
30 Maret 2025
Oleh: Niken Risqiana Puspitasari
AKU lelah mendengar orang mengutip Marx dengan sembrono. “Agama adalah candu,” katanya, seolah-olah itu vonis mutlak yang menempatkan agama di kursi terdakwa. Tapi apakah mereka pernah benar-benar membaca kalimat lengkapnya? Die Religion … ist das Opium des Volkes. Agama adalah opium rakyat.
Bukan candu dalam arti buruk. Bukan racun yang menyesatkan. Opium, pada zaman Marx, adalah obat pereda nyeri, satu-satunya yang mampu membuat manusia bertahan dalam penderitaan.
Lihatlah wajah-wajah di sekitar kita. Para buruh yang bekerja sejak pagi buta, mengorbankan tubuh dan waktu demi upah yang bahkan tak cukup untuk menghidupi keluarganya. Para petani yang tanahnya perlahan diambil alih, dipaksa menjadi buruh di ladang yang dulu mereka miliki. Orang-orang yang terjepit di antara kapitalisme rakus dan birokrasi yang tak peduli. Apa yang mereka miliki selain harapan?
Agama, bagaimanapun bentuknya, menawarkan harapan. Surga bagi yang bersabar, keadilan ilahi bagi yang terzalimi. Ia bukan sekadar pelarian, tetapi juga ketenangan bagi jiwa yang tak lagi tahu harus bertumpu pada apa.
Marx tidak menyerang agama. Ia menyerang sistem yang menciptakan penderitaan begitu besar hingga manusia membutuhkan agama sebagai pelipur lara. Kalau keadilan sosial benar-benar terwujud, mungkin manusia tak perlu lagi mencari ketenangan dalam janji-janji metafisik.
Tapi dunia ini belum adil.
Jadi, agama tetap menjadi obat. Bukan candu yang membutakan, melainkan balsem bagi luka-luka yang belum sembuh. (*)
17 Maret 2025