Saturday, September 14

Khotbah Merdeka dalam Laknat Miskin Ekstrem


17 Agustus 2024


Oleh: Dera Liar Alam


DI DEPAN halaman rumah, kami menanam bendera tanpa diawali upacara. Pepohon berbaris, orang-orang menaikan tali, mereka menggantung spanduk kampanye, memaku pohon. Atribut robek dan lama masih terpajang di berapa titik. Seperti ingatan tanah leluhur, nyiur diterpa badai, atribut kampanye menempel di banyak sudut kota, direkat juga di dahan cengkih di tepi jalan-jalan wanua, ditancap di tiang-tiang memaki langit nan biru berawan. Puluhan tahun memikirkan kemerdekaan sambil berkhayal sepiring hidangan makan siang, nasi bercampur sayur ikan dabu-dabu pedas lilang dan sosialisasi aparatur yang melenceng dari realita.

Daftar nama penerima manfaat bantuan miskin telah didrive jari tukang tulis data dan angka. Proyek kemiskinan telah jadi proposal panjang yang saban tahun dimodifikasi semau kepentingan. Saya menandainya, “Merdekakanlah mindset, merdeka nyonya dan tuan. Semua kelamin dilahirkan ibu bumi yang perempuan, lalu dogma memangkasnya dengan demoskratos paternalist kapitalis. I yayat u santi.” Tercatat di Badung, Bali, 16 Agustus 2020.

Suatu ketika mencatat resume, Bumi Lorosae suatu siang terik, menenteng mimpi kelana semalam lintasi Boentuka, Karang Siri, Miomaffo Timur, Naibenu, lalu tiba di Insana Utara. Desir musim berganti sabana tropis mendesau ketika saya ngobrol dengan Deddy, kawan pengawal di sana, di batas Wini. Berbincang berapa ketika, lalu sirih-pinang, ikan bakar, dan moke dihidangkan. Kita di tenggara, tatapan saya tertuju gugus nusa terhalang kabut samudera lepas maha luas di mana terserak Alor, Pantar, Atauro, Wetar. Di situ derai asin sambungkan Laut Banda di utara  ke arah Laut Sawu di barat daya. Semalam, kawan di negeri seberang menulis kisah listrik padam, angin, redup cahaya lilin, pemanas air di atas tungku, dan dongeng naga. Melupa konflik keras dan brutal pernah menyala di sejumlah titik, korbannya adalah para perempuan, kemanusian, dan jiwa-jiwa merdeka dipasung dogma. Lupa, lupakan saja. Walau tentu ini data pembangunanisme, saya catat medio 2022, di Numbey, Pante Macassar, Oecussi, di batas Timor Leste.

Dan pada simbol angka dan gambar serta gerakan video itu kita mengancungkan sanjung, miskin ekstrem ditampar regulasi dan peran kejam ternyata belum cukup: karena merdeka ternyata mesti berjuang mesti direbut dengan kuat sendiri dan atau bersama-sama dengan mereka yang peduli saja. Kita ulangi, miskin ekstrem ditampar oknum penyelenggara laknat ada di berbagai titik. Padahal, angka dan gambar serta gerak memuja ratifikasi negeri ini pada Convention Against Torture, larangan penyiksaan fisik, mental, perlakuan penghukuman kejam, tak manusiawi, merendahkan martabat manusia. Tetap, rakyat umat disuruh bangga, disorong-sorong ke ruang sosialisasi mimpi angka-angka imajinasi yang sekian zaman telah merantai mindset merdeka itu.

Enggan, pikiran, tangan, kaki, penyelenggara kuasa untuk sambangi miskin ekstrem. Nusantara Baru, begitu khotbah sang Kuasa, katanya, “Saya yakin dan sangat percaya, bahwa saya tidak sendirian. Ada cita-cita dan harapan masyarakat, ada dukungan dan doa dari rakyat yang selalu mengiringi dan menguatkan.”

Bangga, tentu: “Kita telah mampu membangun sebuah fondasi dan peradaban baru dengan pembangunan yang Indonesia sentris. Membangun dari pinggiran, membangun dari desa dan membangun dari daerah terluar.” Para haus-lapar telah dijamu pesta perebutan tahta gamang bergemuru dalam derap politik otoriter, nepotism dibungkus regulasi. Dalam ruang itu partai berkelahi berperkara, semua mau jadi pemeggang kuasa. Rakyat menonton sambil bingung. Calon-calon dropping Jakarta, pusat kuasa yang juga riuh memainkan amarah demokrasi tersunat keputusan-keputusan laknat pergulatan di orde lampau. Politik mahal dan makan biaya, gampang dimanipulasi proyek-proyek bengkak anggaran sebab dimark-up kepentingan segelintir oknum laknat.

Miskin ekstrem itu ada dalam mindset yang secara sengaja dicipta. Penghiburan angka-angka: “Sehingga sampai saat ini kita telah membangun tiga ratus enam puluh enam ribu kilometer jalan desa, membangun satu juta sembilan rarus meter jembatan desa, membangun dua ribu tujuh ratus kilometer jalan tol baru, membangun enam ribu kilometer jalan nasional, membangun lima puluh  pelabuhan dan bandara baru, membangun empat puluh tiga bendungan dan ada satu juta seratus hektar jaringan irigasi baru.” Terhibur? Tentu!

Pembangunanisme yang jadi bom-waktu sebab tak diimbangi perluasan wawasan ilmu dan moral. Etik dipangkas pedang regulasi yang memungkinkan syaraf terus bermimpi, enggan terjaga dari laknat hukum yang hanya tajam memenjara siapa yang tak kuasa membayar.

Sudahi khotbah, sepotong estorie tanah merdeka, rindu yang usang: Doa panjang, dalam keranjang! Di Pandawa Beach, 2019, kenang Agustus ramai telah lewat berapa punama, namun masih menyala: Padahal, inilah belenggu, inilah rantai jiwa-jiwa memerkosa nafsi bayang-bayang ekonomi politik taktik-taktik. Mimpi bukit-bukit telanjang, misteri liang-liang karang di Secret Beach, tahun-tahun nan gamang. Lalu kita tertidur dalam lupa. Doa panjang-panjang tidak mempan mengusir banjir longsor bencana, bila got selokan tersumbat plastik, pemikiran sempit, dan pembangunanisme korup.

Masih sama hari ini manakala para kuasa memandangi upacara mewah dan ramai, rindu khotbah merdeka yang selaras implementasi. Enyah miskin ekstrem, enyah miskin pemikiran dengan terus melebarkan wawasan dan ilmu. Begitu. (*)