Thursday, November 21

Perangkat Hukum Uji Coba


12 Mei 2021


Hukum sebagai perangkat pembangunan menyiapkan kerja dan sarana kerja. Bukan mengumbar mimpi surga seberang langit. Bukan khayal seribu bidadari menari, tapi kerja. 


Oleh: Parangsula


PEMBANGUNAN di negeri kita hadir dengan perangkat hukum, sayangnya pembangunan belumlah mendapat format pas memberdayakan rakyat. Pembangunan masih dengan wacana perangkat hukum uji coba yang sering meminggirkan hak rakyat. Pembangunan dalam bingkai negara hukum terus saja ‘mencobai’ rakyat dengan todongan berbagai ketakutan.

Foucault, seorang pemikir, melihat bahwa setiap wacana hukum tidak dapat dilepaskan dari beroperasinya kekuasaan tertentu, pengetahuan, dan relasi sosial, yang menghasilkan apa yang disebut kebenaran dan keadilan. Dalam hal ini, kebenaran tidak lagi merupakan produk obyektivitas penyelidikan dan penyidikan, tetapi menjadi produk dari sistem kekuasaan.

Isu pembangunan berjibaku dengan isu lingkungan. Menipisnya lapisan ozon, peningkatan permukaan air laut akibat pemanasan bumi, punahnya sumberdaya kelautan, penggundulan hutan dan penggurunan serta degradasi lahan, keterbatasan sumber air bersih merupakan indikasi semakin rusaknya kondisi lingkungan hidup global karena pembangunan yang tidak pro lingkungan hidup dan pro-pro-an lain, termasuk yang disebut di atas tadi.

Kutip lagi pernyataan rakyat yang dibahasakan kembali para pendengung keadilan. Bahwa, “Pertumbuhan ekonomi bangsa hanya dinikmati minoritas kelompok tertentu. Aset-aset ekonomi vital dan penting bagi kehidupan rakyat, diswastakan dengan konsesi yang dijual-belikan di antara kerabat dan rekan sejawat. Bentuk-bentuk monopoli dan oligopoli menyengsarakan rakyat dilindungi, bahkan difasilitasi kekuasaan. Beban ekonomi semakin berat ketika pemerintahan dijejal para koruptor yang berkolusi dengan orang-orang pemerintahan untuk kepentingan pribadi dan kelompok bisnisnya.”

Alir sejarah negeri ini pupus di kemiskinan dan kebodohan yang mengentalkan lumpur-lumpur bencana.

Langkah pembanguna semakin berat tertahan endapan. Pembangunan masih diterpa berbagai isu. Penyidikan kasus korupsi semakin hari semakin susah dicerna akal sehat, ia menyaji kerancuan banyak kata selamat yang mengiklankan kebobrokan sistem yang terus diembat media massa sebagai kiat bertahan dari gempuran keserakahan perut yang terus membuncit. Korupsi tak lagi di bawah laci, bahkan meja hujau sudah dimerahkan, darah mereka yang tertindas dan mengalami pembiaran oleh negara.

Kisah panjang penegakan hukum belum berujung, sebuah pesan pendahulu negara dan ikrar memakmurkan siapa saja — yang mau berjuang bagi nasib dan masa depan lebih baik — di negeri ini. Bahwa, apa yang ada di sini sudah dikuasai negara untuk dipergunakan bagi semua. Ketika ini semua jadi pertanyaan tanpa jawaban tanpa solusi, sementara gagasan integrasi global melampaui negara dan bangsa, kini merajai semua sektor.

Namun, kebencian sudah ditanamkan pada massa ngambang, sehingga kekuatan rakyat carut marut, tak rela bersatu sebab kebencian mengakar di praksis hukum, dalamnya termasuk praksis pembangunan, dan kebijakan yang memang memecahbelah rakyat oleh kepentingan-kepentingannya.

Menilik dari ujung ke ujung persada tercinta, sebagaimana dibahasakan pada paragraf sebelum ini, ‘carut-marut’ luka negeri. Ada tanya yang mesti dijawab: Apa alasan sehingga rakyat, yakni orang-orang miskin, terus dibodohi sistem yang sementara berkompetisi dengan gagasan global?

Kebijakan sistem negara semakin menjauhkan rakyat dari keadilan yang semestinya mereka peroleh. Tak ada jawaban? Perang, kacau, saling tantang saling serang, bubar saja? Bila memang terjadi, maka negeri ini sebentar lagi terhapus dari peta bumi. Indonesia tinggal kenangan, nostalgia yang gagal dilantunkan, karena sekarang ini penanda identitas sedang dihapus oleh peran-peran dalam praksis hukum dan praksis pembangunan yang menghentar asing ke dalam cara tindak dan cara berpikir rakyat secara keseluruhan.

Gagasan global justeru melahirkan alir air terprivatisasi. Tanah dan air bukan lagi di sini. Di mana pembangunan yang dibilang untuk kesejahteraan rakyat bila yang diterima hanya hembus debu serta wacana kemajuan tanpa parameter? Di bilik yang sama kekerasan, penipuan dan kebohongan telah memainkan peran penyelenggara negara dalam memperoleh kuasa, lalu melanggengkan kuasa kebijakan membodohi rakyat itu sepanjang waktu.

Protes, demo,melawan, sudah sering. Dan, dooorrr..!! Mesin pembasmi menyalak.

Kekerasan dimodifikasi ‘efek jera’, siapa tertembak dan baku musuh dengan regulasi? Penipuan dan kebohongan sudah dianggap pantas dan masih digunakan menjadi tudung pembungkaman suara rakyat. Kebohongan adalah sisi lain dari kekerasan dan alat pembenaran kekerasan.

Sejarah mencatat, dalam upaya mempertahankan kekuasaannya, prinsip yang dipertahankan kemarin bisa dilepas hari ini, kemudian esok hari berubah lagi, hal ini ditemukan di mana-mana. Namun apapun perubahannya, tujuan sangat jelas, yaitu merampas dan mempertahankan politik kekuasaan, dan tetap berusaha menguasai masyarakat secara mutlak.

Kita kaya data tak pasti yang dimodifikasi supaya realistis. Orang miskin kian hari semakin bertambah di lembar proposal. Tapi, penerima jatah beras miskin masih terpinggir oleh penyalur yang mengaku miskin, dan sangat mungkin mereka itu adalah kerabat dan saudara-saudaranya para pemimpin.

Perangkat hukum uji coba sudah sekian lama dipraksiskan, korbannya jelas, rakyat. Menjadi miskin sebab sengaja dimiskinkan. Rakyat tertembak, siapa penjagamu? Regulasi menyebut negara melindung segenap rakyat dan seluruh tumpah darah Indonesia. Lalu, peran negara di mana manakala ternyata rakyat miskin dan tak mengerti gampang saja jadi korban oleh sejumlah propaganda yang keras memaksakan kepentingannya sendiri?

Hanya saran, alternatif ide yang nanti juga akan dibredel dan dibungkam kemauan kuasa. Tidak soal.

Sistem negara seyogyanya menyediakan sarana pendidikan alternatif yang murah dan berdampak langsung terhadap penyiapkan usia kerja, agar kita mampu bersaing dengan dunia dalam memperebutkan lapangan kerja, inovatif, dan terus bergerak bebas menemu baru. Bukannya menyerah pada pengangguran, jangan menyerah, jangan gentar pada todongan radikalisme.

Hukum sebagai perangkat pembangunan menyiapkan kerja, dan sarana kerja. Bukan mengumbar mimpi surga seberang langit. Bukan khayal seribu bidadari menari, tapi kerja. Kata kerja yang dalam praksisnya ada dalam regulasi yang memungkinkan kesejahteraan menjadi riil sebagai hukum semesta yang berdamai dengan semua makhluk. Dengan bekerja, kita beroleh penghasilan. Dengan demikian niscaya rakyat boleh makan, boleh merdeka, boleh patuh hukum, dan kritis pada pembangunan. (*)