17 Agustus 2023
Oleh: Dera Liar Alam
Gambar: Burgemeester Bisschopplein — Berderet tiga tukang sapu di Taman Suropati, Menteng – Jakarta, suatu siang.
KOTA, mana kita sambang derita di bayang tekanan ternyata mewah dalam ingatan.
Berlari dengan lambung ditombak lapar dan kerongkongan nyaris kering sembari menghirup bising di mana-mana. Ruang pagi nan hampa, perempuan-perempuan mengayun sapu memacu memicu hari tanpa bosan mengeruk sisa yang mampu dijangkau ujung.
Kita, di depan meja reot menarikan tuts, mengeja sajak pengembaraan curiga, apriori, mengapa fakir ada di mana-mana dengan raut datar menertawai lukanya tak pernah sembuh.
Lalu nujum menghujam nalar, mesin-mesin telah mengganti hati dan telepati: suatu ambang pagi kita jatuh cinta pada badan dan sekujur tubuh yang ranum segar, kemudian kita berlatih pencak kata untuk saling memuja.
Anak-anak malam jadi dewi dewata. Jadi perahu bahtera berlayar jauh di ambang ufuk, menahan surga yang malu dan berdosa terhadap pengetahuan ganti arah.
Kota, nafas rakyat keparat sekarat. (*)