13 Juli 2022
Lumimu’ut, ibu para taranak. Dalam peradaban tua bangsa Malesung, Karema adalah jelmaan tuhan feminis. Perempuan mengandung zat ilahi…
Oleh: Tio Kaat
Penulis berasal dari wanua Langowan
Editor: Parangsula
PADA TUBUH perempuan – selama berabad-abad – telah mendapatkan posisi dalam society maupun citizenship terhina oleh hukum, diasingkan oleh kebudayaan, dan dikucilkan oleh tradisi. Dalam tubuh perempuan segala ketidakadilan terjadi, tidak ada unsur dalam tubuh perempuan yang tidak menerima ketidakadilan (injustice).
Misoginism menghasilkan penindasan, penghinaan dan pengucilan hak asasi (ethics of right) dalam pola pemaknaan libertarianism diberangus oleh peradaban dan disita oleh kaum feodalism demi kepentingan kelompok yang kita sebut oligark yang bengis.
Selama berabad-abad lamanya tubuh perempuan telah ditegaskan bukan tempat untuk bernegosiasi tentang kekuasaan, rahim perempuan bukan tempat paripurna elite dalam membatasi ruang lingkup kehidupan, dengan mempolitisasi ‘bahasa’ demi dan untuk kesejahteraan bersama, namun terselubung kepentingan kaum kapital, di sana bukan lokasi kekuasaan! Di sana bertahta kesucian, kemisteriusan semesta, serta kehidupan dan cinta!
Sebagaimana usia bumi, seperti itupula perempuan berkontemplasi akan utopia indah tentang peradaban manusia, ia turut mengambil bagian di setiap sudut kebijaksanaan serta berkontribusi atas gaya-gaya idiom maupun arketipal teks-teks suci serta manuskrip-manuskrip kuno, oleh sebab itu konsepsi serta gagasan-gagasan kuno tentang peradaban pasti menegaskan kesakralan roh perempuan dalam tubuh yang tertindas.
Segala macam manifestasi metafor cinta pada perempuan telah mengalami kontemplasi akan ketidakadilan, selama beri-ribu tahun atas keserakahan manusia pada bumi, dari apa yang kita panggil ‘the mother of earth’, karena mengingat frasa ‘ibu sang pemberi kehidupan’ telah diceritakan terus menerus sejak zaman bangsa Sumeria kuno, Babilonia, Mesir, dll.
Dalam mitologi Enuma Elis, dewa-dewi muncul berpasangan untuk saling melengkapi, di samping itu kita akan menemukan bagaimana perempuan turut mengambil peran penting dalam kontribusinya pada peradaban manusia, dewi kesuburan Isytar di Babilonia, Anat di Kanaan dan Aphrodite di Yunani. Adapun dewi Gaia yang adalah dewi perwujudan dari bumi dalam mitologi Yunani. Sebagai protogenoi pertama yang muncul di alam semesta setelah Khaos, Gaia dikenal sebagai ‘Ibu dari Semua’.
Bahkan dalam peradaban bangsa Malesung di Minahasa kita akan menemukan ‘Karema’ sebagai jelmaan Tuhan lewat citra feminis, Lumimu’ut sebagai ibu dari para taranak, Lingkan im Bene’ sebagai perempuan kesuburan, ibu-ibu itu tetap penting secara imajinatif selama berabad-abad.
Teks dalam kitab suci turut menceritakan kesucian rahim ibu. Dalam kepercayaan Katolik maupun Kristen, perempuan telah mengandung zat ilahi. Hal tersebut dialami oleh perempuan yang kita panggil Maria sebagai keadaan transcendental self. Ini menjelaskan bahwa betapa pentingnya perempuan itu bagi peradaban manusia.
Cerita-cerita di atas bukan dimaksudkan kepada kita untuk memahaminya secara harfiah, tetapi merupakan upaya metaforis yang menggambarkan suatu realitas immoral maupun moral, rumit dan pelik untuk bisa diekspresikan dengan cara lain. Artinya, kisah-kisah yang dramatis itu membantu manusia untuk menyuarakan perasaan mereka tentang kekuatan dahsyat namun tidak terlihat, yang mengelilingi mereka (kebebasan).
Maka selama berabad-abad pula, teriakan purifikasi ‘ibu’ yang dimanifestasikan oleh Vandana Sifa, dll, menegaskan betapa pentingnya bumi, perdamaian, kemanusiaan sebagai sumpah absolute keharmonisan alam semesta.
Sehingga dia, ‘ibu’, membawa nilai-nilai imperatif kategoris yang awal yaitu mengenai ‘cinta yang membumi (filantropia)’. Oleh karena itu tangisan dari mama-mama di Papua serta tangisan ibu Riana – pada saat berkunjung di Ukraina, tangisan ‘se inang di Kelelondey’, adalah merupakan manifestasi ‘cinta ibu’ yang telah melalui kehidupan beribu-ribu tahun bahkan ribuan dunia dan telah berkontemplasi atas keserakahan manusia atas sifat (deus).
Narasi di atas bersifat patriarkal yang mentransendensi diri untuk keluar dari keterbatasan atas ketidakadilan, sebuah tangisan-tangisan rahim-peradaban yang sedang berteriak, “mengapa kau hancurkan ibumu”.
Dengan demikian, kebutuhan kita adalah representasi imperatif kategoris murni, atas ‘ethics of care’ agar tercipta ‘utilitarianism’ keadilan, egalitarianisme sosial untuk menciptakan dunia equilibrium. (*)
Salatiga, 12 Juli 2022