Thursday, April 17

Keberadaan Tuhan, Imajinasi Manusia, dan Kecerdasan Buatan (AI)


09 April 2025


Mengapa harus berbuat baik jika akhirnya sengsara?
Jika kita berpikir dengan akal budi praktis tentu hal seperti ini tidak bisa diterima.

Tuhan tidak bisa hanya menjadi sekadar kebenaran material atau fakta historis literal.
Manusia akan kalah dari AI jika masih tetap berpikir secara dogmatis tentang Tuhan.


Oleh: Dave Tielung


MENGAPA Tuhan ‘Harus Ada’ Menurut Kant?

Bayangkan: Pak Budi, seorang guru yang hidup jujur, penuh welas asih, dan mendedikasikan hidupnya untuk mencerdaskan anak bangsa. Namun ia sendiri terus menerus menderita — hidup dalam keterbatasan ekonomi, difitnah, sakit-sakitan — kemudian meninggal tanpa melihat cita-cita luhurnya sepenuhnya terwujud atau mendapat penghargaan yang layak. Di sisi lain, Pak Hartono, seorang pejabat korup hidup bergelimang harta dan kekuasaan hasil menyelewengkan jabatannya.

Jika dunia ini adalah satu-satunya realitas yang ada, tindakan Pak Budi tampak sia-sia bahkan irasional. Mengapa harus berbuat baik jika akhirnya sengsara? Jika kita berpikir dengan akal budi praktis tentu hal seperti ini tidak bisa diterima. Dalam filsafat Kant, akal budi praktis tidak hanya memerintahkan kita untuk berbuat kebajikan tetapi juga untuk mengupayakan ‘Kebaikan Tertinggi’ (summum bonum), yaitu kesatuan sempurna antara kebajikan (virtue) dan kebahagiaan yang sepadan. Namun, karena di dunia ini kesatuan itu tidak terjamin, akal budi praktis ‘menuntut’ kita untuk mengasumsikan [mempostulatkan] kondisi yang memungkinkannya, yaitu eksistensi Tuhan sebagai penjamin akhir keselarasan. Hal ini diperlukan agar akal budi itu sendiri menjadi tidak menjadi sia-sia atau kontradiktif. Kita menuntut adanya harapan bahwa kebajikan Pak Budi itu bermakna dan pada akhirnya akan menemukan ganjaran yang setimpal. Sementara itu kejahatan Pak Hartono tidak akan lolos begitu saja. Tuntutan akan keadilan dan makna moral inilah yang membuat asumsi adanya Tuhan (sebagai penjamin summum bonum) menjadi sebuah ‘konsekuensi logis’ bagi nalar praktis kita. Itu adalah suatu ketentuan regulatif bukan konstitutif.

Bagi Kant, kita tidak bisa membuktikan keberadaan Tuhan secara empiris melalui sains atau logika murni (akal budi teoretis). Tuhan adalah postulat atau asumsi niscaya bagi akal budi praktis kita. Mengapa? Agar tindakan moral seperti contoh diatas dapat memiliki makna. Kita perlu harapan rasional bahwa kebaikan atau keutamaan (virtue) pada akhirnya akan selaras dengan kebahagiaan (happiness) dalam sebuah summum bonum. Tanpa harapan ini, perjuangan moral akan menjadi absurd dan sia-sia secara rasional.

Kant secara teknis menyebut Tuhan sebagai ‘penyebab cerdas’ (Intelligente Ursache) dalam konteks postulat ini. Istilah ‘cerdas’ ini krusial karena peran Tuhan dalam sistem moral Kant membutuhkan entitas yang tidak hanya punya kekuatan kausal, tapi juga bertindak dengan tujuan (Zweckmäßigkeit) dan pemahaman rasional. Mengapa? Karena untuk menjamin keselarasan sempurna antara kebajikan dan kebahagiaan itu diperlukan ‘penyebab’ yang bisa menghubungkan kebajikan dan kebahagiaan. Mekanisme hukum alam yang buta tidak peduli pada moralitas dan kebahagiaan manusia. Oleh karena itu, hanya ‘penyebab cerdas’ yang bisa mewujudkannya lewat: PERTAMA – Menilai kebajikan berdasarkan maksim moral, bukan karena hasil keteraturan hukum fisika. KEDUA – Mengatur keadilan agar kebahagiaan sepadan dengan kebajikan, yang membutuhkan kehendak yang disengaja. KETIGA – Melampaui alam fisik untuk menjamin keselarasan inti ini. Tanpa kecerdasan ini, jaminan summum bonum akan runtuh. Dengan demikian perintah moral akal budi praktis menjadi absurd secara mutlak. Meski terpengaruh tradisi rasionalis (seperti Leibniz), Kant membatasi ini sebagai postulat praktis, bukan klaim pengetahuan teoretis tentang hakikat Tuhan.

Kemampuan mempostulatkan sesuatu yang non-empiris demi koherensi makna atau moralitas inilah yang membedakan kita dari kecerdasan buatan (AI) saat ini. AI (seperti machine learning atau LLM) bekerja menganalisis pola statistik dalam data masif. Tanpa data ‘Tuhan’ atau korelasi kuat dengan kebutuhan moral, AI sulit memahami mengapa konsep itu ‘harus ada’. Logikanya berbasis frekuensi data, bukan pada keniscayaan normatif.

Filsuf teknologi Yuk Hui menjelaskan perbedaan intelegensi manusia dan AI lewat bagaimana keduanya berhadapan dengan infinitas. AI, terutama yang berbasis machine learning, beroperasi dalam ranah ketakterhinggaan matematis/komputasional. Hui (terinspirasi dari Leibniz) menjelaskan bahwa AI mengolah data (seperti matriks gambar) secara rekursif kemudian ‘membungkus’ yang tak terbatas dalam kode atau algoritma terbatas. Dengan itu AI bisa mengolah infinitas namun hanya terbatas pada jenis infinitas matematis/algoritmik dengan mengurai bentuk desimal untuk bisa mendekati pada ketakterhinggaan.

Sebaliknya, imajinasi manusia berhubungan dengan ketakterhinggaan estetis, filosofis, dan eksistensial. Merujuk pada Kant dengan konsep sublime nya, manusia mengalami batasan imajinasi ketika berhadapan dengan perasaan kagum atas ‘kebesaran’ yang melampaui dirinya. Ini bukan sekedar kalkulasi kuantitatif tapi melibatkan perasaan dan kesadaran rasional atas limitasinya sebagai mahluk fana. Mengikuti Schiller, Hui mengatakan seni adalah cara untuk mendamaikan kontradiksi finite/infinite melalui kebebasan imajinasi. Merujuk pada pemikiran Timur serta mendapat inspirasi dari Lyotard (tentang konsep unpresentable), Hui berpendapat bahwa manusia berpotensi melakukan ‘lompatan’ atau ‘jalan masuk melampaui citra’ (passage beyond the image) menuju yang tak terbatas. Konsep ‘lompatan’ atau ‘jalan masuk’ ini secara fundamental membedakan cara imajinasi manusia berinteraksi dengan ketakterhinggaan dibandingkan AI. Seni dalam pandangan ini berfungsi sebagai pemicu atau portal menuju pengalaman akan yang tak terbatas yang melampaui representasi semata.

Dalam interpretasi Hui atas pemikiran Timur, seni seperti lukisan lanskap Tiongkok (Shanshui) menjadi jalan masuk langsung menuju noumenon atau harmoni kosmos yang melampaui penggambaran mimetik. Ini dapat dimungkinkan dengan menghadirkan gagasan kekosongan atau penekanan pada ‘ground’. Hal Ini bisa difasilitasi oleh apa yang disebut Mou Zongsan sebagai ‘intuisi intelektual’. Sementara itu, Lyotard mengungkapkan bagaimana seni modern atau avant-garde, melalui konsep unpresentable dapat menghadirkan fakta bahwa ada sesuatu [sensasi murni atas kehadiran] yang tak dapat direpresentasikan oleh bentuk (form) maupun gagasan. ‘Lompatan melampaui citra’ ini adalah metafora untuk kapasitas kualitatif dan eksperiensial manusia yang melibatkan kesadaran, perasaan, serta intuisi yang berbeda dari cara pemrosesan data AI yang terikat pada representasi. Singkatnya, AI unggul dalam mengolah infinitas numerik, sementara imajinasi manusia melampaui komputasi, melibatkan pengalaman yang terbatas, pendamaian kontradiksi, dan potensi ‘lompatan’ melampaui representasi. ‘Imajinasi’ artifisial hanya mampu mengolah gagasan ketidakterhinggaan secara mematematis’, sementara kreativitas manusia memiliki kemampuan untuk mencari jalan lain melampaui batasan representatif. Di sinilah peran dari iman itu! Iman bukanlah suatu bentuk korespondnsi atas pengetahuan tapi merupakan pengalaman konkret atas sesuatu yang tidak bisa di demonstrasikan dalam dunia empiris. Iman hadir untuk dapat menerima kontradiksi non rasional. Itulah sebabnya manusia dapat mengalami pengalman subjektif seperti pengalaman mistis dimana subjek dapat melebur bersama kekosongan sekaligus ketidakterhinggaan.

Oleh karena itu, alih-alih melihat AI hanya sebagai ancaman ataupun tujuan akhir, Hui mengajak kita untuk berpikir secara organologis: manusia dan teknologi selalu saling membentuk. Potensi kolaborasi dengan AI dalam pandangan ini jauh melampaui sekadar efisiensi komputasi. Interaksi organologis antara manusia dan mesin justru membuka peluang untuk mengasah kembali pendidikan estetis dan kepekaan kita dalam menghadapi derasnya arus informasi digital. Lebih jauh lagi, kolaborasi ini bisa melahirkan kemungkinan artistik baru, di mana teknologi AI tidak hanya menghasilkan citra, tetapi justru digunakan secara kreatif untuk memfasilitasi ‘lompatan melampaui citra’ — menuju pengalaman dan makna yang lebih dalam. Pada akhirnya, alih-alih mengejar satu singularitas teknologi, interaksi ini diharapkan dapat mendorong keragaman berpikir (noodiversity) yang esensial untuk menghadapi tantangan zaman yang kompleks. Bukan tidak mungkin kolaborasi ini dapat menghasilkan pengalaman spiritual yang baru.

PERINGATAN PENTING

Konsep Tuhan yang dogmatis seringkali memaksa kita untuk menerima Tuhan sebagai fakta empiris. Ini adalah kesalahan kategoris (meminjam istilah filsafat Ryle) yang mereduksi spiritualitas — dengan kekayaan makna simbolik, pengalaman personal (qualia), dan misteri. Paul Tillich menyebut Tuhan sebagai ‘Dasar dari Keberadaan’ bukan suatu keberadaan. Tuhan tidak bisa hanya menjadi sekadar kebenaran material atau fakta historis literal. Model ini rentan eksploitasi kekuasaan. Ketika ‘kebenaran ilahi’ diikat pada ‘bukti’ material atau interpretasi teks yang bisa dikontrol oleh institusi tertentu, ia menjadi alat kekuasaan untuk membentuk wacana dominan, mendisiplinkan tubuh, dan mengontrol perilaku. Siapa yang mengontrol narasi ‘bukti’ material, dia-lah yang bisa mengontrol ‘kebenaran’ itu.

Manusia akan kalah dari AI jika masih tetap berpikir secara dogmatis tentang Tuhan. Jika kita mereduksi makna, etika, dan spiritualitas hanya pada data material, maka kita sedang mengadopsi pandangan komputasionalisme ekstrem yang menyamakan pikiran dengan pemrosesan informasi belaka. Kita harus sadar bahwa keunggulan unik kita terletak pada pemahaman kontekstual (hermeneutics), kesadaran subjektif, kecerdasan yang menubuh (embodied cognition), imajinasi yang sanggup melakukan postulasi makna atau penalaran praktis (seperti dibahas oleh Kant) yang melampaui kalkulasi, serta lompatan yang melampau citra dalam menghadapi batasan kekekalan sebagaimana gagasan Hui. Saya khawatir jika kita akhirnya tetap kekeh ingin Tuhan itu menjadi kebenaran empiris maka suatu hari kelak AI akan sanggup untuk menghadirkannya. Inilah cita-cita dari kaum transhumanisme. Tuhan pada akhirnya akan menjadi data yang absolut yang teralienasi dari kuasa misteriusNya. (*)


06 April 2025