang di warung kopi mendengar diskusi kami. Mereka menanggapi. “O, kalau sudah pensiunan apakah tidak bisa bicara aturan? Bagaimana jadinya kalau masyarakat biasa? Jadi bagaimana kalau masyarakat kecil kasihan? pensiunan saja dibegitukan.”

Diskusi bersambung-sambung jadi perseteruan. Saya tanya, “Apakah kamu kenal saya?” Kanit bilang, “Saya kenal, kamu ‘guru-ku ko’. Kamu guruku,” ujarnya. Saya teruskan, “Kalau begitu kenapa berkata demikian?” Suasana semakin hot. “Pokoknya jangan ajari anggota-ku KUHAP,” balas Kanit. Saya jawab, “O, tunggu. Tunggu saya!” Dibalas Kanit, “Iyo, datang ma-ko. Apa langkahmu bapak yang melindungi busur.” Saya jawab, “Kamu tuduh saya ya?”

Pengunjung warung kopi mendengar dan menjadi saksi perseteruan ini sebab saya memang memasang speaker handphone selama pembicaraan dengan pihak Polres Gowa, dalam hal ini pihak yang menahan Bobi Satria. Di warung kopi ada H. Tawang, anggota DPRD Gowa, ada Haris Tappa, mantan Wakil Ketua DPD Gowa, ada Babinsa Tamarunang, ada Syamsuddin Dg. Ngawing, mantang Lurah Romang Polong, dan sejumlah pengunjung lainnya. Lanjut, saya berinisiatif menghubungi Wakapolres Gowa, namun belum diangkat. Tak lama berselang wakapolres hubungi saya via whatsapp. “Mohon maaf, abang. Saya tidak angkat telepon karena sedang rapat wanjak. Tapi, kalau abang mau temui saya di atas pukul 14.00 WITA.”

Sekira 15.40 WITA, saya datang bertemu Wakapolres Gowa di ruangannya. Sambil ngobrol saya sampaikan peristiwa yang saya alami hari itu. Saya bilang, anggota dia – yaitu Kanit Tipiter – yang berperilaku seperti arogan – dan seterusnya, seyogyanya diberi pembinaan serta pengawasan, baik dari tutur kata maupun peran sebagai pelayan, pelindung, pengayom, dan penegak hukum. Wakapolres Gowa saat itu menyatakan maaf atas kelakuan anggotanya itu dan berjanji untuk memanggilnya.

Saat saya keluar ruangan, dan masih di lingkungan Polres, ada warga masyarakat yang tegur saya. Dia juga menyatakan keluhan sama: Anaknya ditahan sudah empat belas hari karena membawa busur.  “Ini yang sedang diurus,” kata dia. Saya bilang, “Iya.” Warga itu Sempo Dg Lalang namanya.

Hari berikutnya, dari pagi saya sudah menghubungi Wakapolres Gowa bertanya perkembangan laporan yang sudah saya sampaikan kepadanya. Wakapolres Gowa bilang bahwa yang bersangkutan saya sudah dipanggil, dan pihaknya menuggu sampai malam. Namun, yang dipanggil menghadap tidak datang. “Katanya ada kegiatannya di lapangan, bang,” terang Wakapolres Gowa. Tetap saya pantau perkembangannya.

Kemudian dua hari lagi, saya berkabar dan bertanya: “Apa kabar pak?” Maksud saya untuk beroleh informasi tentang perkembangan kasus penahanan anak yang dimaksud. Ternyata sejauh ini belum ditindaklanjuti Wakapolres Gowa. “Saya serahkan ke Kasatnya untuk menyelesaikan.” Kecewa tentunya, saya katakana, “Mohon maaf kalau saya ambil langkah lain.”

Wakapolres Gowa bilang, “Sabar bang!”

Niat saya agar yang bersangkutan introspeksi. Datang minta maaf karena saya merasa dipermalukan, percakapan yang menjurus perseteruan saya dengan Kanit Tipiter, Ipda Irham, didengar dan disaksikan banyak orang di warung kopi. Hal ini telah sangat merendahkan derajat ‘polisi pensiun’.

Terkait soal penahanan Bobi Satria, di jalan Dato Panggentungan – Tamarunang kecamatan Somba Opu, Gowa, Sempo Dg. Lalang cerita kepada saya yang mana anak dari Lalang juga mengalami kejadian serupa. “Anak saya didapati membawa busur, dan ditahan,” kata Sempo Dg. Lalang. Saya tanya, “He, keluar-mi anak-mu?” Sempo Dg. Lalang bilang, “Iya keluar, saya disuruh bayar lima juta rupiah per orang. Jadi sepuluh juta dua orang bersama temannya anak-ku.”

Benar dugaan saya. Ada praktik nakal dalam kasus penahanan itu. Saya tanya ke Sempo Dg. Lalang, “O, siapa yang terima?” Sempo Dg. Lalang cerita, “Namanya pak Hendrik. Banyak anak yang diamankan di dalam, orang tuanya juga mengurus. Mohon kasihan jangan sampai saya dianggap memberitahu orang lain,” keluh Sempo Dg. Lalang. “Kalau saya cerita sama orang, anak saya diambil kembali oleh polisi,” beber Sempo Dg. Lalang.

Tak ada tanggapan dari atasan. Ini kritik saya pada Ipda Irham — yang menyebut jangan ajari anggota-ku KUHAP atau aturan -— timbul rasa jengkel karena merasa sangat dihina, merasa sangat dilecehkan, merasa tidak berguna sebagai abdi negara puluhan tahun, dan direndahkan oleh institusi saya sendiri hanya perbedaannya ‘saya pensiun polisi’ sementara ‘pak Ipda Irham polisi masih aktif’. Diskriminatif peran dan praktik hukum berlaku di institusi ini.

Makin jelas apa yang disebut Sempo Dg. Lalang dan istrinya ketika saya ke rumahnya, “Uang tersebut katanya untuk penagguhan penahanan anaknya, padahal tidak ada surat perintah penahanan ataupun surat lain yang pernah diserahkan oleh polisi. Padahal juga uang tersebut diperoleh dengan jalan pinjaman dan berbunga.” Videonya ada saya arsipkan. Sempo Dg. Lalang dan masyarakat ditakut-takuti KUHAP dan aturan. “Sudah ada pesan bahwa kalau kamu cerita sama orang maka anakmu ditangkap, diambil kembali.”

Ipda Irham dan mereka yang masih ‘nakal’ mengakali aturan merasa terusik. “Jangan ajari anggota-ku KUHAP atau aturan, bapak sudah pensiun sudah purnawirawan!” saya tahu, saya tidak sendiri di negara ini, pak!

Kepada para pimpinan, atasan, yang berwenang, yang terhormat: beri sanksi bagi oknum polisi yang nakal demi kepercayaan dan citra polri yang baik di mata masyarakat. Kami ‘polisi pensiun’ sangat cinta dengan Polri karena ana- anak kami besar makan hasil keringat dari institusi Polri.

Demikian surat terbuka ini sebagai laporan penyampaian saya selaku ‘polisi pensiun’ yang tetap setia kepada institusi Kepolisian Republik Indonesia.


Gowa, 05 Desember 2022

Salam Hormat,
AKBP (Purn) Kamaluddin. SH, M.Si.