Wednesday, April 24

Ma Wole Wole Indonesia


02 Juli 2017


Oleh: Daniel Kaligis
Penulis adalah jurnalis penulis


ARTIFICIAL intelligence: thought, selain cahaya, binokuler, teleskop, dan teodolit mempertegas pengawasan di depan mata. Shopping ramai, seperti kebingungan mengapa musim berganti bagai fashion yang melekat di badan untuk dihempas sebagai sisa peradaban. Saya bertanya angkuh pengembaraan, “How are you Sentosa, Tiong Bahru, Maxwell Road, and colorful souvenirs.”

Berbaur dialek bersua di Orchard: ni-kai tou Indonei-sia, indomei waya, halin wana mbanua, Indunesia, traveler itu kaya raya, empirical: it’s based on observation rather than theory, walau, koruptor juga tentunya kaya-kaya dan pasti berpengalaman. Hey, ini dulu nyaku pe cirita di kampung sambil ba makang puji – makang puji bilang kata, torang yang beking tu nama Indonesia. Maar, tu nama itu rupanya so ada taon 1850.

Ni-kai tou Indonei-sia, indomei waya, halin wana mbanua, Indunesia: Kita orang Indonei-sia, ambil semua, bawa ke kampung, Indunesia.

Kata Indonesia, pertama dicetus James Richardson Logan pada Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia – JIAEA, Volume IV tahun 1850, halaman 254: “Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago.” Kutipan ini ada dalam artikel ‘The Ethnology of the Indian Archipelago.

James Richardson Logan konsisten menggunakan kata Indonesia dalam tiap tulisan ilmiahnya sejak ‘The Ethnology of the Indian Archipelago’.

Tapi, siapa Mr. Earl yang disebut Logan? Dia adalah George Samuel Windsor Earl, ahli etnologi berkebangsaan Inggris, pada 1849 bergabung di redaksi JIAEA. Bila berkesempatan, menarik disimak ulasan Earl dalam ‘On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations’. Di situ ia mengajukan dua pilihan, Indunesia atau Malayunesia.

Logan Sumber Foto: Strategi dan Bisnis

SING, nyanyikan: ma wole wole mokan, ung kapal ni kompania.

Ayah pernah mengajariku sebait lagu kebangsaan: berlayar ke tanah jauh, menahan siksa dan sengsara,- value cinta kita.

Indonesia bagi saya, bukan jawaban diskusi ‘teori sistem’ membingkai proklamasi kemarin atau hari ini. Bukan seragam, bukan pakaian, bukan fashion dikenai tempelan pangkat gelar. Negeri itu tak semata kumpulan perkara — soal ritual adat budaya upacara — terangkum terurai dalam misteri suku-suku, bangsa-bangsa, orang-orang, dalam tutur silam terkubur peristiwa, namun kekal. Dia meng’ada’ soul, mukur, dan semua partikel semesta menjaganya.

Indonesia sajak bagi saya: negeri itu pernah tertera babad manakala amuknya meninggi — dia air, samudera, gelombang jilati pasir, merembes tebing, batu, lumpur, akar, menghempas kapar dan kapal, membanting batu-batu.

Dia tutur gema rimba berpayung awan, langit, dan antariksa. Di lain ketika ia teramat teduh, sunyi: cakrawala berkaca di atasnya. Sampan-sampan membayang jauh di garis ufuk, hilang oleh batas-batas global menaruh tanda, seru untuk perang atau damai.

Negeri itu fakta-fakta alir melawan deras merasuk menajam jauh ke rimba kian hari kian tandus, membentuk tanya sekian lama tak mampu dipecah; membiru, seperti luka lebam bangsa ini.

Namun dia benih, tumbuh dan terus tumbuh, selamanya. (*)