Tuesday, November 19

Orang-Orang di Bayang Kabut


16 Mei 2021


Oleh: Dera Liar Alam


RAZERNIJ: view menerawang terminalia mantaly merindang di batas-batas trotoar. Ia, entah siapa namanya. Seraya berjalan, membungkuk bahunya bongkok. Kunamai dia ‘travelers sunyi’.

Perempuan juru masak di kampung Pisangan memberinya selembar dua mata uang. Rautnya datar membalas sunyi. Salam senja, lalu dia berlalu.

Kota mengotak detak dalam petak: orang-orang di bawah kabut di bayang cahaya. Senja hujam biru di ujung Juni mengeja dove poem. Lempeng logam tiang-tiang beton kukuh tampar sajakmu: love is a flame consuming two souls, and melting them to one…

Malam kemarin, travelers melintas jalan dua arah. Jemarinya menjepit rokok kretek, langkah pendek gesit, tubuh tak lebih 130 sentimeter,  ubannya memantul gemerlap malam buta.

Di teras, saya membaca status rekan Sulistyowati Irianto, August 12 at 8:11am: “Kawanku, salah seorang Dirjen di Kemenkes, bilang, “Orang miskin cuma menggunakan sekitar 70 persen BPJS, sementara kelas menengah menggunakan lebih dari 1100 persen.” Artinya, orang miskin mensubsidi kelas menengah! Hampir sama seperti subsidi BBM yang dinikmati jauh lebih banyak orang yang punya mobil daripada orang miskin,” Tulis Guru Besar Antropologi Hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu.

Saya berguman: History para miskin dipelintir proposal setebal hutang.

Monument dusta berdiri tegak di ibukota negara mengabur mindset anak-anak negeri. Nama-nama, cara pandang gusar ekonomi terbeban pembangunan beralas tembok aspal logam mengantar generasi babu technology sepakat ideology mengabdi pada berhala-berhala symbol yang alpa kemanusiaannya.

Mereka: orang-orang di bayang kabut, ditafsir asumsi persepsi, mereka tertawa, mereka menangis. Dicemooh, mereka senyum, meringis tidak. Kadang melawan, sering tertawan. Sebagian dari mereka adalah tertuduh dan asing.

Di suatu tempat, mereka lebih mini, tinggi tidak lebih 90 sentimeter, hidup bergerombol, memelihara ternak ayam hutan.

Di lokasi lain, di tepi kota, mereka seperti manusia biasa. Kurus tidak terurus. Menanam padi, jagung, umbi, dll. Disuruh ke sana ke mari, tidak melawan. Dijemur di bawah bulan, diajak menyanyi diajak berdansa, pernah juga diperkosa.

Suatu malam di bawah rindang terminalia mantaly, dia duduk merenung. Mengingat kawannya yang entah, jauh dari jangkau pemikirannya. Dia menunyah, meneguk, merokok. Malam itu, tiga tahun silam, terakhir dia terlihat di bawah bayang kabut.

Terminalia mantaly itu pepohon ketapang kencana, berderet-deret tumbuh dekat rumah. Tumbuh untuk ditebang, seperti dia yang sudah pergi, hilang. (*)


Ditulis dalam perjalanan 12 Agustus 2018
@ The Royal Photographic Society of Thailand