Friday, April 26

Raut Buram Seroja


10 April 2021


Baca kisah, kumpul data fakta di sejumlah titik. Jalan rusak, fasilitas terabai, pembangunan tidak kena sasaran, dan sejumlah asumsi meretak-retak dentum peristiwa hari ini: Langit jingga ayat-ayat semesta merestu biru, gelombang, camar pulang di tebing menantang badai.
Terkabar Sawu, Kupang, Rote, Sumba, Selat Bali, Selat Lombok, Selat Alas, gelombang, arus, semesta membadai.
Siklon Seroja – Sumber Gambar: Tribun Bali

Oleh: D.L.A.
Penulis adalah jurnalis penulis


Erupsi Tambora dan Raut Buram Seroja


MEMBACA ulang memoar Thomas Stamford Raffles 1815, kenang ‘The Weather of the Waterloo Campaign 16 to 18 June 1815: Did it Change the Course of History?’ ditulis John Lewis.

Kawan-kawan, membincang resume peristiwa jadi pengingat. Dalam diskusi kami menajamkan isu, analisa. “Erupsi Tambora mengakibatkan punahnya kerajaan Gowa. Perubahan iklim tiba-tiba di Europe mengakibatkan kekalahan Napoleon — menurut penelitian sejarawan Prof. Adri Lapian,” kata Benni E. Matindas, 10 April 2020, mengomentari apa yang saya sebut sebagai pengingat, Estorië Letus Tambora – 10 April 1815 – debunya menyelimuti berapa pulau di Hindia Belanda, membikin pendinginan global dan tahun tanpa musim panas.

Mengulang kisah silam. Entah abai pada gejala alam: letus Tambora mengganggu Europe yang pada saat itu masuk musim semi 1815. Semburan debu dan sulfur dioksida dibawa angin badai ke langit Europe, kabut kering ada di berbagai belahan langit di atas bumi: Waterloo pecah 18 Juni 1815, lalu Napoleon kalah.

Namun, tercatat dan penting digarisbawahi, sesudah letus Tambora 1815, suhu global menurun sekitar 0,4 — 0,7 derajat celsius karena kabut kering menudung bumi. Menyusul wabah kolera di Bengal 1816. Tifus menghantam southeast of Europe hingga wilayah timur Mediterania medio 1816 — 1819, lalu kelaparan terburuk di Europe dan di berbagai lokasi di bumi boleh jadi karena climate change.

Alam di April yang kesekian kali bergulir. Tanda misteri yang terus dibaca umat manusia, bergejolak. “Perahu nelayan Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, diterjang badai gelombang dan angin kencang, terdampar di Australia.” Seperti itu ditulis Robertus Belarminus di Kompas, 09 April 2021.

Pasar Kasih Naikoten di Kupang, Selasa, 06 April 2021, masih sepi. Dampak Siklon Tropis Seroja, seperti ditulis di TEMPO.CO, Rabu, 07 April 2021, dengan tajuk ‘Pasca Badai Siklon Tropis Seroja, Pasar Tradisional di NTT Masih Sepi Pengunjung’.

Presiden Indonesia Jokowi, sudah datang di lokasi bencana NTT. Di sana dikabarkan lebih dari dua ratus orang dinyatakan tewas. Demikian diberitakan France 24, 09 April 2021. Tercatat, siklon tropis Seroja mulai terbentuk di selatan Nusa Tenggara Timur, 03 April 2021. BMKG sudah menerbitkan peringatan dini ancaman gelombang setinggi empat meter hingga enam meter berpeluang terjadi di perairan barat Lampung, Selat Sunda, bagian selatan Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Pulau Sawu, Kupang, dan Pulau Rote.

Disebutkan juga yang mana daerah pesisir Aceh, Mentawai, Bengkulu, Jawa Tengah, Pulau Sumba, Selat Bali, Selat Lombok, dan Selat Alas berpotensi mendapat gelombang setinggi dua setengah meter hingga empat meter.

April berulang, saya menera tanda dalam sajak.


Dia sajak cinta diulang-ulang, mendekam raut buram Seroja.
Tetap cinta, ratapmu…

Amuk mendesau Sawu, Kupang, Rote, stratovolcano Lamaholot, Bima, Timor Leste. Derai belum jauh, Selat Sunda, Banten, Lampung, pesisir Aceh, Mentawai, Bengkulu, Sumba, Selat Bali, Selat Lombok, Selat Alas.

Banyak alasan, tetap cinta…


Bumi terhubung oleh cakrawala dan isu yang melingkupinya.

Berapa kali datang di NTT, membaca kisah, mengumpul sejumlah data dan fakta di sejumlah titik. Jalan rusak, fasilitas terabai, pembangunan tidak kena sasaran, dan sejumlah asumsi yang meretak-retak dengan dentum peristiwa hari ini: Langit jingga ayat-ayat semesta merestu biru, gelombang, camar pulang di tebing menantang badai. (*)

1 Comment

Comments are closed.