Friday, September 5

Moralitas tanpa Tuhan dan Agama


15 Agustus 2025


Antropologi mencatat bahwa jauh sebelum agama-agama besar lahir, komunitas manusia purba telah mengembangkan norma hidup bersama. Suku-suku pemburu-pengumpul berbagi hasil buruan, menetapkan aturan giliran berburu, dan merawat anggota yang sakit atau lanjut usia. Semua itu dilakukan bukan karena ada ancaman neraka atau janji surga, melainkan karena keterikatan sosial dan kebutuhan bertahan hidup.


Oleh: Andi Fitriyanto
Penulis adalah Pengarang Satire Kontemporer


Sumber: esaisingkat.wordpress.com


ADA ANGGAPAN KUNO yang diwariskan dari mimbar, kitab, dan doa makan: “Tanpa Tuhan, manusia akan jadi binatang.” Lucunya, sejarah justeru menunjukkan sebaliknya — bahwa banyak binatang yang jauh lebih beradab dibanding manusia yang sedang mengangkat kitab suci di satu tangan, dan pedang di tangan lain.

Salah satu pandangan yang telah mengakar kuat dalam budaya kita adalah bahwa moralitas tak mungkin eksis tanpa keberadaan Tuhan atau agama. Namun, perkembangan kajian sejarah, filsafat, dan ilmu perilaku manusia justru menunjukkan gambaran yang lebih kompleks — dan tak sejalan dengan klaim tersebut.

Antropologi mencatat bahwa jauh sebelum agama-agama besar lahir, komunitas manusia purba telah mengembangkan norma hidup bersama. Suku-suku pemburu-pengumpul berbagi hasil buruan, menetapkan aturan giliran berburu, dan merawat anggota yang sakit atau lanjut usia. Semua itu dilakukan bukan karena ada ancaman neraka atau janji surga, melainkan karena keterikatan sosial dan kebutuhan bertahan hidup.

Charles Darwin dalam The Descent of Man (1871) menyebut perilaku saling menolong sebagai hasil evolusi kerja sama (reciprocal altruism). Secara sederhana: kelompok yang mampu menjaga solidaritas lebih mungkin bertahan dibanding kelompok yang anggotanya saling merugikan.

Agama kemudian hadir, membawa narasi transendental tentang asal-usul moral. Dalam banyak tradisi, nilai-nilai kemanusiaan dikaitkan langsung dengan perintah ilahi. Di satu sisi, agama berhasil mengkodifikasi norma-norma sosial menjadi sistem etika yang lebih terstruktur. Di sisi lain, hal ini menimbulkan persepsi bahwa moralitas adalah ‘hak paten agama’, dan tanpa agama, manusia akan kehilangan arah.

Masalahnya, sejarah memperlihatkan sisi gelap dari klaim tersebut. Perang salib, inkuisisi, perburuan penyihir, hingga legitimasi perbudakan pernah berlangsung di bawah bendera agama. Moralitas yang seharusnya universal kerap tunduk pada tafsir yang membenarkan kekerasan demi ‘kebenaran’ teologis.

Filsafat modern dan sains perilaku mengajukan pandangan lain: moralitas dapat berdiri di atas fondasi sekuler — yaitu empati, rasionalitas, dan kesadaran akan konsekuensi sosial. Manusia dapat memahami bahwa mencuri merugikan, menipu menghancurkan kepercayaan, dan menolong membawa manfaat kolektif, tanpa perlu merujuk pada teks suci.

Neurosains menambahkan lapisan penjelasan: tindakan altruistik memicu sistem penghargaan otak yang melepaskan dopamin, memberi rasa nyaman pada pelakunya. Berbuat baik, dengan kata lain, memberi manfaat psikologis langsung, terlepas dari keyakinan metafisik.

Di masyarakat plural seperti Indonesia, pendekatan moral berbasis kemanusiaan — bukan eksklusivitas agama — menjadi semakin relevan. Bukan berarti agama harus dihapus dari ruang publik, tetapi klaim bahwa moral tak mungkin ada tanpa agama perlu ditinjau ulang.

Prinsip ‘berbuat baik karena orang lain adalah manusiawi’ lebih mudah dirayakan di ruang bersama ketimbang ‘berbuat baik karena Tuhan saya memerintahkannya’. Yang pertama membuka pintu dialog lintas keyakinan; yang kedua sering kali menjadi tembok.

Moralitas tanpa Tuhan bukan sekadar mungkin, tetapi telah menjadi kenyataan historis dan empiris. Agama tetap dapat menjadi sumber inspirasi etika, seni, dan makna hidup. Namun, nilai kemanusiaan yang sejati mestinya berdiri di atas pijakan yang tak bergantung pada ancaman hukuman atau imbalan surgawi.

Pada akhirnya, pertanyaan yang seharusnya kita ajukan bukanlah ‘Siapa Tuhanmu?’, melainkan ‘Bagaimana kita memperlakukan satu sama lain?’. Sebab, ukuran moralitas yang paling konkret adalah dampaknya pada kehidupan manusia — di bumi, di sini, dan saat ini.

Maka, biarkan manusia bermoral karena kemanusiaannya, bukan karena ancaman hukuman atau janji hadiah dari langit. Tuhan boleh saja tetap menjadi bahan puisi, sumber inspirasi seni, atau pelipur lara eksistensial — tetapi monopoli moral? Jelas tidak.

Dan kalau masih ada yang berkata, “Tanpa Tuhan, tidak ada alasan berbuat baik,” jawabannya sederhana: “Saya berbuat baik karena Anda manusia, bukan karena Anda bagian dari program poin surga.” (*)

13 Comments

Comments are closed.