Friday, September 19

Privatisasi, Bumi Krisis Air Bersih


23 Agustus 2025


Orang-orang cari air sendiri, padahal sumberdaya air dan potensi ketersediaan pincang. World Water Forum, Den Haag, Maret 2000, memprediksi Indonesia termasuk selasatu negara yang akan mengalami krisis air tahun 2025. Sementara sistem tetap membiarkan ketersediaan air dari kemampuan alam semata. Aktivitas tambang nan rakus air dipacu pemerintah dengan sejumlah surat sakti diarahkan pada segala titik kuasa di daerah-daerah. Sistem pengelolaan air bermasalah, praktik monopoli sumberdaya, dan tentu yang tak hendak disebut oleh penguasa adalah privatisasi air.


Oleh: Dera Liar Alam


Gambar: Water Scarcity in the World
Sumber: Made Blue Foundation


BLUE PRINT kebijakan privatisasi air Bank Dunia diluncurkan pada 1992 dalam paper berjudul ‘Improving Water Resources Management’. Sejak itu, privatisasi berjalan hampir di seluruh titik di segala penjuru dunia: dari Sri Lanka hingga Afrika Selatan, dari Madagaskar hingga Bolivia. Bank Dunia, IMF dan para ekonom neolib mengatakan pemerintah hanya perlu membangun iklim kondusif untuk investasi — catatan lama mengenang pengembaraan – tertanggal, 21 Agustus 2009. Fakta kebijakan privatisasi, air sebagai nilai sosial, dirombak jadi nilai ekonomis menguntungkan siapa punya modal siapa punya kuasa.

Di atas kertas, propaganda menyebut akan jamin keberlanjutan – memastikan akses air yang adil dan berkelanjutan. “Improving water resources management involves adopting an Integrated Water Resources Management (IWRM) approach that coordinates water, land, and related resources. Key strategies include developing robust monitoring systems, enhancing infrastructure (both natural and man-made), and promoting conservation, reuse, and innovative technologies like artificial intelligence for prediction and optimization. Effective governance, stakeholder involvement, and nature-based solutions such as wetland restoration are also crucial for managing water scarcity, floods, droughts, and ensuring equitable, sustainable access to water.”

A Cultural Visual Diary of West Africa & the Sahel – Photo by:  Ferhat Bouda

Saudari saya minum air got. Orang-orang tak mau memberinya air layak. Air dalam kemasan tidak gratis. Mereka anggap saudari itu gila, tak layak dia diberi air, rugi orang-orang Wanua. Tualang, membaca propaganda air ‘1 untuk 10’. Beli satu liter air kemasan dengan tanda khusus, bantu sedia sepuluh liter air bersih untuk wilayah kekurangan sumber air.

Cerita krisis air bukan barang baru, sebagaimana prediksi World Water Forum, Maret 2000, Indonesia Krisis Air 2025. Orang-orang mesti berjalan sekian kilometer untuk bersua air. “Ada 32 desa di Lembata Krisis Air Bersih,” berita Metro Tv, 09 September 2023. “Empat dari enam wilayah kecamatan yang ada di Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, mengalami kekurangan air bersih, menurut pejabat pemerintah daerah.” Begitu dikabarkan ANTARA, 07 September 2023. Kawan saya, Dominggus, bilang, di tempatnya masyarakat kekurangan air sepanjang musim kemarau.

Data World Vision, sepuluh negara akses air bersih terburuk – Niger: 54% lack access to clean water, Papua New Guinea: 55% lack basic water services, Democratic Republic of the Congo: 54% lack basic water services, Chad: 54% lack basic water services, Ethiopia: 50% lack basic water services, Eritrea: 48% lack basic water services, Somalia: 44% lack basic water services, Uganda: 44% lack basic water services, Angola: 43% lack basic water services, Mozambique: 37% lack basic water services.

Pengalihan kuasa pengelolaan air dan kepemilikan sistem penyediaan air minum dari pemerintah ke sektor swasta, atau ke pihak manapun yang punya ‘duit’, telah jadi soal panjang dan berkelanjutan di bumi. Harga sebotol air di lokasi tertentu lebih mahal daripada harga BBM. Air dikomersilkan, padahal air adalah hak dasar semua manusia. Privatisasi didorong oleh keinginan mendapatkan keuntungan maksimum, telah mengubah fokus dari pelayanan publik menjadi profit-oriented. Contohnya boleh anda cari dan temukan sendiri faktanya di negeri ini.

September 2024, sebagaimana dikabarkan indonesia.go.id, pemerintah mengadakan ‘Indonesia Water, Sanitation, Hygiene (WASH) and Water Resource Management (WRM) Investment Forum’. Acara yang digagas Kementerian PUPR bekerjasama dengan USAID berlangsung di Jakarta, 17 September 2024, telah mengundang lebih dari tiga ratus peserta dari sektor swasta, pemerintah, serta lembaga keuangan untuk mencari solusi pendanaan inovatif dalam pengelolaan sumberdaya air, sanitasi, dan air minum. Hasil acara tentu ada. Tujuan acara ada: ciptakan kemitraan kuat antara pemerintah dan swasta guna meningkatkan akses air minum dan sanitasi secara berkelanjutan di Indonesia.

Ada data yang mana ada sekitar 19,76 persen rumah tangga yang memiliki akses air minum perpipaan. Kondisi itu tentu jauh tertinggal jauh dari negara-negara tetangga di Asia Tenggara seperti Filipina, Thailand, dan Malaysia. Data itu diungkap juga di indonesia.go.id.

Memang miris, janji muluk di atas kertas program kebijakan. Penyelenggara kuasa berkomitmen untuk capai visi ‘Indonesia Emas 2045’, bahwa seratus persen rumah tangga di seluruh negeri akan memiliki akses terhadap air bersih. Fakta hari ini masih banyak lokasi kekurangan akses air layak. Terbanyak berita kekeringan atau kisah wilayah terrendam air kotor karena bencana banjir sebab lingkungan rusak. Berikutnya, ada rencana – sama janji muluk juga – teori di atas kertas – tentang struktur pola ruang terencana wujudkan pemanfaatan lahan secara efisien, berkelanjutan, seimbang, mempertimbangkan sumberdaya alam, sosial, ekonomi, budaya.

Begitu babad air di negeri ini searah isu kemiskinan terus dijual dan senantiasa kering sepanjang musim.

Rakyat punya daya apa? Miskin berkesinambungan. Penyelenggara kuasa mesti ambil peran lebih, beri kesempatan kepada semua orang beroleh akses ekonomi, supaya mereka dapat membeli air layak dengan kekuatan mereka sendiri. Begitu. (*)