Tuesday, October 8

Sia Una


28 September 2021


Oleh: Daniel Kaligis


A power ballad titled ‘When the Children Cry’, menggugat dari United Kingdom, awal 1989. Mike Tramp – Lead vocals, menyayat soul pendengarnya: Anak-anak menyanyi, dunia baru dimulai dalam cinta dan damai…


KEKESENEN adu mulut dengan Karto, jabang masih dalam kandung badan Keke. Pertikaian menjadi biasa, menyala dan reda, hingga Rudolf lahir, tumbuh, masuk sekolah, lalu berkarya.

Jauh sebelum itu, di Egypt ada Rudolf yang lain lahir. Kisah tentang dia bermula di Alexandria, 1894. Manakala Perang Dunia Pertama berkecamuk, Rudolf mendaftarkan diri dalam Resimen ketujuh Artileri Medan Bavaria, menjadi infantri, dianugerahi Salib Besi Kelas Dua. Usai perang, ia ke München, bergabung dengan perhimpunan Thule, membantu Freikorps.

Rudolf, wakil Adolf Hitler dalam Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei. Jelang perang melawan Uni Soviet, ia terbang ke Skotlandia untuk perundingan damai, namun ditangkap, diadili di Nuremberg, dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Namun, ia dipuja di kalangan kaum neo Nazi. Ia punya seorang anak, Wolf Rüdiger Hess, lahir 1937.

Duhai kenang history. Lembar-lembarnya lebih banyak diisi pertikaian. Wanua Una punya kisah: Masa lalu di bayang kibar bendera. Sawah, ladang, belantara, gunung, ngarai, sungai, danau, dan samudera luas. Anak-anak negeri, senyum sendiri. Kisah itu sungguh sunyi sebab peradaban berganti, lalu tibalah hari ini.

Wanua Una, diteriakkan John Lennon, kau pasti tak percaya.

Mereka bilang, “Kita sementara bermimpi.”

Dalam ketidaktahuan sejarah ditulis pemenang atau pecundang, orang-orang kalah dan siapa mereka yang merasa tak penting, enggan mengritisinya. Tapi, masa berganti ternyata mampu mengikis tumpukan puing pergolakan.

Batu-batu digali bagi pembangunan, membuat timbunan baru bagi petaka tak terprediksi. Amnesia berguling-guling mencakar-patik history munafik kebangsaan lalu jadi pertanyaan terlambat tumbuh, roboh benteng-benteng nation.

Wanua Una yang raya, kaya dalam mimpi-mimpi perantau nun jauh di negeri seberang.

Apa mau di kata, masa terus berganti tanpa mampu ditahan. Dikenang, sayang-sayang mimpi melayang.

Di masa pergolakan, suraro-suraro muda dalam hutan, di bawah purnama nyanyikan gerilya. “Rambutnya panjang e mama, berikat merah dan putih, hidupnya siang malam hanya di rimba raya.” Suraro itu serdadu, tentara.

Lagu yang dikarang di masa Permesta itu kemudian ngetop di tahun enam puluhan tujuh puluhan dengan syair yang sudah digubah. ‘Sapa suruh teken tentara,’ menjadi ‘Sapa suruh datang Jakarta. Sandiri suka sandiri rasa e do e sayang!’

Kita tak lagi memperguncing siapa penciptanya, yang penting nadanya enak di kuping. Seperti nada-nada Indonesia Raya, orang-orang dewasa ini terlalu capek menelusur dari mana iramanya. Laksana sejarah, orang malas membongkarbangkir catatan alternative untuk menemu baru.

Para mapan marah jika terjadi perubahan. Para rampok sumberdaya tak mau mengaku telah memiskinkan jutaan penduduk bumi. Para korup tak selalu gemuk, yang bernasib sial ada di balik jeruji.

Para miskin menelurkan ayat-ayat, “Orang kaya susah masuk surga,” dengus mereka. Itulah mengapa begitu banyak orang miskin yang tak juga berjumpa nirvana dan tak mampu mencipta bahagia di bumi ini.

Semua berkeluh kesah dan merasa diri berbeban berat. Tertawalah untuk kenyataan ini, karena tertawa itu menyehatkan jiwa.

Demikan Wanua Una, satu bumi. Bencana perang telah porakporandakan adab manusia karena serakah dan tak pernah puas.

Perang, apa pun alasannya, ujungnya adalah pembantaian dan kesia-siaan. Orang-orang merindu satu dunia yang damai. “Nothing to kill or die for, and no religion too, imagine all the people living life in peace,” ujar John Lennon.

Namun, nyaku terkesima pada ketakutan, “When The Children Cry” yang dilantun lembut meringis White Lion. “How can I explain the fear you feel inside, cause you were born into this evil world where man is killing man and no one knows just why.” Reruntuhan berabad-abad harus kita dirikan kembali. Anak menangis, anak manusia menyanyi, kehidupan baru dimulai. Walau, pada banyak persimpangan cinta dan perdamaian seperti musnah.

Sia Una, Sei Wona: dia sendiri, siapa dia. Tanya yang menanya diri sendiri. Karena kita tidak bertanya dari bahasa yang mana, bukan judul yang menjadi perkara dimengerti atau tidak, dalam isi kita beroleh apa?

Mengutip tajuk lama karena lupa: “Rimba membuncah tak ditanam ditebangi, tetumbuhan ditanam kemudian terbakar. System ngobrol lain di belakang hendak dilupa history luka.” Nu Wanua kita, tanah kelahiran, tanah leluhur yang dijunjung luhur, telah berlumur lumpur dan subur pengaburan.

Sedikit menoleh pada pembicaraan di awal tulisan ini, soal Rudolf.

Indonesia Raya. Rudolf tak beristri tak pula mengangkat anak. Lalu, di mana gugat dialamatkan jika sadur yang dibiolakan puluhan tahun itu ternyata plagiat?

Entah!

Rudolf dikejar-kejar polisi Hindia Belanda karena tembang Indonesia Raya. Agustus 1938, Rudolf ditangkap saat siarkan Matahari Terbit bersama pandu-pandu di NIROM — Jalan Embong Malang, Surabaya. Ia dipenjara di Kalisosok, Surabaya, dan wafat pada 17 Agustus 1938 karena sakit.

O iya, entah ini kebetulan. Kisah Rudolf berikutnya, ia pun mati pada tanggal yang sama dengan Rudolf yang dikisahkan pada bait pembuka tulisan ini. Hanya tahun yang berbeda. Walter Richard ‘Rudolf Hess’ meninggal pada umur 93 tahun di 17 Agustus 1987.

Sejarah penuhi ruang-ruang seminar. Digugat digunjing, tiada ujung. Kita punya pandangan masing-masing tentang perkara yang menjadi soal hari ini. Bukan soal siapa kita, siapa dia. Sejarah dimanipulasi dari tanah. Dari sumber yang enggan menyebut siapa dia.

Soal tanah. Agrarische Wet 1870 mengandung ketentuan pengakuan atas keberadaan hak masyarakat adat. Kondisi ini menciptakan kebingungan dan penafsiran berbeda di antara para ahli hukum di masa itu akibat gagal paham hukum tanah masyarakat adat atas hutan.

Nolst Trenite, seorang guru besar dari Universitas Uthrect yang juga Pejabat Tinggi Departemen Pemerintahan, berpendapat bahwa berdasarkan penafsiran azas domeinverklaring, tanah yang menurut hukum dikecualikan dari milik negara adalah hanya tanah yang menurut kenyataan dan biasanya digunakan komunitas masyarakat.

Pendapat Nolst Trenite ditentang Van Vollenhoven, Logemann dan Haar. Menurut mereka, tujuan sebenarnya dari Agrarische Wet 1870 tidak mengecualikan tanah apapun juga. Semua tanah hutan, jika perlu sampai ke puncak gunung, jika komunitas masyarakat mempunyai hak yang secara diam-diam diakui, tanah itu bukan tanah negara.

Tafsir saya tentang tana’ bagi tanah leluhur dari kacamata sendiri. Saya menyebutnya sebagai ‘Wanua’. Ada yang menyebutnya sebagai “Umbanua”, disajakkan dalam stanza “um banua kinatouanku, kinajadianku”, tempat lahir; penunjuk tempat dengan selipan “tou” pada kata “kina-tou-an-ku. Tanah, lokasi di mana saya menjadi “tou”dalam putaran roda zaman. Wanua menjadi “materi” yang berkaitan dengan siapa berasal dari mana, bagaimana rupa tanahnya, hawanya, rumahnya, ladangnya, kawan lama dan sanak keluarga, bagaimana perilaku mereka terhadap tempat yang disebut wanua itu.

Boleh jadi, tanah adalah sebuah even historis, subyek sejarah yang (entah) filosofis, dan (entah) di sana mengalir “kebenaran”. Dari sana kenang, kisah-kisah dituturkan setiap saat pada masa pembentukan, sementara kehidupan berproses dalam berbagai dinamika.

Di sana setiap benih tumbuh bersama waktu seberapa yang dapat dikalkulasi dengan hitungan terrekam dalam memori pemikiran para “tou”. Deretan kisah membentuk bilik-bilik dalam neuron, jiwa.

Inilah. Catat untuk dilupa!

Jakarta, September 2016


Bibliography:


⭕ Wage Rudolf Soepratman: Meluruskan Sejarah dan Riwayat Hidup Pencipta Lagu Kebangsaan Republik Indonesia “Indonesia Raya” dan Pahlawan Nasional – Hutabarat, Anthony C. 2001 – Jakarta: BPK Gunung Mulia. ISBN 978-979-687-037-0.

⭕ Mrs Foley’s diary solves the mystery of Hess – The Telegraph. Telegraph Media Group Limited – Smith, Michael – 27 December 2004

⭕ Top Nazi Rudolf Hess exhumed from ‘pilgrimage’ grave: BBC News. 21 July 2011

⭕ Tana’ bagi Tou Minahasa: Daniel Kaligis – Thursday, ‎July ‎18, ‎2013, ‏‎6:12:15 AM