15 September 2023
Miskin tambah miskin sengsara. Pemodal, kaya, kapital, langkanya menjejak di badan-badan, di kepala, di nalar fakir papa gelandangan duafa gembel politik serakah…
Oleh: Daniel Kaligis
MUASAL krisis berkepanjangan, awal perpecahan ditabur benih-benih keraguan seragam di lahan demoskratos. Zaman sekarang dipenuhi ketulian – ketidakpedulian – interupsi untuk diri sendiri — tertanda diri dan sesama sudah jadi asing. Deras hari ini, negara ingkar janji: diri adalah sosok bingung dan ajaib karena dibentuk sistem. Kita ternyata ada dalam upaya mencari jejak-jejak suara dan identitas orde yang sengaja dikaburkan, atau malah hilang bentuk. Dalam senyap renung mengental di jiwa, di nalar, di badan kemanusiaan Indonesia.
Coba tanya klaim ‘rasa memiliki itu’. Jangan-jangan kita sudah memusuhi – dalam diri, di luar diri dan tak tahu-diri lagi. Jangan-jangan diri hilang arti punah makna dalam belantara bingung deraskan amarah, karena negara sudah mendidik kita sebagai budak-budak dalam sistem yang pada hakekatnya tak mengerti apa yang dimaui kepentingan sistem, sepenuhnya meminggirkan rakyat – kemanusiaan dari kedaulatan hak-haknya. Jejak orde, jalan kelam penindasan hak.
Sosialisasi hak dibahasakan kewajiban. Bibir sistem yang membibirkan kumandang: sesuatu yang dicintai beribu waktu dan sampai kapanpun. Kisah NKRI harga mati, mati harga oleh peran tindas sana-sini. Indonesia yang bertanah air, berbangsa, dan berkeragaman, namun rakyat dibiasakan pasrah pada ‘kuasa penindas’ itu. Contohnya banyak, penganut beringas dikawal aparatus atas nama demoskratos: babak demo di balas demo, polusi suara dibiasakan pengeras suara peliharaan sistem untuk saling gonggong, saling serang, adu jotos bingung memukul badan Indonesia.
Tag melekat di badan adalah kesatuan, ditusuk-tusuk jadi persatean. Demikrian kritik kawan tentang persatuan terpaksa bersatu dalam tertindas. Real, nyata dijalankan adalah perseteruan, pecah-belah. Buyar imajinasi tentang plural: dibahasa-didikan dipaksa-tunggalkan dengan sosialisasi bhineka tunggal ika. Diikat regulasi basi tak tahan krisis, kebal kritik, malah tak tahu malu.
Berulang-ulang, maka kita ulangi lagi: Sengketa merebak. Biasa. Daftar perkara, skenario peminggiran ada di mana-mana. Kepentingan sistem di atas segala kepala tanpa isi. Antara demonstran dan aparat, antara petugas penggusuran dengan siapa yang hendak digusur. Antara warga dengan warga. Sengketa lawan sengketa, demo dilawan demo ricuh dan ruci menggenang dalam satu kolam tafsir ambigu menang sendiri. Pasal-pasal meruncing menyasar badan sendiri. Seperti itu Indonesia.
Segala bentuk intimidasi, kekerasan, penangkapan, penegasian, pengasingan, bukan hal baru dalam sejarah. Sesak cara-cara kekerasan fisik dan suara dibiarkan langgeng sebagai model adu domba sesama manusia. Sistem menyeringai dalam tawa waktu yang tua, karena ada yang kembali jadi abu. Imaginasi kita menerawang, membayang takut yang sudah singgah di gerbang hari-hari kerakyatan tanpa jiwa, tanpa nalar. Sistem sibuk sendiri, lupa cerdaskan hidup berbangsa, lupa kebodohan telah jadi tontonan, gizi buruk dipandang bonus: sekedar lahir dalam miskin idea, melarat mindset, cara pandang seragam saling tikam saling tinju.
Suatu tanda diberi, menyikapi kondisi yang berlangsung dalam kurun waktu panjang terhadap apa yang dialami tiap manusia ketika bersepakat secara politik di bawah naungan negara. “Secara politik, kolektifitas manusia yang menyepakati adanya pengaturan yang lebih sistemik atas kehidupan bersama akan melahirkan apa yang disebut dengan negara. Dalam persepakatan itu, negara lantas menjadi organisasi yang mengelola kekuasaan untuk mengatur banyak hal dalam kehidupan bersama. Kehendak mendirikan negera merdeka dengan rakyat yang sejahtera ini pulalah yang mestinya digarisbawahi sebagai motivasi sekaligus sebagai tujuan.” Itu kata Aji dalam tulisannya tentang ‘Seratus tahun kebangkitan nasionalisme’ di negeri ini – beberapa tahun silam. Tapi sayang, apa yang dipraksiskan di bumi kita? Negara sudah berdiri sendiri. Sistem adalah jelmaan patung atau robot angkuh yang buta tuli terhadap persoalan tiap manusia yang ia naungi. Dalam gerak, negara sudah mengangkangi rakyat, bahkan menendang apa yang dikiranya sebagai halangan. Imaginasi padam!
Sengketa telah lama dipelihara dan kapan saja merebak: sesama kita saling curiga, lalu saling tuding, kemudian saling bantai. Bukan sentimen masa depan yang sudah lewat. Kita hanya bertanya soal diri sendiri. Kita hanya ingin mendekatkan lagi organ-organ yang patah dan terserakpisah. Interupsi dalam refleksi disampaikan seseorang dalam thema revolusi diam. Ia, dia itu Hudan Hidayat mendera dalam banyak tanya. “Sejarah adalah sejarah kaumnya sendiri, dengan konteks dan masalahnya sendiri. Respon dan jalan keluarnya sendiri. Maka bagaimana Indonesia saat ini menjawab sejarah hidupnya yang terkepung, dan dikepung corak global itu? Apakah pikiran mereka? Mampukah mereka keluar dengan mimpi dan inspirasi? Dapatkah mereka membuat imaginasi baru, meledakkannya dalam ‘statement akbar’ yang berdaya ubah? Sanggupkah mereka menemukan ‘kata dan kerja’ in absentia?” Tanya itu bagi kita.
Kabar-kabar bias, ambigu kita peluk laksana rindu, argumentasi yang sudah basi dan lagi rawan disusupi. Ada pernyataan sederas badai kemarin. Perkara korupsi yang tak kunjung henti dan masih diminati. Kita menyebutnya ‘intens dikejar’. Kapan soal itu jadi kenyataan? Ulur dan tunda waktu sudah membungkam. Pelaku masih menyumbang senyum untuk kamera yang tak mengerti mengapa banjir dan hujan sudah dalam badan yang menjadikan ‘sakit’ sebagai tertuduh, mungkin isi amplop dalam corong yang membuat tersumbat. Peluklah berita ini sebagai cerita bagi anak cucu klak!
Derita rakyat, cerita populer yang disambangi janji-janji. Kita layak menginterupsi otonomi daerah yang membangkit-bangkitkan keraguan pemberdayaan rakyat dan partisipasi publik. Nasionalis salah arah dan pembangunanisme terpancang di sana. Implementasi kebijakan yang sering tidak lagi mengindahkan keadilan dan hanya berpihak pada kekuasaan dan uang.
Itulah kiranya yang boleh dicarikan solusinya secepatnya oleh sistem dan pemerintah yang ada di negara kita ini. Kebijakan pemerintah yang tak pro rakyat itu sudah membuat kemiskinan dan petaka menjadi abadi di bumi kita. Imaginasi baru lagi menunggu kenaikan harga yang lupa diri. Dalam mimpinya ia seakan jadi misteri, padahal sudah nyata ini adalah kelanjutan dari pembelengguan. Maka bangunlah sebelum kita semua menjadi budak asing yang mengimaginasikan baru sebagai tanda seru buat zaman yang menindas ini. (*)