Wednesday, November 5

Omong Besar Otonomi


04 November 2025


Artikel senada teks yang mengalir ini dipublikasikan di Institute of Community Research and Empowerment Sumekolah (ICRES), 26 Mei 2010 — diedit ulang untuk menguji fakta-faktanya hari ini.


Oleh: Daniel Kaligis


REGULASI OTONOMI topeng. Ini topeng. Itu topeng: kata-kata muluk penguasa untuk memperdayai rakyat ummat. Topeng itu selalu berulang, janji manis pemberdayaan nan memperdayai. Tagline-nya pelayanan maksimal. Pertanyaannya di sebelah mana pelayanan maksimal itu berada di negeri ini? Tanpa cuan, pelayanan itu mimpi. Dongeng.

Mari berlajar berhitung. Berapa jumlah pelayan masyarakat di Indonesia? Janganlah dulu dijawab. Buka fakta. Angka-angka yang nanti disodorkan dan anda temukan di sini adalah persentase belanja pegawai secara keseluruhan, bukan hanya gaji pokok. Belanja pegawai mencakup gaji, tunjangan, honorarium, lembur, dan lainnya. Persentase ini dapat bervariasi setiap tahunnya tergantung pada kebijakan dan prioritas anggaran pemerintah pusat dan daerah.

Coba kita tanya, berapa persen dari DIPA bayar ASN? Baca regulasi sesungguhnya tak ada persentase tunggal untuk semua instansi, karena persentase alokasi dari DIPA untuk pembayaran gaji ASN bervariasi tergantung instansi dan tahun anggaran. Namun, untuk tingkat daerah, belanja pegawai, termasuk gaji ASN dibatasi maksimal 30 % dari total belanja APBD, seperti yang tertulis pada KLC Kemenkeu. Untuk tingkat pusat, alokasi belanja pegawai pada APBN 2025 tercatat sebesar Rp79,5 triliun atau sekitar 26 % dari total belanja negara.

O iya. Di kantor di Jakarta, dulu, saya pernah membaca DIPA – yang pada saat itu – ketika anggarannya diketok kepala negara awal tahun, secara ajaib dokumen untuk semua provinsi di Indonesia itu ada juga di meja kerja saya. Secara formal DIPA diterbitkan Menteri atau Pimpinan Lembaga sebagai Pengguna Anggaran, kemudian Menteri Keuangan mengesahkan DIPA, biasanya melalui Direktur Jenderal Perbendaharaan atas nama Menteri Keuangan. DIPA disusun Menteri atau Pimpinan Lembaga yang menjadi Pengguna Anggaran, dengan berpedoman pada rincian anggaran belanja pemerintah pusat yang telah ditetapkan.

Kaget? Dulu iya kaget dan geleng-geleng. Ongkos negeri ini terbanyak untuk bayar gaji pelayan masyarakat. Gimana ngongkosi infrastruktur, kesehatan, pendidikan, etc?

Baca Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah — isinya seperti materi kampanye: memperkuat desentralisasi fiskal – mewujudkan pemerataan layanan publik dan kesejahteraan masyarakat di seluruh Indonesia secara efisien, efektif, transparan, akuntabel, dan berkeadilan.

Ulangi, tanpa cuan, semua hanya dongeng. Suap ada di mana-mana. Untuk berhenti saja, kita dipajaki. Akal-akalan ini pun ada regulasinya. Padahal, kualitas pelayanan yang diberikan tidak sesuai standar meskipun ada upaya untuk menyediakannya. Bangun alasan, hal ini disebabkan oleh berbagai faktor: keterbatasan sumberdaya manusia, sistem ‘masih’ lemah, prosedur tak transparan, serta rendahnya responsivitas terhadap keluhan masyarakat. Masalah ini dapat terjadi dalam bentuk seperti penundaan berlarut, pungutan liar, dan penyimpangan prosedur.

Otonomi daerah untuk apa, dan ngapain saja dia? Jurang kemiskinan sangat kentara. Cari sendiri data faktanya. Data di sini pun sangatlah fakir dan amat miskin sebab penundaan berlarut, pungutan liar, dan penyimpangan prosedur mungkin akan disebut dongeng oleh penguasa, walau ada di mana-mana, sampai di ruang pengadilan sekalipun tak ada keadilan dan prosedurnya menyimpang. Panjang dan lama. Ini pengalaman, bukan sekedar ngobral tulisan. Sidang berbulan-bulan dan muter kian kemari nggak jelas, sudah gitu faktanya.

Perpanjangan tangan geliat otonomi tanpa diawasi, fakta korupsi merajalela. Isinya mudah ditebak, dungu terpelihara subur bersama kemiskinan terstruktur.

Regulasi peletak dasar otonomi luas untuk daerah dengan memberi wewenang semua urusan ‘atur sendiri’, kecuali urusan absolut pusat, yakni politik luar negeri, pertahanan, dan keamanan. Visi itu dimulai 1999. Sasaran dari tesis dengan argumennya itu – yakni, memberikan wewenang kepada pemerintah daerah membuat kebijakan mandiri dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat searah demokratisasi. Berikutnya, ada teori untuk hindari sentralisasi yang sejauh ini dikendalikan pemerintah di Jakarta, ibukota negara, pusat kuasa.

Ada regulasi. Namun, syahwat kuasa terpusat tetap mengakar. Usai lima tahun dari 1999 terbit Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Regulasi, ruang untuk jalankan fungsi? Apakah memang ditinjau bahwa ruang itu belum berfungsi? Alasan bisa macam-macam. Belum terjawab soal di 2004, muncul Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008. Kemudian muncul Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Setahun berjalan, terbit lagi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015, syahwat kuasa makin menjadi muncul Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Mabuk regulasi tapi dianggap perkembangan. Muncul Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020. Lalu tiba di Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024, katanya akomodir kekhususan dan peran strategis. Kata-kata penghibur, ‘wujudkan kesejahteraan rakyat berkeadilan’. Topeng ini, ini topeng.

Di atas kertas regulasi — kewenangan pemerintah daerah dalam otonomi daerah meliputi pengelolaan urusan pemerintahan konkuren seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, serta pengelolaan sumberdaya keuangan melalui pajak dan retribusi. Menetapkan peraturan daerah, mengelola anggaran dan sumberdaya manusia. Berikutnya membangun kerjasama untuk majukan daerah.

Secara ringkas, tugasnya adalah ‘atur’ rencana dan ‘kendali’ pembangunan. Atur dan kendali tata ruang. Atur dan kendali ketertiban umum. Atur dan kendali pelayanan dasar. Atur dan kendali pengembangan ekonomi – di sini juga disebut tentang koperasi, ternyata dalam praktek pusat atur juga isu koperasi besutan istana – kan gitu. Atur dan kendali pengelolaan keuangan. Atur pengelolaan sumberdaya manusia. Atur pengelolaan sumberdaya alam – faktanya izin-izin masih dalam genggam penguasa pusat. Berikutnya, regulasi lagi. Atur dan kendali peraturan daerah. Atur dan kendali kerja sama. Atur dan kendali semua. Telah ringkas ternyata tetap panjang juga ngaturnya.

Lalu, rakyat ummat kismin ngapain? Nonton saja dan bayar pajak! Musrembang berjejaring orangnya itu-itu saja, suaranya sama, usulannya sama: tembok, beton, tiang, lubang, logam, kaca, aspal, batu-batu kepala batu.

Ada hasil kajian yang menyatakan bahwa Indonesia termasuk dalam kategori negara poor governance. Kajian ini melihat governance quality dengan cara menghitung besarnya governance quality index. Indeks kualitas governance diukur dari indeks partisipasi masyarakat, indeks orientasi pemerintah, indeks pembangunan sosial, dan indeks manajemen ekonomi makro. Tak ditemui tanda-tanda good governance selain omong besar yang membuktikan poor governance itu semakin kentara.

Berapa argumen yang dikira masuk akal. Masalah geografis, yang mana Indonesia merupakan wilayah yang sangat luas, sehingga Indonesia dikatakan rentan dengan masalah-masalah keamanan seperti konflik yang menyebabkan suasana tidak kondusif untuk melaksanakan dan menciptakan suasana nyaman. Gitu juga, alasan untuk regulasi bertajuk desentralisasi itu.

Pemberdayaan sejauh ini janji tinggal joget. Kampanye sebelum duduk berkuasa terdengar merdu. Realisasinya sumbang. Ya gitu, sumbang. Kalau tak disumbang, kian melarat. Tapi ini bukan tentangan sumbangan. Sumbang cemplang, janggal, miring, garau, parau, sember. Tafsir sendiri antonym, lawan kata dari merdu itu apa.

Otonomi daerah dianggap itikad baik pemerintah pusat dalam rangka sembuhkan ketidakseimbangan yang terjadi sejauh ini. Dengan payung regulasi tersebut diharapkan daerah-daerah mampu menyelesaikan persoalan di wilayahnya secara mandiri.

Apakah tujuan otonomi daerah sudah terpenuhi, terjadi?

Potretnya boleh lihat sendiri: Kesenjangan antardaerah, eksploitasi sumberdaya, koordinasi lemah, korupsi di mana-mana, miskin stunting juga ada di mana-mana. Namun mimpi setinggi bintang katanya dorong kesejahteraan bersama melalui pembangunan yang fokus pada kebutuhan lokal. Berharap partisipasi masyarakat kembangan potensi lokal, dan ada penguasa yang responsivitas. Wow, lima tahun sekali bansos jadi murah dibagi penguasa yang tak rela turun dan dari datang dari calon penguasa baru. Begitu terus sekian masa tanpa evaluasi.

Balik lagi pada pertanyaan di awal tadi, di mana ada pelayanan masyarakat maksimal di negara ini saat genderang otonomi memekak di tiap sudut negeri yang sudah masyur sebagai Konoha? Bagaimana menyelesaikan dan menjembatani pencarian rakyat yang saat undang-undang otonomi diberlakukan justeru selalu diintip dengan cara perampokan modern bertajuk peningkatan pendapatan asli daerah. Menyusul soal kerja yang tumpang tindih, studi banding yang hanya menghambur-hambur uang, menyisakan cerita yang haram diberitakan, namun sudah menjadi buah bibir di warung-warung miskin sekalipun.

Kiranya seperti itu cerita otonomi mandiri, rakyat disuruh mikir sendiri. (*)