24 September 2020
Oleh: Daniel Kaligis
Alir arus menepi di bumi asing,
setapak sunyi danau buatan.
Kita bermain kecipak air,
menanti sore pulang mengulang mantra.
Lereng-lereng menabuh gema berulang-ulang.
Rimba, alang-alang, gubuk tua sudah roboh.
Foy-doa, prere, foy-pai, sunding-tokeng, sasando, heo:
angin sapu badai hanyut aroma santalum-album dari pulau sebelah menghisap mantra.
Dramaturgi, fiesta, pemanggil hujan meratapi langit, gunung, awan, lautan, perahu-perahu menjauh. Dewi dewa menitip mantra pada tangis fana bayi: o nea, aida oba tapim anasu, a serla muku salara dumu, so mi amuru, ilu aroko wong tamudu aida amidi…
Anak-anak baca persepsi, doa panjang-panjang.
Kurikulum berbisnis kertas dan mantra, mendaur bimbang pandemi.
Ruang kelas sepi dan mahal, guru-guru berkelekar orientasi kelamin-kelamin bidang studi petualang hilang ibu-bapa leluhurnya oleh mantra…