04 Desember 2019
Lulu o lulu, tundekkenney, nate ni kalekek…
— Cuplikan syair entah siapa penciptanya. Leluhur kami menyanyikannya untuk memulai tutur, mendaur cerita, membikin takut. Waktu berganti, abad bergulir, dan bibir terasa kumal menembangkannya hari ini. —
Oleh: Daniel Kaligis
Penulis adalah jurnalis penulis
Editor: Philips Marx
Gambar: The Last Exorcism Part II – sumber VARIETY
23.11 PM
MERAMPUNG bait-bait tulisan, seraya menikmat ’21 Bridges’ – film laga Amerika produksi Joe dan Anthony Russo, hadir di sinema-sinema tanah air. Saya di Cinema21 TSM pada kursi E-15. Separuh malam tuntas di ujung November 2019. Lalu, kenang menerawang manakala memulai artikel ini awal tahun 2010 di Jakarta.
Di layar masih mengalir adegan memicu andrenalin. Letus mesin pembasmi, darah memercik, kaki-kaki berlari menembus malam, menerjang hadang. Seperti derai tutur dari wanua, saya mengenang: ‘rundekkenney, nate ni kalekek’. Perang memang purba di zaman mana pun, tafsir saya pada ‘rundekkenney, nate ni kalekek’. Terjemahan bebas sajak itu: Tusuk jantungnya, dan selesai, menang jadi arang, kalah jadi abu.
Michael Trujillo yang diperankan Stephan James, seperti tak punya lelah berkelahi. Matanya lebih cepat dari lontar mesiu. Adalah Frankie Burns, diperankan Sienna Miller, menghenti derap Michael Trujillo. Peluru mengoyak baju Trujillo, robek di dada, menembus jantung, mengusai sandiwara perdagangan narkotik yang libatkan pejabat penjahat.
Selalu suka menelisik cerita perang, pertarungan, dan misteri yang melingkupinya. Mungkin romantika, cinta, keyakinan, kejahatan, atau konspirasi yang memang ada di setiap zaman. Film sudah usai. Saya menunggu kawan depan escalator mati, lalu, melangkah turuni tangga itu dengan pikiran menerawang. Konspirasi tidak selamanya buruk, asal kemanusiaan dan lingkungan hidup jadi pokok pertaruhannya.
Saya menafsir dan berasumsi: Ikat pinggang itu keberanian. Sugesti berbuah yakin, sudah pasti. Memperbanding keyakinan di suatu masa, pertikaian opo-opo di wanua, pergulatan terminologi ‘opo’ sebagai leluhur – akan saya urai sedikit pada sub judul selanjutnya –, atau opo adalah ‘zat’ sebagai muasal semesta.
Masih berasumsi. Di masa sekarang uang boleh jadi opo-opo. Opo-opo itu jimat. Senjata mungkin boleh jadi opo-opo. Kartu press boleh jadi opo-opo, masuk gratis stadion nonton pertandingan bola, nonton konser, dan seterusnya.
Perang tua di lembar legenda berdarah. Pasukan lawan pasukan, tarung satu lawan satu di wanua. “Opo-opo beking berani, maar tentara itu memang dilatih. Jadi so dilatih, tambah lagi so ada keyakinan, semakin berani bertindak di masa perang,” kata A.E.K. Saya percaya apa yang diucap A.E.K., mendengar dari pengalaman dia bertempur di Tulehu. Di masa pergolakan Permesta, A.E.K., bertempur bersama Komando Daerah Pertempuran RPKAD Tengkorak Liar.
Seberapa pengalaman dia cerita pada saya. Kawannya sesama serdadu, bertato sepanjang lengan, tertulis ‘sabar itulah sabel’, selalu mengancungkan tongkat warisan bila ada kapal Jepang melintas di langit melontar bom, “Tamang itu memang lincah karena latihan suraro. Ada tembakan cepat melompat sambil menghindar peluru, dia ser tu pesawat deng dia pe ‘pegangan’ itu. Dia pe ‘pegangan’ itu berupa tongkat tulang warisan leluhur. Maar blum ada pesawat ciri waktu dia tunjung deng tu tongkat. Malah, satu kali waktu torang menyeberang aer, sementara batobo, tamang pe tangan kena lontar pecahan torpedo. Jadi, tu dia pe tangan yang ada tato ‘sabar itulah sabel’, ta sisa tulisan ‘bel’. Tangan putus,” tutur A.E.K., – NRP 265280.
Suraro, dialek di wanua yang artinya serdadu, tentara. “Nikai suraro, jadi memang limatih matotokol.” Melayu Manadonya seperti ini: “Torang tentara, jadi memang so latihan bakalae.”
Dialek a la wanua: Ser itu bidik. Aer itu air. Ta sisa artinya tersisa. Belum diucap blum. Batobo itu berenang. Ciri itu jatuh. Dia pe tangan adalah tangannya.
Tentang tarung satu lawan satu, sudah sering saya lihat di wanua. Jagoan dua berhadapan, dua-duanya bersenjata, pisau dan batu, dua-duanya punya opo-opo, dua-duanya terlatih. Saling lenggang, saling serang. Orang-orang menonton dari jarak dekat. Luka, bekas sabet senjata, jadi cerita panjang yang dibawa mati.
Nama-nama mereka yang punya opo-opo ada diberi julukan opo atau pokos, dan julukan lainnya, namun, kesan orang setiap mereka yang punya ‘pegangan ilmu dari leluhur’ senantiasa ‘istimewa’. Pen Opo, Farly Pokos. Julukan yang melegenda lainnya dari kisah tutur, Opo Retor, Siow Kurur jagoan yang punya ‘pegangan ilmu sembilan buku’. Nama-nama terkait ilmu yang sempat bersua saya dulu, Ferry, dia berani dan bertarung ilmu sampai di ibu kota. Notji, berlatih ilmu Banteng Betawi dari ibukota, lalu populer dan terkenal jago berkelahi di wanua. “Pen Opo pe walulang dekat mata itu Ade yang bage deng batu,” kata Fentje Mawikere. ‘Walulang’ itu bekas luka.
Saya berkawan dengan Fentje, berkawan dengan Pen Opo – yang nama dia sebenarnya Ventje Suoth, saya berkawan juga dengan Ade. Mereka semua usianya di atas saya. Ferry bilang pada saya, “Sa kumelang wana lalan leos, raai wana se painde’en,” artinya, bila berjalan pada kebaikan, tidak ada yang perlu dirisaukan.
Ketika geliat pertambangan emas rakyat ramai di era 1980 – 1990-an, tensi opo-opo meninggi. “Sekarang banyak tukang uba’ baru, dorang so baku coba ilmu,” kata Papa W. Mongilong Paputungan, Sangadi Maelang di Sangtombolang, Bolaang Mongondouw. Sangadi itu sebutan bagi kepala kampung, kepala desa di sana.
Di wanua saya, euphoria tambang emas juga terjadi. Orang-orang berkelewang, menenteng pisau, parang, tombak, berbagai senjata tajam, berkeliaran di jalan-jalan, di lorong-lorong. Perkelahian antar kampung meningkat. Fenomenanya sama dengan yang diucap Paputungan, bahwa, anak-anak muda itu menguji kesaktian ‘ilmu’ yang mereka miliki. Cerita ‘Tulong kabal aer’ memang ada pada era itu, jagoan tambang yang akhir kisahnya dieksekusi massa di wilayah Lanut, di timur Bolaang Mongondouw.
Cerita mengendap dalam ingatan. Anak-anak memulung cerita dari ruang-ruang ketika orangtua-orangtua mengeja kebencian pada musuh, menuang legenda pahlawan seperti dewa penyelamat, penyegar memori dentum mesin pembasmi.
Pertikaian tidak pernah selesai, sebab sumber dan akar soal tidak terjawab. Dewasa ini, ada pertempuran ekonomi, pertempuran ilmu pengetahuan, pertempuaran ideologi yang berakar masa silam tak tuntas dibahas lembar-lembar sejarah. Bombardier propaganda menggandeng keyakinan ‘mitos’ Permesta mengalir dalam ‘wacana otonomi hari ini’ seperti jadi opo-opo.
Mari kita mengulang ‘iman’ dan keyakinan: Ikat pinggang itu keberanian. Sugesti berbuah yakin, sudah pasti.
Balik pada kisah yang tertera di alinea di atas sana. A.E.K., punya asumsi ‘menang perang’ pada soal perang gerilya semasa Permesta baku hajar dengan (tentara) Pusat, tapi bukan tentang opo-opo. “Kalu mo baku reken, senjata deng semangat yang ada, torang belum mo kalah. Ada strategi torang siapkan, taktik invisible, mengepung tanpa lawan ketahui, sabotase fokus dan efektif, senjata-senjata so siap dari luar negeri.”
Dari A.E.K., saya mengenal istilah torpedo, yakni proyektil yang punya penggerak sendiri, ditembakkan di atas atau di bawah permukaan laut dan kemudian meluncur dalam air, dirancang meledak pada kontak atau pada jarak tertentu yang jadi target. “Waktu Perang Dunia Kedua, torpedo digunakan Jepang, proyektil itu dorang luncurkan dari kapal selam, atau dari kapal perang, dan kadang ditembakkan dari pesawat.” Dari dia juga saya tahu, tidak ada opo-opo yang dapat menangkis peluru, atau boleh menangkal roket penghancur.
Paragraf ini nanti diulang pada bait selanjutnya di sub judul ‘Rumah Leluhur’: Wanua Remboken ditera pada babad abad ketujuh oleh misionaris Belanda utusan Nederlandsch Zendeling Genootschap, Nicolaas Graafland, dalam bukunya yang terbit tahun 1867: De Minahasa: haar verleden en haar tegenwoordige toestand. – Legenda Wangko Parepej.
Tidak ada hubungan anda ’21 Bridge’ pada kisah pembuka tulisan ini yang berlatar kota Manhattan, dengan kisah-kisah tempur di Wanua. Jauh juga, bahkan kontras cerita film itu dengan soal Permesta yang saya jadikan ‘bumbu’ pertarungan antar pasukan, dan perkara opo-opo. Biar saja!
Sejauh ini, anda tentu punya pandangan sendiri tentang opo, dan opo-opo.
Rumah Leluhur
Tetua punya cerita, menjalari lorong waktu teramat panjang tentang opo-opo. Lorong waktu masih dapat ditelusur hingga hari ini, lokasi itu sedari dulu disebut Kaopoan.
Kaopoan di wanua saya dikenal ada pada tempat yang disebut Sasapuan. Saya sering mengunjungi lokasi itu sambil berilusi, seakan Remboken pada tahun 670 punya raksasa Parepej. Mengulang apa yang ditera Nicolaas Grafland, 1867, tertulis pada De Minahasa: haar verleden en haar tegenwoordige toestand. Legenda watu, ratusan tahun kemudian diringkas jadi si Tarumetor dipahat pada relief Perang Tondano Pertama, dikenal sebagai Parepei.
Padahal, di Sasapuan tak ada teks, hanya batu dikelilingi semak dan pohon-pohon. Entah Nicolaas Grafland pernah bertandang ke Sasapuan ketika dia diutus Nederlandsch Zendeling Genootschap datang ke tanah Minahasa, 1849.
Namun, ada catatan dari Grafland tentang Malesung, nama negeri tua Minahasa terkait Remboken, Titik Pusat Bumi. Ini kutipannya: “Zaman dahulu jika terjadi gempa bumi di negeri Malesung, di Remboken tidak terasa guncangannya. Menurut Graafland, ini ada hubungannya dengan Opo atau leluhur Makalawang yang tinggal di bawah bumi. Opo Makalawang sangat gemar daging babi sehingga dengan satu sayatan membuat bekas luka pada babi. Luka pada kulit babi yang mulai sembuh tersebut terasa gatal dan enak digosok-gosokkan pada sebuah tiang besar di perut bumi. Gesekan itu menimbulkan goncangan sampai ke permukaan bumi dan terjadilah gempa. Konon, jika terjadi gempa dahsyat sekali pun, di Remboken tidak akan begitu terasa. Sebab, Remboken tepat berada di titik pusat bumi.”
Di masa kecil, saya diajak ayah ke Sasapuan. Kami melintas pematang sawah, rawa Rewok, hutan kecil seputar Samberong di mana ada mata air. Lokasinya sekitar 800 meter dari rumah leluhur kami. Dulu, pada hari-hari tertentu Sasapuan dibikin bersolek oleh penganut ‘Opo Empung’, ‘Opo Wana Natase’. Ada pintu masuk dari bambu dihias janur dan daun merah popo’opo. Peziarah meletak pinang, tabaku, kower saguer, membakar dupa, membaca doa-doa.
Teks, tradisi klasik, cerita tutur di wanua menyebut opo-opo sebagai jimat, di kampung saya disebut juga pokos-pokos atau wewenter. Benda-benda yang mewakili opo-opo itu adalah batu, logam berukir, keris, pisau, berbagai pusaka yang dianggap bertuah dibungkus kain merah. Benda-benda bertuah diturunkan kepada pewaris yang telah ‘belajar’. Membincang opo-opo, seperti membincang ketakutan letal, kematian dari masa lalu menyeramkan.
Takut? Tidak!
Rumah leluhur saya dibangun ratusan tahun silam. Bakunya kayu-kayu hutan yang sudah tua, ditaha’, diraut, didirikan pada bebatu, rumah panggung khas Minahasa: Di sana, pada ruangnya diskusi opo-opo tidak tabu. Di sana, di wanua Remboken.
Usai Permesta, pertengahan tahun 1960-an, oom saya yang tinggal di Jakarta, WGJ Kaligis, datang membeli tanah di bagian belakang rumah leluhur kami. Di situ didirikan ‘rumah tembok rendah’. Bangunan itu disiapkan untuk opa kami supaya dia tidak naik turun tangga ‘rumah panggung’, di usia opa yang sudah usur. Tak sempat menikmat tinggal di bangunan itu, opa sudah meninggal.
Halaman belakang di antara ‘rumah panggung’ dan ‘rumah tembok rendah’, ada dapur bambu beralas tanah beratap rumbia. Di situ ada tungku yang disebut dodika, ada belanga tanah yang disebut kure. Di bawah dodika ada kayu bakar. Ada para-para, tempat menaruh ember dan Loyang di dekat pintu samping bagian luar. Pisau, parang, kampak, terselip di dinding bambu yang renggang. Benih jagung digantung pada langit-langit coklat kehitaman sebab asap. Dapur memang sudah ada sebelum ‘rumah tembok rendah’ didirikan.
Pada se-angguk pandang langit, dari samping dapur, ada sarang flycatcher. Sejenis burung liar itu menyulam tempat bertenggernya di sisa tali ijuk yang menjuntai dari kaso bambu bumbungan rumah. Bentuk sarangnya oval dengan pintu bundar di mana si flycatcher pergi dan datang, membawakan serangga, biji, dan buah-buah kecil pada anaknya yang belum belajar terbang.
Halaman samping bagian selatan penuh bunga-bunga. Ada pohon jeruk purut dan jeruk limau.
Rumah panggung manakala senja. Lampu teplok hendak dinyalakan, penghuni rumah membersihkan semprongnya dari sisa asap hitam yang menempel di bagian dalam, menambah minyak, lalu meletakkan alat penerang itu di sudut rumah, dekat teplok ditaruh geretan kotak besar, ketika hari mulai gelap, penghuni rumah akan menyalakan teplok dengan gampang meraih geretan dan menyalakan teplok itu. Tembang ‘Lulu o lulu, rundekkenney, nate ni kalekek’, dinyanyikan Roosje, sambil bercerita kejadian-kejadian sudah usang.
Roosje, tante saya. Dia kakak dari ayah. Menempati ‘rumah tembok rendah’, anak-anaknya juga sebagian ada di situ, yang lainnya ada di tanah rantau. Roosje punya cerita tentang orang-orang di wanua. Semisal tentang Porus. “Dari masih muda tu Porus orang tua so kase ilmu. Dia dorang kase terbang dari pulau Tumbak voor tolong parampuan yang bruntung (melahirkan). Maar, waktu Porus terbang sampe klaar dia tolong tu parampuang, Porus nyanda sadar. Nanti sadar kamari kalu so klaar, di ape baju so punung darah,” tutur Roosje ketika itu.
Tak hanya Roosje yang mengenal Porus. Warga di wanua mengenalnya. Pernah, tetua berkumpul dekat rumah kami. Henky Umboh bercerita tentang Porus, “Waktu pergolakan, so ini Porus yang nyanda mempan peluru. Jago dia pe pokos-pokos, tu laras senapan kase sandar pa dia pe kaki kong tembak, peluru cuma lari sei samua,” urai guru pada salah satu sekolah dasar swasta di wanua kami itu.
Saya mengenal Porus sejak saya kecil. Lelaki itu berkebun di lembah Tangkiuk, di kaki Tampusu. Di sana dia menyiangi tanaman cengkih, menanam ketela, menanam sayuran, menanam cabai dan jagung. Porus juga teman ngobrol ayah saya. Mereka berdiskusi tentang tanaman, bercerita pengalaman perang, tentang Permesta, dan banyak soal. Saya hanya mendengar.
Saya kenal juga anak-anak Porus. Mereka menetap di Talikuran. Ada tiga laki-laki dan satu perempuan, jadi mereka ada empat bersaudara, tiga di antaranya akrab dengan saya, Novi, Nor, dan Jerry. Seorang lagi – sulung dari mereka bersaudara – saya lupa namanya, namun rautnya saya ingat persis.
Novi pernah menunjukan kepada saya jimatnya. Sejenis batu abu-abu tua berbentuk daun berukir tulang daun, tebalnya kira-kira tiga milimeter, panjang batu itu sekitar dua sentimeter, lebarnya satu sentimeter. “Batu pokos-pokos ini ilmu bae, nembole salah pake,” kata Novi. Seperti beberapa kawan yang punya pegangan pokos-pokos lainnya, Novi terkenal berani. Percaya bila punya pokos-pokos atau jimat tidak mempan pisau, parang, dan berbagai senjata.
Novi orangnya pendiam. Dia anak kedua di keluarganya. Adiknya Nor berkawan dekat dengan sepupu saya, Laurina. Berikutnya Jerry, adiknya Nor, dia suka bermain ukulele.
Sekali waktu ada perkelahian anak-anak muda, hari sudah malam, Wanua sunyi jadi ramai mencekam. Saya mendatangi lokasi, orang-orang berkumpul depan rumah Porus di Talikuran. Ibunya Novi memanggil-manggil dengan suara keras. Perkelahian belum lama tuntas, rupanya Novi yang berkelahi. Saya menerobos kerumunan, melihat Novi dibaringkan di atas batu depan rumah mereka, dia tak lagi bernyawa. Tusukan pisau tepat menembus jantung. Lawan yang menikam dia sudah menjauh, lari.
Orang-orang bertanya, bergerombol, bertiga, berdua, simpang siur, berbisik, suara tangisan.
Seberapa saat kemudian, saya berjalan kembali ke rumah. Melewati bagian belakang pasar wanua di batas kampung Talikuran — Paslaten. Sepanjang lorong orang-orang bercerita. Di rumah orang-orang juga bercerita. ‘Lulu o lulu, rundekkenney, nate ni kalekek’ menggema dalam benak saya sepanjang malam. Nyanyian itu seperti mengurung kisah misteri tertawan berbagai sajak kuno di wanua. Lulu diyakini adalah mahkluk kecil serupa manusia, entah seperti apa wajahnya. ‘Lulu o lulu, tikamlah hati kecoa itu’, demikian terjemahan bebas lagu itu.
Tutur seperti tenggelam, walau membekas kenang, sesekali muncul ketika ada peristiwa sama. Tahun-tahun berlalu, saya bersekolah di luar daerah, pergi ke berapa tempat, bersekolah di Jakarta, lalu kembali ke wanua, bersua Jerry. Dia, Jerry, adik mendiang Novi, anaknya Porus.
Banyak yang berubah di wanua. Roosje sudah menempati rumah panggung. ‘Rumah tembok rendah’ disewa Decky Retor dan keluarganya. Decky buruh tani, dan punya beberapa ketrampilan. Dia pinter menata dan memotong rambut, ada sempat dia juga jadi penjahit sepatu di pasar wanua.
Jerry, adiknya mendiang Novi, sering terlihat di ‘rumah tembok rendah’, karena dia masih berkerabat dengan Decky.
Ini perubahan yang saya bilang di antaranya, yang mana Jerry menjadi sosok asing. Dia masih menyapa orang-orang, menyapa saya, bahasanya kocar-kacir, tatap liar menerawang. Orang-orang kampung bilang dia kerasukan.
Decky cerita pada saya,” Sia si teneka’a-nong ni reghes lewo.” Katanya Decky, Jerry sudah dihinggapi angin jahat.
Keluarga Jerry memanggil Nez Imbang untuk mengusir roh yang diduga berada dalam tubuh Jerry. Hari lewat tengah hari ketika itu. Sekitar 14.30 PM. Beberapa orang ada di ruang tengah ‘rumah tembok rendah’, Decky, Keke istrinya Decky, Bernie, Jerry, dan Nez. Merogoh saku Nez, lalu komat-kamit membaca mantra, menuang air di gelas, mengunyah jahe, berkumur, menyembur Jerry. Lelaki itu bicara seperti menggigau, berjingkrak-jingkrak dia, tangannya naik turun menjulur ke depan.
Nez mendengus, tatap matanya tenang menghujam, dia berucap, “Sia si tinenaan wana ndano. Loho mako lawas-se-na, ma’asar si kayong, mengayo-ngayong tanu’ si kayong.” Jadi, menurut Nez, Jerry kesurupan setan air, sehingga tangannya bergerak-gerak seperti serangga ‘kayong’.
Kayong, tutur yang sudah sangat uzur di wanua, cerita yang jarang didengar. Makhluk ini dikenal sebagai anggang-anggang, serangga yang mendirikan kerajaannya di daratan tepi perairan, dan dianggap ‘ajaib’ karena tetap kering tubuhnya walau berjalan di permukaan air.
Di lain waktu, saya melihat pokos-pokos punya oom saya, Uttu. Dia menaruh pokos-pokos itu dalam sebuah rak di kamarnya, diletak bersama beberapa pusaka alat perang, pisau, dan sabel atau pedang. Uttu suami Roosje.
Saban purnama terpilih, Uttu berdoa pada leluhur. Dupa dibakar dekat jendela, asap dan aroma menyebar sekeliling kamar. Pada halaman senja yang lain, malam diendusnya aroma lebih kelam dari yang pernah dikenang dalam ingatan. Dia sering bercerita pertempuran dan perkelahian yang dia alami. “Sa mawali se tu’a, raai meinde-inde,” kata dia pada saya. Artinya, jika berjalan dengan para leluhur, maka takut dapat ditepis. Keyakinan, leluhur akan selalu mendampingi petualangan manusia di mana saja.
Uttu berkawan dengan Nez. Keduanya sering berdiskusi soal opo-opo. Ada waktu mereka bertengkar dan tidak saling menyapa. Uttu menduga, dia diserang ‘ilmunya’ oleh Nez.
Tidak kekal. Dua orang itu sudah meninggal.
Di wanua, Johan Singal dianggap mewarisi pengetahuan leluhur. Berapa kawan saya berguru padanya. Tahun 1980-an, ada serdadu datang ke pondok Johan untuk ‘mengasah ilmu’. Sebelumnya sang serdadu sudah berguru pada Johan, lalu berangkat ke Timor Timur. Ketika kembali, sang serdadu berniat menambah daya ilmunya itu.
Tersiar kabar mereka ke Sasapuan. Ketika Johan hendak menguji ilmu sang serdadu, dia mendapati sudah ada unsur lain yang ditambahkan pada ‘wewenter atau opo-opo’ pegangan sang serdadu. Johan bilang, kalau sudah ada ‘ilmu lain’, dia tidak bersedia membacok sang serdadu menguji ‘wewenter’. Tapi, serdadu berkeras harus diuji. Maka, pedang diayun, badan serdadu terluka, berdarah.
Opo, Leluhur, dan Voodoo
Orang Minahasa mengerti ‘Opo’ sebagai Tuhan pencipta semesta. Menarik menelisik Asal Kata ‘Tuhan’, yang ditera Remy Sylado. Dia menemukan perubahan kata tuan yang bersifat insani, menjadi Tuhan bersifat ilahi, bermula dari terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Melayu karya Melchior Leijdecker yang terbit tahun 1733. Dalam terjemahan sebelumnya, yaitu kitab suci Nasrani bahasa Melayu beraksara Latin terjemahan Brouwerius, muncul pada tahun 1668, kata yang dalam bahasa Yunaninya, Kyrios, dan sebutan yang diperuntukkan bagi Isa Almasih ini diterjemahkannya menjadi ‘tuan’. Kata yang diterjemahkan Brouwerius sebagai ‘Tuan’ — sama dengan bahasa Portugis Senhor, Prancis Seigneur, Inggris Lord, Belanda Heere — melalui Melchior Leijdecker berubah menjadi ‘Tuhan’. Kemudian penerjemah Alkitab bahasa Melayu melanjutkan penemuan Leijdecker tersebut. Kini kata ‘Tuhan’ yang awalnya ditemukan oleh Leijdecker untuk mewakili dua pengertian pelik insani dan ilahi dalam teologi Kristen atas sosok Isa Almasih akhirnya menjadi lema khas dalam bahasa Indonesia.
Masih bertikai kata ‘tuan dan tuhan’, ‘opo’ dan ‘opo-opo’, yang mewariskan dan yang menerima warisan. Ensiklopedi Populer Gereja karya Adolf Heuken SJ (1976), membahas makna kata ‘Tuhan’ dalam hubungannya dengan kata Melayu tuan yang berarti atasan, atau penguasa, atau pemilik. Kata ‘tuan’ ditujukan kepada manusia, atau hal-hal lain yang memiliki sifat menguasai, memiliki, atau memelihara. Digunakan pula untuk menyebut seseorang yang memiliki derajat yang lebih tinggi, atau seseorang yang dihormati. Penggunaannya lumrah digunakan bersama-sama dengan disertakan dengan kata lain mengikuti kata ‘tuan’ itu sendiri. Contohnya, ‘tuan rumah’, ‘tuan tanah’, dan seterusnya.
Kata ‘tuan’ itu juga yang dipakai pada Kamus Besar Bahasa Indonesia digunakan dalam konteks selain keagamaan yang bersifat ketuhanan.
Itu soal opo, dan opo-opo. Lanjut soal perkara di wanua.
Saya, membidik busur, menarik rentang anak-panah berabad silam: Rinembok, tutur para tou, yakni orang-orang yang mendiami tanah berbatu di lereng Tampusu – Kasuratan – Parepei dari entah berapa ribu tahun silam.
Pertalian Remboken dan Wongkai, ada cerita opo. Kami, dalam keluarga menyebut leluhur kami sebagai opo. Mengingat kisah-kisah lama hari ini, seakan bertualang di rimba misteri.
Membaca sejarah Wongkai, dialek tua dari sana ‘wung’ dan ‘kakai’. ‘Wung’ adalah ungu muda, ‘kakai’ itu lidih enau. Tertera tahun 1860-an bagi Wongkai, katanya, pendiri wanua itu peladang berpindah yang datang dari Lowu. “Ngana pe opo dari Wongkai. Kalu tu rumah di Remboken dulu ada opa tua tukang emas lebeh dulu tinggal di sana. Opa Kaligis guru Walanda dari Wongkai yang ditugaskan mengajar di Remboken. Oom Otje lahir di Wongkai, anak-anak laeng lahir di Remboken.” Kisah ini saya dengar dari orang tua.
Agak berbeda tafsir, orang tua saya bercerita Wongkai sudah ada ratusan tahun silam sebelum 1800-an, kontradiksi dengan apa yang ditulis pada riwayat Wongkai. Di Wongkai, saya mengenal beberapa kerabat keluarga kami datang dari Wiau, Rumbia, dan Palamba, mereka masih ada turunan Portugis, sudah sekian generasi mereka menetap di Wongkai. Manakala mengunjungi Wongkai, saya ditunjukan penggilingan padi yang diputar kincir air di belakang rumah, dekat batas kampung.
Menelusur Wongkai dan sekitarnya, saya ke poin-poin lain di tenggara Minahasa, mengenal sungai Palaus, menelisik pulau Tumbak dan Voodoo, berbagai terminologi perang tua – baku hajar rompak Maguindanao Bangsa Moro. Verifikasi tutur empat buah perahu yang menyusul tualang pengikut Toar dan Lumimuut. Tutur menyebut, dua perahu berlabuh di Kema, orang-orang itu menetap di Minawerot, Kumelembuay, Kalawat. Ada perahu berlabuh di Atep – negeri dekat Wongkai. Ada mengelana ke barat bersua danau di pegunungan, lalu menetap di Tataaran, Koya, Tampusu, Remboken, dan Kakas.
Terkait opo-opo, Roosje punya keyakinan bahwasanya Voodoo mirip santet, ilmu hitam merugikan orang lain. “Orang-orang yang pake itu ilmu dorang pe mata merah kalu siang. Ngana boleh lia tu di Tumbak, dorang pe ilmu itu memang so bagitu dorang pe leluhur da kase turung.”
Roosje bilang Voodoo ada juga di tanah Minahasa. Maar, Roosje juga punya perspektif sama dengan saya, opo sebagai leluhur. Dia selalu bercerita ‘torang pe opo’, adalah tentang leluhur dari oma dan opa, serta yang selanjutnya.
Nanti, berapa tahun silam, 2015 – 2016, saya beroleh sedikit perspektif berbeda tentang Voodoo.
Padahal, Roosje pernah cerita, di antara opa bersaudara ada seseorang yang punya opo-opo, tapi kalau saya tanya apakah ada kemiripan dengan Voodoo, Roosje bilang tidak. “Di antara Opa Kaligis Remboken dengan Opa Marthen di Wongkai, tante so lupa noh, pokoknya dorang pe kakak ade ada yang ‘tukang berobat’, maar dia tukang berobat bae kwa, nyanda rupa tu di pulau.”
Voodoo, spiritis-animis, percaya kepada roh-roh leluhur. Diduga berkembang pada abad pertengahan di Afrika Barat. Tapi Voodoo ada Haiti, di Laut Karibia, berkembang dengan budaya di sana sebab dipraksiskan budak-budak Afrika yang dibawa Eropa ke sana.
Membaca How Voodoo is Rebuilding Haiti, ditulis Tim Johnson di BBC, 17 September 2015, menyebut yang mana budak-budak Eropa dipekerjakan untuk mengurus perkebunan kopi dan gula di Haiti. Dan orang-orang Haiti memperlakukan budak dengan baik. Para budak memperkenalkan Voodoo pada orang Haiti, dan diterima dengan baik. Malah, budak-budak dari Afrika itu turut membantu masyarakat Haiti yang sedang dijajah Prancis. Hingga Haiti merdeka di tahun 1804.
Tim Johnson menanyai Jean-Baptiste Jean Joseph, tokoh masyarakat dan seniman terkenal, mengapa ‘ilmu hitam’ Voodoo diminati jutaan orang di Haiti? Jean-Baptiste Jean Joseph bilang, bahwa dalam Voodoo tidak ada korban. Voodoo bukan untuk suatu kejahatan. Semua hanya rekayasa film saja. Dalam Voodoo mereka berdoa kepada roh untuk diberi kesehatan, keselamatan dan rezeki. “Tidak ada boneka-boneka ditusuk di sana yang seperti ada di film-film, itu rekayasa,” urai Joseph.
Di Haiti, Voodoo dianggap kepercayaan penuh damai. Kepercayaan pada roh yang sekaligus jadi simbol pemberontakan pada penjajah. Voodoo jadi simbol pemersatu. Maka, Voodoo di Haiti merupakan agama resmi yang ditetapkan pemerintah. “Voodoo menembus segenap aspek budaya Haiti, baik itu lukisan, patung, musik, dan tari,” kata Jean Cyril Pressoir, part-owner of Tour Haiti, a Port-au-Prince tour and logistics company.
Bersua tulisan Tim Johnson di BBC, saya mendapati ternyata pengetahuan saya tentang opo sebagai roh leluhur, sangat jauh ketinggalan.
Tutur para leluhur, opo dilupa. Tutur tak disentuh tinta sejarah. Silakan menelisik kisah opo yang menetap ribuan tahun pada pulau-pulau di Asia, termasuk di Sulawesi. Coba telisik ‘Out of Taiwan Theory’ dan perbandingkan dengan keyakinan ‘Out of Sundaland’. Hingga hari ini kita masih dijejal teori perjalanan yang menjelaskan keberadaan kebudayaan prasejarah ala Barat, klaim leluhur dari Yunan atau Indocina, menduga ada dua gelombang migrasi lima ribu tahun sebelum masehi, dan berikutnya dua ribu tahun sebelum masehi.
Proto Melayu di Sulawesi, diduga sudah ada sejak seribu lima ratus tahun sebelum masehi. Tim dari Pusat Penelitian Purbakala Indonesia dan Universitas Nasional Australia pada pertengahan tahun 1974, seperti ditulis Rendai Ruaw pada Majalah Arkeologi Indonesia, mengutip rubrik opini Herman Teguh, Harian Komentar, 26 – 27 Januari 2006, menyebut yang mana, pada delapan ribu tahun lalu, di Passo pernah bermukim sekelompok manusia yang berprofesi sebagai pemburu dan pengumpul.
Saya mengenal Passo, negeri di selatan Remboken. Ada banyak tutur yang kental dengan keberadaan leluhur di masa silam, apakah situs Kerang Passo boleh jadi penanda opo, yakni leluhur yang sama dengan beberapa penemuan seputar Sulawesi?
Dari kisah tante saya, Roosje, menyebut, bahwa di antara kakak beradik opa kami, ada seseorang yang punya opo-opo. “Torang pe opa, ada satu kakak ade deng Josephus, tu satu itu tukang berobat, maar dia nyanda tinggal di Wongkai.” Josephus, dari Wongkai pindah dan menetap di Remboken, meninggal 1977. Nama ‘J. Kaligis’ diukir di lemari pemberiannya pada SD GMIM II, sekolah yang berada di bagian belakang gedung GMIM Immanuel Paslaten, Remboken.
Tutur memang menyebut opo itu sebagai leluhur. Orang di wanua Remboken mengenal Retor si Tarumetor dengan sebutan Opo Retor, nama yang dipahat pada relief Perang Tondano Pertama.
Namun, datang di Sasapuan, di kaopoan – tempat mengandung opo, sekarang dianggap aneh. Berdoa pada leluhur dianggap menyembah batu dan pohon. Padahal, gedung-gedung apa pun namanya dibangun dari batu dan kayu serta material logam yang digali dari perut bumi, apakah tidak sama wujud datang ke Watu Sasapuan berdoa pada leluhur, dan pergi ke gedung-gedung?
Iman sebesar sesawi katanya dapat pindahkan gunung. Siapa yang sudah pernah menyaksikannya? Para ‘Opo’ di masa kita ternyata berani, dan sudah membuktikan. Gunung-gunung banyak yang sudah diratatanahkan, jurang ditimbun. Banjir dan longsor adalah urusan lain yang menyimpang dari kaedah lingkungan dan regulasi yang memang sering tertimbun opo-opo dalam bentuk uang dan surat berharga.
Di Haiti, Voodoo justru mendatangkan berkat dan keuntungan. Banyak wisatawan mengalir ke sana.
Di tanah kita, Opo-Opo dan ‘Opo’ dianggap ‘dosa’ yang menempel pada kerak adat budaya. Ditendang ke sana ke mari sebagai isu tak laku. Bila para ‘opo’ menari adalah doa panjang mengundang berkat? Kita menyanyi, memuja-muja tiada henti pada status di facebook.
Hujan, air berkelimpahan, banjir maka ‘opo’ jadi tertuduh dengan segala sumpah dia diusir. Kembali merindu kering, kemarau apabila teramat panjang kita-kita boleh mengumpat, dan saling memaki.
Maafkan saya yang lancang menulis opo sebagai leluhur, menyandingkannya dengan ilmu-ilmu yang ditera sebagai penanda wanua, yakni tana’ atau bumi dan tou atau manusia.
Exorcismus
Kembali pada cerita ‘rumah tembok rendah’. Tekateki ‘roh’ yang ‘katanya’ masuk bersarang pada tubuh dan jiwa Jerry. Ini pengingatnya, cerita Decky pada saya,” Sia si teneka’a-nong ni reghes lewo.” Jerry sudah dihinggapi angin atau roh jahat. Lalu Nez dipanggil untuk menolong mengusir ‘roh’ itu.
Ingat ‘rumah tembok rendah’ berdekatan ‘rumah panggung’.
Roosje pernah kerasukan, berteriak-teriak. Orang-orang saat itu berkumpul di bagian tengah ‘rumah panggung’. Saya datang belakangan manakala situasi agak meredah. Saya tanya, keluarga saya cerita, “Opa so maso pa Non, jadi opa baveto pa oom Uttu.” Begitu mereka cerita, Non itu nama panggilan kesayangan buat Roosje.
‘Roh’ rupanya tidak mau pergi. Roosje kerasukan lagi. “Suruh pigi tu parampung eeh, jang sampe kita yang bakudapa deng dia di Leleko,” teriak Roosje. Uttu memegang lengan Roosje, menyuruh anaknya mengambil air untuk membasuh wajah dan memberi minum Roosje. “Sudah, sudah pa’, so suruh pigi tu parampuang,” begitu Uttu membujuk Roosje yang katanya sudah dimasuki roh Opa Kaligis. Rupanya Uttu ‘main gila’, ada perempuan simpanannya, sehingga Roosje kesurupan.
Pada artikel di Jewish Encyclopedia, Jesus of Nazareth, ditulis keroyokan oleh Joseph Jacobs, Kaufmann Kohler, Richard Gottheil, dan Samuel Krauss, menyatakan yang mana Yesus rajin mengusir setan, dan juga percaya Yesus memberikan kuasa mengusir Setan kepada para pengikut dia, namun, Yesus lebih berkuasa daripada mereka di dalam eksorsisme.
Eksorsisme, dalam Hukum Kanon Gereja Katolik, dapat dilakukan imam yang telah ditahbiskan, jabatan gerejawinya lebih tinggi, dengan izin resmi dari uskup setempat, dan hanya dilakukan setelah adanya sebuah pemeriksaan medis terutama oleh psikiater, untuk menghilangkan kemungkinan bahwa yang terjadi adalah penyakit mental. “When the Church asks publicly and authoritatively in the name of Jesus Christ that a person or object be protected against the power of the Evil One and withdrawn from his dominion, it is called exorcism. Jesus performed exorcisms and from him the Church has received the power and office of exorcizing. In a simple form, exorcism is performed at the celebration of Baptism. The solemn exorcism, called ‘a major exorcism,’ can be performed only by a priest and with the permission of the bishop. The priest must proceed with prudence, strictly observing the rules established by the Church. Exorcism is directed at the expulsion of demons or to the liberation from demonic possession through the spiritual authority which Jesus entrusted to his Church. Illness, especially psychological illness, is a very different matter; treating this is the concern of medical science. Therefore, before an exorcism is performed, it is important to ascertain that one is dealing with the presence of the Evil One, and not an illness,” demikian ditulis pada Catechism of the Catholic Church.
Dijelaskan dalam Historical and folk techniques of exorcism: applications to the treatment of dissociative disorders, ditulis bersama Jean Goodwin,M.D.,M.P.H., Sally Hill, M.S.W, dan Reina Attias, Ph.D., menerangkan bahwa pihak-pihak yang percaya pada kerasukan setan kadang-kadang menganggap gejala-gejala yang berhubungan dengan penyakit mental seperti histeria, mania, psikosis, sindrom Tourette, epilepsi, schizophrenia atau penyimpangan identitas terpisah sebagai sumber kerasukan setan.
Voice of Reason: Exorcisms, Fictional and Fatal, ditulis Benjamin Radford di Live Science, 30 Augustus 2005, membeber fakta bahwa eksorsisme berhasil bekerja pada orang-orang yang mengalami gejala-gejala kerasukan setan dihubungkan dengan pengaruh placebo dan kekuatan sugesti.
Beberapa orang yang terlihat kerasukan setan sebenarnya adalah kaum narsis atau yang mengalami rasa percaya diri sangat rendah, kemudian berpura-pura menjadi orang yang kerasukan setan untuk memperoleh perhatian orang lain. Demikian ditulis Julia Layton di How Exorcism Works.
Diduga exorcismus, yakni praktik untuk mengusir setan atau makhluk halus dikenal sebagai eksorsisme, telah berusia sangat usur, dan masih dipraktekan di mana-mana. Ilmu itu berasal dari berbagai kepercayaan perdukunan prasejarah.
Exorcism: abuse or cure? Dilaporkan David Batty di The Guardian, 02 Mei 2001, menyatakan, kitab Perjanjian Baru Kristen mengikutsertakan eksorsisme di antara keajaiban-keajaiban yang dilakukan Yesus. Karena hal kerasukan setan ada dalam sistem kepercayaan Kristen sejak agama itu lahir. Eksorsisme dikenal juga dalam Katolik, Ortodoks Timur dan beberapa denominasi Protestan. Gereja Inggris juga memiliki seorang eksorsis resmi di tiap keuskupannya.
Kembali lagi soal wanua. Informasi dan pengetahuan di wanua memang kurang memadai. Jadi, bila ada yang bertingkah aneh dan berlebihan, akan dianggap kerasukan Setan. Di beberapa literatur yang saya baca tertulis bahwa kerasukan setan bukanlah sebuah diagnosa psikiatris atau medis yang sah diakui buku panduan diagnosa dan statistik penyimpangan-penyimpangan mental maupun klasifikasi statistik internasional mengenai penyakit dan masalah-masalah kesehatan yang berhubungan dengannya.
Zaman sudah berganti, entah cara pandang boleh berganti. Exorcismus mendapat jalan propaganda lewat film. Medio 1973 film The Exorcist dirilis dan pemikiran eksorsisme kembali menyeruak ke permukaan. “Setelah dirilis film ini, tanggapan sangat luas datang dari publik Amerika Serikat dan Eropa, dan kepercayaan kerasukan setan dan eksorsisme beroleh tempat di masyarakat modern. Kepercayaan mengenai keabsahan praktik ini tidak lagi menjadi pemikiran yang radikal, dan mulai diterima secara luas,” tulis Michael W. Cuneo di American Exorcism: Expelling Demons in the Land of Plenty, 11 September 2001.
Sudah sering saya melihat ‘yang katanya orang pinter’ mengusir ‘Setan’. Praksis penglepasan roh yang dianggap jahat sering dilakukan. Pun, ada tim doa yang dibentuk terkait kampanye politik, dibentuk, di antara kegiatan mereka ada juga untuk mengusir Setan.
Sajak, lagu, mantera, ‘Lulu o lulu, tundekkenney, nate ni kalekek, kayoyong kasepal, tumbak umbale, umbale kengkong,’ adalah luka bernanah sejarah. Bencana dan kejahatan yang selalu berulang di mana-mana tempat di bumi. Pisau, pedang, atau tombak, atau apa saja senjata terhunus pada kemanusiaan, para tou, pada lingkungan hidup dan pada mereka yang sudah jadi opo.
Opo, yakni leluhur kita sekalian, mengajar kita menanam benih-benih, supaya hutan tetap terjaga dari bencana tak terprediksi. Mereka pula yang menggariskan ‘taar leos’: ‘masaya-sayangan, matombo-tombolan, saling mengasihi, saling menolong. Itulah ‘opo-opo’ warisan leluhur yang mesti dipelihara, seperti benih-benih pohon, tetap tumbuh walau amarah membakarnya.
Syair ‘Lulu o lulu, rundekkenney, nate ni kalekek,’ memang kumuh dan kumal. Siapa yang kenal ceritanya? Hanya sedikit tou yang masih mengenangnya di wanua. Beda dengan syair ‘Opo wana Natas, tembone se mengale-ngale’, kerap dinyanyikan dalam berbagai acara, banyak yang menghafalnya, mengenang pencipta semesta, dan mengenang leluhur yang telah banyak memberi pengalaman. Itulah jejak-jejak tou yang tetap membekas hingga sekarang.
Doa-doa pengusir bencana selalu panjang dan lama, juga nyaring sebab diberitakan banyak media. Nanti, bila hujan menderas sebabkan banjir dan longsor, Setan-Setan akan jadi tertuduh. Tunggu saja. (*)
🖇Diedit dari artikel yang sama dari dactfay
[…] Diketahui sejak abad Pencerahan, kepercayaan terhadap keberadaan Setan dikritik habis-habisan. Artikel terkait pernyataan ini anda boleh baca di Opo-opo dan Opo. […]
[…] sampai lecet, dendam menghendak hukuman ada selamanya. Beberapa catatan saya taruh dalam artikel Opo-Opo dan Opo, 04 Desember 2019: Dijelaskan dalam Historical and folk techniques of exorcism: applications to the […]