2019
Oleh: Dera Liar Alam
Penulis adalah jurnalis penulis
Gambar: Gunung Lokon diterawang dari sekitar lereng Woloan.
DI TANGAN para haus kuasa, ayat-ayat menjadi mata pedang bernyala-nyala menghunus maut: pada umat, pada pemirsa, pada penonton, pada pembaca, dan seterusnya.
Apalah firman – yang dalam susastra – menjadi dua pisau sekaligus di tangan kiri dan kanan: pisau bedah analisa dan tafsir – pisau roti untuk berbagi kenikmatan, yang kedua-duanya akan sanggup memisah sumsum dan tulang, memisah fiksi dan fakta.
‘Ayat-ayat suci’ sesederhana kata para pujangga yang menyimpulkan TUHAN ada di gubuk orang miskin. ‘Ayat-ayat suci’ setara orasi Sukarno ketika meneriaki orang-orang sebangsa se-tanah-air memperjuangkan ‘tanah suci’ ini manakala Nusantara terjajah regime rampok sumberdaya.
Kawan bilang, “Sesuatu ayat – meski hal ayat itu – adalah fakta, namun ayat tersebut tidak dapat dijadikan konklusi dari suatu konsep dan penalaran.” Demikian. (*)