
29 Oktober 2025
Diskusi di masa silam. Arvi bilang, regenerasi penguasa yang lahir dari benih sama, akan berbuah sama. Tak pernah akan beda hingga generasi ke-empat ribu. Hey, rakyat membeli mimpi elite. Teori regenerasi memancungkan bagian tubuh rusak, lepas. Daya regenerasi paling besar ada pada echinodermata dan platyhelminthes. Tiap keping anggota badan dapat mencuat jadi individu baru. Entah pada manusia baru, dapat meresap kegembiraan.
Oleh: Dera Liar Alam
OPINI masyarakat selalu digiring dan dialihkan. Evaluasi sejarah. Pemilihan umum ruci beberapa beberapa waktu lalu hancur lebur di dentum bom mengguncang J.W. Mariiott dan Ritz Carlton. Rakyat lalu berbondong-bondong datang ke sana, menonton. Saya meliput kejadian itu di ibu-kota negara. Jakarta, 2009.
Semua stasiun televisi memberitakan, koran-koran laris menyuguhkan sajian terbaru namun basi. Sorot lensa kamera sudah mendahului, isi berita-pun sama. Ketakutan, risih berlebih, rakyat jadi sasaran. Mereka tak berdaya, dikorbankan. Lengkaplah sudah, nama rakyat boleh dicemarkan demi membela kepentingan sistem. Opini penguasa merajai.
Zul Densi, kawan yang bermukim di wanua Bitung. Lebih sepuluh tahun silam dia tanggapi artikel saya, ‘Opini Penguasa’, Zul bilang, “Ketidakadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Masa depan tiba hari ini dengan fakta seperti ditutur Zul, ketidakadilan makin mengentara, menyolok, berandang, terkemuka. Nyata dan terang ketidakadilan itu. Sementara, opini tetap dikuasai penguasa.
Apa itu? Buku-buku, literatur, bahan bacaan kritisi pelaksanaan negara dilarang beredar. Kabar berita disetting penguasa, sehingga opini yang lahir di masyarakat juga adalah opini penguasa.
Penguasa, rancang perang opini antarkelompok: yaitu, kelompok pro perubahan, berhadapan dengan kelompok pro status quo. Ini kiat penguasa hindari tanggung-gugat sedemikian rupa. Slogan-slogan bertebaran laksana bela rakyat dan ingin selamatkan masa depan bangsa – serta apa yang ada di batas-batas wilayah kuasa. Padahal, agitasi, propaganda yang berlangsung sampai detik ini tujuannya hanyalah supaya kekuasaan itu tetap ada dalam genggaman. Itu saja, tak lain!
Sambil menenun artikel ini, saya membaca sindiran Rocky, teman di wanua penggemar fotografi, dia bilang, “Para pejabat sangat dahsyat ngomong kejujuran seakan dewa bagi rakyat. Namun saat sang dewa itu datang mereka berubah geram. Indonesia memang negara lucu tapi tak pernah gembira.” Satire nan syahdu ditujukan pada meme kritik Ali Mochtar Ngabalin terhadap posisi Purbaya Yudhi Sadewa.
OK, lanjut!
Stereotip dikenakan pada wajah kerakyatan – anggapan, klise, prasangka, stigma, label, generalisasi. Isu menggulung buah bibir, perubahan membikin konflik, rusuh. Kekuasaan membangun opini supaya terlihat rakyat sudah puas dengan kondisinya sekarang. Walau ternyata sekuler dan korup. Ini pernyataan yang selalu diulang-ulang, bahwa, ‘Reformasi sudah bablas’. Label terhadap kemungkinan perubahan, apalagi konsep revolusi pemikiran berulangkali ditawarkan, namun ditepis. Evaluasi? Tidak! Opini rakyat telah dianggap digeneralisasi sebagai ‘serangga pengganggu tetanaman’ pembangunan.
Catat ulang, senjang ekonomi, disekuilibrium – disparitas – pincang akses terhadap pendidikan; terhadap hukum, dan diskriminasi. Penegakan hukum tumpul dan lemah terhadap kasus korupsi. Isu disfungsi institusi, kepentingan pribadi, menyusul isu ketidakadilan gender serta ketidakadilan lingkungan. Akan semakin telanjang isu ini bila dibedah dengan pisau analisa ‘izin-izin yang dihamburkan penguasa di Jakarta’ untuk merampasi sumberdaya di daerah.
Potret ketidakadilan di bidang hukum – contohnya – tentu dengan berbagai faktor penyebab: tebang pilih penegakan hukum, korupsi, pengaruh politik dan ekonomi, juga legal loopholes yakni celah hukum yang justeru dimainkan sistem. Hal ini membikin masyarakat miskin tak mampu itu jadi kian rentan terhadap soal-soal, utamanya hukum dan pengetahuan melingkupi perkara itu – yang dalam praktiknya – tak berpihak pada mereka, yakni ‘orang-orang kecil’ itu. Pada titik yang sama, penguasa, pemodal, oligark, dapat hindari hukuman. Fenomena hukum tumpul ke atas, runcing ke bawah. Ini selasatu akar perkara kebangsaan yang dengan sengaja terus saja ditimbun penguasa sambil ngincar sumberdaya dan tak mau memberdayakan rakyat.
Soal ‘izin-izin yang dihamburkan penguasa di Jakarta’ untuk merampasi sumberdaya di daerah. Beleid ditanda-tangani penguasa, 11 September 2025. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2025 tentang perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 soal pelaksanaan usaha pertambangan mineral dan batubara. Regulasi ini memberikan prioritas dan khusus menegaskan pemberian Wilayah Izin Usaha Petambangan kepada koperasi, badan usaha kecil dan menengah. perguruan tinggi, dan organisasi kemasyarakatan keagamaan.
Apa perkaranya? Subyek hukum penerima konsesi diperluas. Tanpa evaluasi soal-soal. Tambang sudah pasti rakus air. Polusi tanah – polusi udara – polusi air. Lahan kritis tak dapat dimanfaatkan ulang, rusak bentang alam, minim reklamasi pascatambang, erosi, rusak keanekaragaman hayati, tailing, konflik lahan, tumpang tindih izin. Belum lagi masuk lebih dalam pada perkara korupsi di sektor pertambangan yang dimaksud.
Penguasa berkata, “Tambang illegal pendekatannya normalisasi. Kita tertibkan, berizin, melalui mekanisme skema Izin Pertambangan Rakyat.” Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, melalui Dirjen Minerba, Tri Winarno, bilang yang mana mekanisme legalisasi tambang rakyat sekarang ini sudah diatur dan tengah berjalan di berbagai daerah.
Potret regulasi: Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba mengatur kegiatan pertambangan mineral dan batubara di Indonesia, termasuk prinsip penguasaan negara untuk kesejahteraan rakyat, kewenangan pengelolaan, perizinan, serta mendorong pemrosesan di dalam negeri untuk meningkatkan nilai tambah. Aturan tersebut telah beberapa kali diubah, dengan perubahan terpenting diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025, yang bertujuan untuk menyelaraskan kembali dengan konstitusi dan berbagai dinamika perkembangan pertambangan di Indonesia.
Tilik, prinsip penguasaan negara untuk kesejahteraan rakyat. Sejauh mana rakyat sejahtera? Cerminnya mesti jelas. Kekuasaan membangun opini agar terlihat rakyat sudah puas dengan kondisinya terkini. Slogan-slogan bertebaran laksana bela rakyat dan ingin selamatkan masa depan bangsa – serta apa yang ada di batas-batas wilayah kuasa. Padahal, agitasi, propaganda yang berlangsung sampai detik ini tujuannya hanyalah supaya kekuasaan itu tetap ada dalam genggaman. Itu saja, tak lain! Sementara ketidakadilan masih bersarang dalam sistem.
Soal yang tadi itu, izin-izin dropping Jakarta, subyek hukum penerima konsesi diperluas. Tanpa evaluasi, soal-soal masih belum terselesaikan sampai hari ini. Data tahun 2021, area pertambangan di negara kita ada 97.767.729,55 hektar atau setengah dari luas daratan Indonesia. Kalkulasi, sektor mineral dan batubara menguasai kawasan seluas 11.190.193,70 hektar. Sisanya sektor minyak dan gas terbentang pada area seluas 86.577.535,85 hektar. Pertanyaannya, di mana hutan rakyat? Di mana hutan adat? Kenapa BBM dan gas selalu menghilang dan langka? Rakyat dibilang puas, disuruh gembira dengan janji kampanye. Begitu.
Isu ketidakadilan enggan digubris. Ada kutipan penting dibaca rakyat. Bahwa, “Hukum masih berfungsi sebagai pengintai yang mengawasi kelengahan dan kesalahan rakyat. Premanisme dan teror dari beberapa kelompok tidak ditangani, tapi dibiarkan tumbuh subur untuk menjaga kegelisahan. Aturan menjadi momok, bukan pembawa rasa tenteram. Sistem menganggap rakyat gampang dibodohi dengan alasan kekanak-kanakan bila sensor-menyensor berlangsung. Badan hukum adalah institusi tak beres, badan ini menyembunyikan kriminalitas besar yang seyogyanya segera ditangani, gantinya mengusut dan membahas hal-hal sepele yang memenjara kebebasan rakyat.”
Ingat, kerusakan bentang alam dan konflik ada di mana-mana. Jangankan illegal, yang legal sekalipun berperkara. Di tanah di mana saya berpijak ada kawasan di mana hutan hujan tropisnya terancam. Ada soal kriminalisasi pejuang lingkungan yang dibiarkan oleh penguasa. Lalu, kita mesti melucu dan gembira saja pada fakta itu? Padahal tak hanya sekali diingatkan supaya penguasa lakukan evaluasi, rutin audit lingkungan menyeluruh terhadap izin dan operasional pertambangan mineral dan batubara di Indonesia.
Lebih sepuluh tahun silam saya mengambil gambar anak ini pada barisan pengantre BBM selasatu simpang nan ramai. Entah siapa nama anak itu. Dia menembangkan syair riang dengan wajah duka. Negeri lucu yang tidak gembira.
Merekam peristiwa di stasiun pengisian bahan bakar umum. Kelangkaan pasokan, isu, lonjakan permintaan, pertengkaran di antara para pengantre, debat soal-soal kosong tiada berguna. Pernah terjadi, sistem mengalihkan opini kenaikan harga bahan bakar dengan penemuan gudang narkoba di Jakarta Utara. Lumpur petaka ada dalam petak rakyat, tapi flu burung dan flu babi diimport masuk ke ruang makan masyarakat.
Kebijakan menindas produk lokal bukan baru sekali dialami. Perkara ini masih saja tidak membuat masyarakat mengerti dan boleh tahu diri. Korban terlindas adalah rakyat, tetapi slogan tetap saja berkibar, walau palsu dan membohongi.
Kisah over stock, berita basi harga turun, panen meruah, regulasi menghindar, bukankah ini merupakan bukti pembiaran dan pengangkangan tanggunggugat penguasa negara terhadap warga negara?
Bercermin sejarah. Opini elite menderas, ‘kita sudah maju dan berkembang’. Bahwa masyarakat sudah mampu bersaing, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, mampu mengakses informasi, kreatif, inovatif dan profesional serta berwawasan ke depan yang luas. Geliat otonomi daerah diartikan sebagai masyarakat yang mampu mengatasi masalah-masalah di bidang politik, ekonomi, sosial dan keamanan di tingkat lokal, serta mempunyai prinsip dan dapat bekerjasama dengan negara lain, ternyata hanya lahirkan euphoria pemekaran di mana-mana.
Padahal faktanya rakyat terbabit isu. Pengetahuan disusupi dogma langit, dan rakyat bersorak menyambutnya. Gembira dan lucu. Sayang, strategi ini sengaja hadir untuk memecah kekuatan dan meminggirkan rakyat dari pelayanan negara. Rakyat terhipnotis arus politik pentokar-pentokar penjual janji palsu kesejahteraan.
Bukan kabar baru. Ini artikel lama yang dimodifikasi. Suara untuk evaluasi dengan gembira. (*)