Thursday, November 21

Secangkir Kopi dari Pendeta untuk Sang Jenderal


02 Maret 2019


Secangkir kopi hangat disajikan seorang pendeta, Ds. A.Z.R. Wenas kepada sang jenderal menyambut perdamaian yang lama dinanti…


Oleh: Denni Pinontoan
Penulis adalah penulis, mengajar di IAKN Manado
Editor: Daniel Kaligis


Artikel ini dikutip dari: kelung.id


APRIL tahun 1961 di Tanah Minahasa. Tepatnya di sebuah kampung bernama Woloan, Tomohon. Saat itu hujan rintik-rintik. Udara agak dingin.

Hari itu tanggal 11 April 1961. Seorang pemimpin gereja terbesar di Minahasa, Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM), Ds. A.Z.R. Wenas tampak hadir berada di antara para perwira militer, baik dari pihak Perjuangan Semesta (Permesta) maupun TNI. Seorang di antaranya adalah Jenderal Hidayat.

Ds. Wenas lalu bertanya kepada sang jenderal mau minum apa.

“Een kop koffie, Dominee,” (secangkir kopi, pak pendeta) jawab Jenderal Hidayat dalam bahasa Belanda kepada sang ketua sinode.

Lalu, sang ketua sinode yang sangat dihormati oleh orang-orang Kristen Minahasa itu menyiapkan secangkir kopi, dan melayaninya sendiri.

“Secangkir kopi untuk sang jenderal”.

Peristiwa itu hidup dalam ingatan Pdt. Prof. Dr. Wilhelmus Absalom Roeroe, mantan ketua sinode GMIM. Ia menulis kisah itu untuk mengenang Ds. A.Z.R. Wenas, ketua sinode GMIM pertama asal Minahasa dalam buku Kenangan Kepada orang Benar Membawa Berkat, (Letak, 2007).

Kedatangan Jenderal Hidayat ke Woloan dalam rangka upaya penyelesaian perselisihan yang telah mengakibatkan perang saudara dan perang antara Permesta dengan tentara pusat. Pergolakan Permesta itu terjadi mulai tahun 1957 dan berakhir damai tahun 1962. Ds. Wenas adalah seorang pendeta senior GMIM masa itu yang telah ikut berperan memediasi perundingan damai antara dua kubu yang saling bermusuhan, pemerintah dan TNI dengan Permesta.

Perang Permesta sudah berlangsung sekitar tiga tahun. Permesta dideklarasikan di Makassar pada 2 Maret 1957.

Selama konflik terbuka antara tentara Permesta dan tentara TNI, korban jiwa banyak berjatuhan. Rakyat sipil mengungsi ke kebun dan hutan-hutan. Keadaan di Tanah Minahasa sangat menyedihkan.

Tanggal 4 April sebelumnya, di Malenos, di sebuah perkebunan jati di Amurang, telah berlangsung sebuah upacara militer tanda perdamaian antara tentara Permesta dengan pemerintah pusat. Pasukan Permesta dipimpin oleh Mayor D.J. Somba. Pembacaan pernyataan dibacakan oleh seorang mahasiswa bernama Andri Sampouw. Bertindak sebagai komandan upacara adalah Kapten Lengkong Worang. Ikut hadir dalam upacara waktu itu sejumlah perwira Kodam Merdeka.

Dengan adanya kesepakatan perdamaian ini, maka sekitar 30.000 tentara Permesta yang sebelumnya terlibat kontak senjata dengan tentara pusat turun gunung dan keluar dari hutan-hutan.

Lanjutan dari Malenos adalah upacara perdamaian yang dilakukan di Woloan. Jenderal Hidayat hadir sebagai utusan Wakil Menteri Pertahanan. Ia adalah seorang perwira senior Angkatan Darat. Hadir pula Brigjen TNI Ahmad Yani, panglima Kodam XIII/Merdeka, kolonel TNI Soenandar Priosoedarmo. Dari pihak Permesta, Panglima Besar Revolusioner Mayjen Alex Evert Kawilarang, Panglima KDMSUT Kolonel D.J. Somba, Komandan WK-III Letkol Wim Tenges, dan perwira Permesta lainnya. Dari kalangan gereja, hadir Ds. A.Z.R. Wenas selaku ketua sinode GMIM.

“Hidayat dan Kawilarang adalah teman lama dan bersahabat,” tulis Ivan R.B. Kaunang dalam Permesta, Manusia dalam Perang: Riwayat Perjuangan Lengkong Worang, Kapten Permesta Letkol Purn. TNI-AD, terbit 2015.

Suasana waktu itu, seperti digambarkan Worang yang turut hadir pada upacara, penuh haru dan persaudaraan.

“Percakapan terjadi, berulang nostalgia masa lampau.”

***

Sebelum terjadi perdamaian di Malenos dan Woloan, sepertinya kedua pihak, Permesta dan TNI sudah berada pada titik kejenuhan berperang.

“Kontak senjata yang hanya menambah jatuhnya korban nyaris tak lagi terjadi,” kata Phill M. Sulu dalam Permesta dalam Romantika, Kemelut dan Misteri, terbit tahun 2011.

Menurut Sulu, sebetulnya di kalangan prajurit, umumnya tidak tahu mengenai upaya perdamaian yang sedang diusahakan oleh para petingginya. Mereka yang bergerilya di hutan-hutan tidak tahu sedang ada upaya perundingan yang diprakarsai oleh Broer Tumbelaka selaku Wakil Gubernur Sulawesi Utara dan Tengah. Ketua Sinode GMIM, Ds. A.Z.R. Wenas, kata Sulu juga sudah lama berikhtiar mempertemukan pimpinan TNI dan Permesta.

Sulu menuturkan, terdengar kabar waktu itu bahwa Ds. Wenas sudah sempat bertemu dengan Yoop Warouw di Remboken sebelumnya untuk membujuk tokoh Permesta ini agar bersedia berunding dengan pemerintah pusat. Upaya itu lalu dilanjurkan oleh Brur Tumbelaka yang memiliki kedekatan dengan Permesta.

“Melalui seorang kurir bernama Came Ticoalu, dari Sarongsong Airmadidi, ia telah beberapa kali mengkontak Panglima KDPM D.J. Somba. Awalnya kontak dilakukan lewat sepucuk surat yang disampaikan ketika Somba sedang berkunjung ke Markas WK I di desa Klabat pada awal 1960,” tutur Sulu.

Selama konflik Permesta, kata David Henley dalam The Fate of Federalism: North Sulawesi from Persatuan Minahasa to Permesta, Ds. Wenas memainkan peran yang diakui secara luas sebagai pembawa damai.

“Sepanjang pemberontakan, ia dan rekan-rekan di BPS GMIM terus-menerus mendesak kedua belah pihak dalam khotbah, surat, media cetak, dan siaran radio untuk meletakkan senjata mereka dan menegosiasikan solusi damai,” tulis Henley.

Di bulan Oktober 1959, ia bertemu langsung dengan Kawilarang untuk membicarakan upaya penyelesain konflik. Pada Januari 1960, ia menyampaikan surat berisi usulan perdamaian dari Presiden Sukarno kepada Warouw dan jajarannya di Remboken. Kira-kira tiga tahun sebelumnya, Sukarno menjadi tamu Ds. Wenas di Tomohon dalam kunjungan kenegaraan.

Di saat perang sedang berlangsung hebat, Badan Pekerdja Geredja Masehi Indjili Minahasa mengirim surat tertanggal 26 September 1959 kepada Presiden Sukarno:

“Bapak Presiden Jang Mulia!“Pergolakan daerah Minahasa makin hari makin menghebat demikian penderitaan rakyat makin memuntjak; realiteit dihari-hari jang achir ini jaitulah: Pembunuhan manusia dan pembakaran rumah-rumah/negeri-negeri makin bertambah.”“Ini mengertikan tanah kami Minahasa menghadapi keruntuhan dan kehantjurannja.”“Bapak Jang Mulia! Terhadap realiteit ini kamu tunduk; kami melihatnja dan memahaminja sebagai hukum Tuhan Allah jang mahakudus atas dosa dan kesalahan kami baik selaku rakjat baik selaku geredja di Minahasa.”

Demikian seperti termuat dalam buku Ds. A.Z.Wenas (1897-1967) Pelajan Geredja di Minahasa, Bulletin Dewan Gereja-Gereja Sulutteng, terbit tahun 1968.

Setahun sebelumnya, juga termuat di buku itu, yaitu Maret 1958 Sidang Sinode G.M.I.M mengeluarkan seruan yang ditandatangani oleh Ds. Wenas selaku Ketua Sinode menyikapi situasi mencekam di Tanah Minahasa akibat pergolakan tersebut. Tentara pusat membom Kota Manado dan beberapa tempat lainnya, termasuk Rumah Sakit Gunung Maria.

Seruan tersebut antara lain berbunyi: “Tinggalkan an hentikanlah djalan kekerasan, melalui pemboman, perang saudara antara kita dengan kita. Hentikanlah pemuntahan peluru dan granat pada Kota Manado atau kota-kota lain jang telah mengakibatkan tewasnya orang2 jang tiada bersalah.

Dengan adanya upaya-upaya perdamaian yang semakin nyata, maka intensitas kontak senjata antara tentara Permesta dan TNI perlahan mulai menurun.

Sebelum di Malenos, kata Sulu juga sudah dilangsungkan pertemuan antara Panglima Somba dengan TNI di desa Lahendong. Desa ini adalah kampung asal Somba.

“Pertengahan bulan Oktober 1960 warga desa ini sempat menggelar ibadah di gereja, khusus mendoakan perundingan-perundingan perdamaian antara TNI dan Permesta,” tulis Sulu.

Pada hari itu, lanjut Sulu, Brur Tumbelaka dan Somba sedang mengadakan pertemuan di sebuah perkebunan antara Lahendong dan Pinaras. Penduduk Lahendong tahu adanya pertemuan itu.

Satu pemandangan yang menarik, pada hari itu pasukan Permesta dan Batalyon Kala Hitam kompi Londok yang ada di sekitar Lahendong sempat turun ke kampung sacara terbuka.

“Mereka bertemu dan saling berangkulan dengan anggota TNI yang bertugas di Lahendong, sebagai luapan sukacita kedua pihak, sekalipun di kalangan pimpinan perundingan belum tercapai kata sepakat,” kata Sulu.

Ada hal romantik yang terjadi di saat fajar perdamaian sedang menyingsing. Kata Sulu, di masa itu beberapa anggota pasukan Tarantula jatuh cinta kepada gadis-gadis di desa Taratara, Kayawu dan Wailan.

“Seorang komandan peleton bernama Yulianus, pacaran dengan Ani, kembang desa Kayawu. Pasangan ini tak lama kemudian melangsungkan pernikahan. Begitupula seorang perjaka lainnya bernama Yacob. Ia menyunting Yulien, gadis desa Walian,” kenang Sulu.

***

Setelah perdamaian di Malenos, antusias penduduk sipil Minahasa dan juga tentara-tentara Permesta untuk segera mengakhiri perang secara menyeluruh tampak di mana-mana. Perdamaian di Woloan dilaksanakan pada tanggal 11 April.

Tapi, menurut Sulu, meski sudah dilangsungkan beberapa kali perundingan dan upacara perdamaian, namun suasana belum terasa pulih benar.

“Apalagi bertemu pasukan TNI yang selama tiga tahun lebih dianggap sebagai musuh,” kata Sulu.

Kekhawatiran yang sering muncul di kalangan prajurit Permesta adalah kemungkinan terjadi lagi konflik karena kesalahpahaman dan insiden yang tidak dinginkan.

Selain itu, hal lain yang lebih mengkhawatirkan adalah keberadaan pasukan partisan anti-Permesta. Mereka itu biasa disebut Tenaga Bantuan Operasi (TBO) pasukan TNI.

“Mereka sebagian besar adalah anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) yang sangat anti Permesta, karena Permesta menentang komunisme,” ungkap Sulu.

Salah satu doktrin Permesta adalah anti-komunisme. Jadi, di masa genting konflik tidak hanya terjadi dengan TNI melainkan juga dengan sesama orang Minahasa yang diidentifikasi pimpinan atau anggota PKI.

Di bulan Desember 1960 sebelumnya, Pimpinan Central Comite PKI di Sulawesi Utara, Sekretaris Jenderal Partai Yantje Suak sempat mengeluarkan sikap politik menentang penyelesaian damai antara Pemerintah dan Permesta.

“Para partisan ini membentuk pasukan pembantu TNI sebagai tindakan balas dendam terhadap Permesta, karena di awal perjuangan Permesta, semua anggota PKI diciduk dan dikarantina,” kata Sulu. (*)