Friday, July 26

Merawat Ingatan: Tragedi Mei 98


16 Mei 2023


Banyak korban memilih bungkam…
Tidak bisa dipungkiri, selalu ada pengacau yang ingin bermain api…
Dengan kebijakan, program, dan anggaran berkelanjutanlah negara ini hadir membantu korban di tengah peliknya upaya yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu.


Oleh: Theresia Iswarini
Penulis tinggal di Jakarta
Editor: Daniel Kaligis


Gambar: Lembar kelam pemberitaan – bangun-indonesia.


SAYA termasuk orang yg tidak akan lupa Tragedi Mei 98 yang terjadi di Palembang. Masa di mana kekacauan politik berimbas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sama halnya saya tidak lupa harus bolak-balik rumah sakit untuk bapak yang lever, sementara saat yang sama juga harus mendata dan investigasi para korban bersama Tim Relawan untuk Kemanusiaan Palembang.

Itu adalah masa yang secara emosional campur aduk bagi saya. Apalagi beberapa minggu setelah mundurnya Soeharto, bapak berpulang. Saya yang kuat akhirnya patah. Beberapa teman membujuk agar saya tidak tenggelam karena data ditunggu kawan-kawan Jakarta. Urusan pembelaan pun harus dipikirkan karena saya juga masih bekerja sebagai aktivis pengacara saat itu.

Mei 98 di Palembang tidak berbeda jauh dengan yang terjadi di kota-kota lainnya di Jakarta, Medan, Surabaya dan Solo. Sesungguhnya kami dulu pernah beranalisa bahwa Palembang bukanlah target karena kota ini termasuk kecil di Sumatera. Ada yg lebih besar yaitu Tanjung Karang. Tetapi tampaknya besarnya kota bukan issue melainkan keragaman populasi, kohesitas sosial dan agama yang menjadi penentu.

Bagi saya, Palembang menyimpan bara rasial karena etnis tionghoa paling banyak dan sama ekspresifnya dengan suku lainnya. Dengan kegigihan mereka, secara ekonomi memang etnis Tionghoa yang ‘menguasai’ ekonomi perdagangan, sementara etnis lainnya lebih banyak sebagai pekerja. Belum lagi urusan fanatisme agama mayoritas yang terus menguat sementara kebanyakan etnis Tionghoa adalah non-muslim.

Mei 13, 14 dan 15 tahun 1998 adalah situasi mencekam. Kami terus memantau dari tv situasi Jakarta. Sedikit yg bisa dilakukan adalah menghalau barisan demonstrasi saat ada provokasi dari orang-orang yang berteriak ‘bakar gereja’ saat melintasi katedral. Untungnya beberapa kawan yang ada dalam barisan berhasil memoderasi dan mengalihkan perhatian mereka. Tidak bisa dipungkiri, selalu ada pengacau yang ingin bermain api.

Saat kawan-kawan di TRuK Jakarta menginformasikan bahwa ada korban-korban perkosaan, kami mencoba mencari dan mengidentifikasi. Satu laporan indikasi masuk. Pelecehan seksual. Bersama tim dipimpin Romo Bambang kami bergerak mengunjungi keluarga terindikasi. Namun tidak ada informasi valid, keluarga lebih banyak diam dan mengatakan bahwa mereka hanya dijarah dan semua anggota keluarga telah mengungsi ke Singapura.

Soal korban KS ini adalah yang paling rumit. Kami menduga adanya pelecehan seksual tetapi tanpa informasi kami sulit bergerak. Akhirnya kasus ini seolah hanya menjadi mitos di Palembang.

Sementara di Jakarta, korban perkosaan harus berhadapan dengan intimidasi dan ancaman bahkan ketidakpercayaan publik. Terbunuhnya Ita menyurutkan langkah untuk menggali lebih dalam. Dan korban semakin memilih bungkam.

Saat ini, dalam perjalanan kereta menuju bogor, saya mencoba memutar ulang seluruh peristiwa. Terlebih kemarin Komnas Perempuan melakukan memorialisasi di Pondok Rangon. Pertemuan saya dengan keluarga korban, yang terus berjuang mencari keadilan, mengingatkan saya bahwa urusan Mei 98 belum selesai.

Sama halnya dengan pernyataan Presiden atas 12 pelanggaran HAM berat masa lalu yang masih harus diproses lebih jauh. Tim non yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu penting menjadikan suara korban sebagai basis kebijakan dan program pemulihan serta pencegahan. Tentu saja dengan tidak menafikan bahwa jaminan keamanan menjadi hal krusial bagi korban yang menganggap pelaku masih eksis hingga saat ini.

Tragedi Mei 98 tentu tidak terlepas dari persoalan politik saat itu.

Namun memahami bahwa perempuan dan anak terlebih dari kelompok marginal (etnis tertentu, kelompok miskin tertentu) merupakan korban, tidak hanya terdampak melainkan juga target, penting menjadi perhatian.

Merekalah pion’ yang ditumbalkan untuk penundukan mental gerakan sosial saat itu. Oleh karena itu, issue perempuan dan anak dalam konflik adalah isu politik, bukan sekedar risiko politik. Dengan kebijakan, program dan anggaran berkelanjutanlah negara ini hadir membantu korban di tengah peliknya upaya yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu.

Doaku selalu untuk para korban. Panjang umur perjuangan. (*)