06 Agustus 2024
Oleh: Dera Liar Alam
ANGAN deras tuju selat.
Masih ada seribu abad menjalar asa.
Partikel birumu pantulkan langit lereng Bulusaraung-Bantimurung.
Di sana, bernaung kenang Leang-Leang entah diingat saya dalam kufur memandang kelam rindang Pao Makkajoange: di sini awan mengawal malam saban musim.
Ambang siang kami makan mie instan rasa soto di tepi Salo Puté, sisa-sisa plastiknya jadi mutiara sepanjang aliran — para ziarah musim berikut merekamnya dengan gawai
Adzan mengabar tanah suci, gemanya di rimba, di tembok, di Salenrang. Saya menitip huruf-huruf pada hijau metroxylon yang ruah di sana, kemudian badai dan hujan menazarkan puisi kemarau. Longsor hanyut berita terkurung beban hutan musnah.
Jutaan zaman berlalu dan masih kental orang-orang mengeja Baruga, Balocci Baru, Bentenge, Biraeng, Bontojai, Bonto Birao, Bontocani, Gattareng Matinggi, Jenetaesa, Kalabbirang, Labuaja, Lamoncong, Langi, Lanne, Leang-Leang, Mallawa, Mangeloreng, Minasatene, Pattuku, Patanyamang, Samangki, Tondong Tallasa, Tompo Bulu, Tonasa, Tukamasea, dan seteruasnya ada di relung jiwa.
Pagi terik sajak rekayasa remang-remang rindu nan purba di Baturape – Cindakko – Leang Leang – Salenrang: kita seru Karaeng, ayo bersulang. (*)