
08 Agustus 2025
Dalam kenyataan sosial yang kita hadapi hari ini justeru adalah aksi kolektif kekerasan: aksi pembubaran paksa kegiatan ibadah, pengrusakan rumah ibadah, pengusiran kelompok agama tertentu, kriminalisasi ekspresi keagamaan oleh aparat atau sekelompok warga yang mengklaim diri sebagai mayoritas.
Karena itu, perlu keberanian bahasa dan ketepatan istilah dalam menyebut fenomena ini. Salah satu usulan terminologis yang lebih jujur dan menggugah adalah kejahatan beragama.
Oleh: Denni Pinontoan
Penulis adalah penulis
Mengajar di IAKN Manado
DALAM WACANA publik Indonesia, istilah ‘intoleransi’ telah menjadi semacam kata payung yang digunakan untuk menjelaskan beragam fenomena penolakan terhadap perbedaan keyakinan keagamaan. Mulai dari ujaran kebencian, pelarangan pendirian rumah ibadah, hingga pembubaran paksa ibadah dan serangan fisik terhadap kelompok keagamaan minoritas, semua dikategorikan sebagai bentuk ‘intoleransi’. Namun, apabila kita meninjau lebih cermat baik secara linguistik, historis, maupun sosiologis, istilah ‘intoleransi’ tampaknya sudah tidak memadai lagi untuk menggambarkan tingkat keparahan dari sebagian besar kasus yang kerap terjadi.
Secara etimologis, ‘intoleransi’ berasal dari bahasa Latin ‘intolerantia’, yang berarti ‘ketidaksabaran’ atau ‘ketidaktahanan terhadap perbedaan’. Dalam pengertian ini, intoleransi menggambarkan suatu sikap atau sebuah kondisi psikologis atau pandangan yang menolak keberadaan perbedaan, khususnya dalam hal keyakinan, ekspresi, dan nilai. Sebagai sebuah sikap, intoleransi belum tentu termanifestasi dalam tindakan nyata atau kekerasan. Seseorang dapat bersikap intoleran, tetapi tetap hidup berdampingan secara damai dengan yang berbeda.
Namun dalam kenyataan sosial yang kita hadapi hari ini, seringkali yang disebut ‘intoleransi’ justeru adalah aksi kolektif kekerasan. Misalnya pembubaran paksa kegiatan ibadah, pengrusakan rumah ibadah, pengusiran kelompok agama tertentu, hingga kriminalisasi ekspresi keagamaan oleh aparat atau sekelompok warga yang mengklaim diri sebagai ‘mayoritas’. Dalam konteks seperti ini, penggunaan istilah ‘intoleransi’ menjadi eufemistik, bahkan berpotensi menutupi realitas kekerasan yang sedang berlangsung. Dengan menyebutnya sekadar ‘intoleransi’, kita menyamarkan fakta bahwa telah terjadi pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia, khususnya hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Lebih tepat jika tindakan-tindakan tersebut dikategorikan sebagai: Pertama — Tindak kekerasan berbasis agama karena melibatkan serangan fisik terhadap kelompok tertentu karena identitas keyakinan mereka; Kedua — Diskriminasi keagamaan, terutama bila dilakukan atau difasilitasi oleh negara atau aparat, dengan cara yang tidak adil terhadap kelompok minoritas; Ketiga — Persekusi, yaitu penindasan sistematis terhadap kelompok tertentu atas dasar agama atau keyakinan.
Bahkan bisa disebut sebagai kejahatan kebencian – hate crime – jika tindakan tersebut dilandasi oleh kebencian identitas dan mengarah pada pelanggaran hukum.
Berkaca pada kasus-kasus seperti pelarangan jemaat beribadah di rumah sendiri, penolakan pendirian rumah ibadah kelompok agama tertentu meski telah memenuhi syarat administratif, atau pembiaran oleh aparat terhadap massa yang mengintimidasi kelompok agama minoritas, maka penyematan istilah ‘intoleransi’ justeru melemahkan posisi korban dan mengaburkan dimensi kekerasan struktural dan sistemik yang terjadi. Istilah itu tidak cukup menegaskan bahwa korban tidak hanya ditolak secara sosial, tetapi dilukai, diintimidasi, dikriminalisasi, dan dihambat hak konstitusionalnya.
Karena itu, perlu keberanian bahasa dan ketepatan istilah dalam menyebut fenomena ini. Salah satu usulan terminologis yang lebih jujur dan menggugah adalah ‘kejahatan beragama’. Istilah ini bukan hanya menandai pelanggaran hukum terhadap hak kelompok agama, tetapi juga menunjuk pada cara beragama yang hal itu sendiri menjadi sumber kekerasan, yakni ketika agama dijadikan justifikasi untuk menyerang, mengintimidasi, dan menyingkirkan hal-hal yang berbeda. Kejahatan beragama bukan berarti kejahatan terhadap agama, melainkan kejahatan atas nama agama terhadap sesama manusia.
Dengan demikian, penggantian istilah dari ‘intoleransi’ ke ‘kejahatan beragama’ — atau istilah lain seperti persekusi agama, kekerasan atas dasar iman, dan pelanggaran kebebasan beragama —
merupakan langkah konseptual yang penting. Ia menegaskan bahwa yang kita hadapi bukan semata soal perbedaan opini atau cara pandang, melainkan persoalan pelanggaran hak dan martabat manusia yang harus ditindak tegas dalam kerangka hukum dan keadilan sosial.
Kita perlu mengidentifikasi realitas dengan bahasa yang lebih merepresentasi kenyataan sesungguhnya. Bahasa adalah cara kita mengkomunikasikan realitas, dan melalui bahasa kita pula dapat memproyeksikan cara yang lebih baik untuk mencari jalan keluar yang lebih adil. (*)
01 Agustus 2025
sans ordonnance kamagra pharmacie emplette contre
pharmacies canadiennes sans ordonnance kamagra
buying enclomiphene usa suppliers
order enclomiphene canada generic
order 5 pills of androxal
get androxal purchase online canada
purchase dutasteride generic mexico
how to buy dutasteride no rx needed
how to buy flexeril cyclobenzaprine canada online order
flexeril cyclobenzaprine pills canadian healthcare
buy gabapentin generic pricing
buy gabapentin generic best price
cheap fildena generic in us
buy cheap fildena generic vs brand name
ordering itraconazole generic real
comprar itraconazole en chile
compare staxyn prices
ordering staxyn without rx online
online order avodart purchase online safely
buy cheap avodart generic london
buy xifaxan australia discount
online xifaxan canada
order rifaximin without prescription from us pharmacy
online order rifaximin canadian pharmacy no prescription
nakupujte levné kamagra bez lékařského předpisu
kanadská lékárna kamagra