Friday, November 8

Kasus Mafia Tanah – Target 2021: 89 atau ‘86’


21 Mei 2021


Oleh: Stevie Sumendap
Editor: Parangsula


PERINTAH Joko Widodo, Presiden Indonesia: berantas mafia tanah. Gayung bersambut, Jenderal Polisi Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si, Kapolri, nyatakan dukungan penuh pada upaya pemerintah untuk memberantas mafia tanah.

Berantas terus didengungkan aparat negara dan para tokoh, ‘lawan mafia tanah’, katanya.

H. Bambang Soesatyo, S.E., M.B.A, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, angkat suara Februari silam, “Kita tidak bisa terus membiarkan kasus mafia tanah terus terjadi. Mafia tanah harus diberantas untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat — berantas mulai dari korporasi, broker tanah, makelar, penyandang dana, hingga aparat pemerintah bila terbukti terlibat.” Seperti itu ditulis Imam Budilaksono di antaranews.com, 17 Februari 2021, dalam tajuk ‘Ketua MPR Dukung Presiden Jokowi Berantas Mafia Tanah’.

Berdasarkan data dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang – Badan Pertanahan Nasional, dari tahun 2015 hingga tahun 2020, ada sembilan ribu lima ratus kasus pertanahan: sengketa tanah dan konflik tanah — yang didata Direktorat Jenderal Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan.

Ternyata ada target kasus mana yang akan diselesaikan, sesuai prioritasnya. Brigjen. Pol. Andi Rian R Djajadi, S.I.K., M.Si., Dirtipidum Bareskrim Polri, mengatakan hasil verifikasi secara keseluruhan antara Kementerian Agraria dan Tata Ruang – Badan Pertanahan Nasional dan Kepolisian Republik Indonesia, telah diterapkan target penanganan mafia tanah sebanyak 89 kasus, menjadi prioritas di tahun 2021.

Berlomba Miliki Tanah

Urusan sengketa dan konflik tanah, disebut Direktorat Jenderal Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan, bahwa, Kementerian ATR/BPN harus siap menangani kasus pertanahan, dimulai dari menentukan status tanah sampai pengambilan keputusan.

Ditulis di situs atrbpn.go.id., beda persepsi terhadap status tanah menyebabkan sengketa tanah di masyarakat. “Sengketa dan konflik pertanahan yang terjadi karena orang-orang berlomba-lomba bisa mempunyai tanah dengan cara apapun. Kalau bisa kita definisikan, sengketa itu merupakan perbedaan persepsi antara dua atau lebih orang atau badan hukum atau pemerintah dengan pihak lain terhadap satu status tanah, status penguasaaan maupun status kepemilikan atau status keputusan tertentu yang diterbitkan oleh BPN, menimbulkan ketidakpuasan suatu pihak sehingga menimbulkan sengketa,” kata R.B. Agus Widjayanto, Direktorat Jenderal Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan, ketika membuka Diklat Mediasi Pertanahan Tingkat I, melalui video conference, Selasa, 23 Februari 2021, yang lalu.

Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, katanya sudah disosialisasikan. Apakah sosialisasi itu sudah diketahui masyarakat luas? Benarkah masyarakat sudah paham hak-hak mereka terkait tanah dan tempat di mana mereka melangsungkan kehidupannya?

Menteri Agraria dan Tata Ruang Indonesia, Dr. Sofyan A. Djalil, S.H., M.A., M.ALD, medio Desember 2020, ketika memberikan sambutan usai mengambil sumpah Majelis Pembina dan Pengawas PPAT Pusat (MPPP) dan Majelis Pembina dan Pengawas PPAT Wilayah (MPPW) di Aula Prona lantai 7 Gedung Kementerian Agraria dan Tata Ruang – Badan Pertanahan Nasional, menegaskan yang mana pemerintah saat ini berkomitmen memerangi mafia tanah dan di sana peran PPAT diperlukan dalam memerangi mafia tanah. “Mafia tanah harus diperangi, di samping kita perbaiki sistem seperti pendaftaran tanah dan lain-lain. Pada saat ini banyak praktik ditengarai sebagai praktik mafia tanah yang merugikan masyarakat. Di sini PPAT cukup berperan, di samping BPN. Maka jajaran BPN terus tingkatkan disiplin, makin meningkatkan kualitas dalam pekerjaan.” Demikian ditulis situs atrbpn.go.id.

Terungkap dan Tertangkap

Lalu, apa langkah yang sudah diambil untuk memerangi mafia tanah? Potret sengketa, saban tahun ada ribuan kasus tercatat dan didata, cukup memberi gambaran ringkas bahwa regulasi belum sepenuhnya dikenal masyarakat dan aparat pelaksana — dengan segala tetek-bengek urusan kepentingan yang ada di dalamnya.

Tahun 2019, Irjen Nana Sudjana, Kapolda Metro Jaya, menangkap sepuluh tersangka yang terlibat pemalsuan sertifikat tanah yang berlokasi di Jl. Brawijaya III No. 12, Jakarta Selatan. E-KTP palsu, serifikat palsu, notaris palsu, teman palsu, penjual pembeli abal-abal, penyamaran, trik, dan seterusnya. Dalam kasus sindikat mafia tanah di ibukota negara itu kerugiannya ditaksir senilai 85 miliar rupiah.

Dalam kasus mafia tanah di Jakarta Selatan 2019 itu, sebagaimana ditulis Cantika Adinda Putri, wartawan CNBC Indonesia, 12 Februari 2020, para tersangka dijerat Pasal 263 KUHP dan atau Pasal 264 KUHP Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke (1) KUHP dan atau Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2010 Pasal 3, 4, 5 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Dalam artikel sebelumnya saya cantumkan kasus mafia tanah di Kalimantan Barat – dengan nilai kerugian sekitar 1 triliun rupiah. 🖇 Baca di: Jalankan Amanat Berantas Mafia Tanah. Sebagaimana ditulis Hendra Cipta, Kontributor KOMPAS.com di Pontianak, Kombes Luthfie Sulistiawan, Direktur Reskrimum Polda Kalimantan Barat, menerangkan, dalam perkara tersebut, ditemukan 147 warkah atau dokumen alat pembuktian data fisik dan data yuridis lahan untuk dipergunakan sebagai dasar pendaftaran tanah; ada 147 buku tanah lokasi di desa Durian; ada 11 lembar sertifikat hak milik; dan satu buah buku register pengantar KTP. Polisi juga tengah mengembangkan adanya potensi penyalahgunaan wewenang dalam proses ajudikasi.

Kasus di Kalimantan Barat, disebut yang mana ada sekitar dua ratus hektar lahan yang dikuasai mafia tanah. Oknum kepada desa dan pegawan BPN Kubu Raya diduga terlibat, empat orang dinyatakan tersangka.

Laste

Sejumlah judul menggelitik: ‘Mafia Tanah Lari Ke Luar Negeri’, ‘Palsukan Surat Tanah, Eks Pegawai BPN dan Kades di Kubu Raya Ditangkap Polisi’, ‘Warga Korban Mafia Tanah di Tangerang Tuntut Perintah Eksekusi Dicabut’, ‘Pecat Aparat yang Terlibat’, “Sertifikat Ganda’, dan seterusnya.

Boleh hitung berapa banyak yang diungkap dan tertangkap. Masyarakat tetap berharap aparat kerja maksimal, jangan janji-janji saja.

Ada target prioritas untuk tahun ini dalam penanganan kasus mafia tanah. Dengan sejumlah pertanyaan, bagaimana gerak satgas mafia tanah, seperti apa implementasi program di daerah-daerah. Saya ada di Sulawesi Selatan, membaca, mendengar, berdiskusi dengan sejumlah pihak, bertukar opini dengan masyarakat. Untuk Indonesia semakin maju, maka rakyat akan terus bersuara, menuntut hak-hak yang seharusnya menjadi bagiannya, termasuk menuntut ruang di mana masyarakat, yakni rakyat, dan kita sekalian agar beroleh kepastian terhadap tanah di tanah air ini. (*)