Tuesday, April 30

Jangan-jangan Saya sendiri juga Malling


21 Juni 2022


Karya: Taufiq Ismail
Dibaca Deddy Mizwar
Oasis, 19 Juni 2010



Orang Beken Baca Puisi – Foto Mirza Ichwanuddin

KITA hampir paripurna menjadi bangsa porak-poranda, terbungkuk dibebani hutang dan merayap melata sengsara di dunia. Penganggur 40 juta orang, anak-anak tak bisa bersekolah 11 juta murid, pecandu narkoba 6 juta anak muda, pengungsi perang saudara 1,5 juta orang, VCD koitus beredar 25 juta keping, kriminalitas merebak di setiap tikungan jalan dan beban hutang di bahu 1600 trilyun rupiahnya.

Pergelangan tangan dan kaki Indonesia diborgol di ruang tamu Kantor Pegadaian Jagat Raya, dan di punggung kita dicap sablon besar-besar: Tahanan IMF dan Penunggak Hutang Bank Dunia.

Kita sudah jadi bangsa kuli dan babu, menjual tenaga dengan upah paling murah sejagat raya.

Ketika TKW-TKI itu pergi lihatlah mereka bersukacita antri penuh harapan dan angan-angan di pelabuhan dan bandara, ketika pulang lihat mereka berdukacita karena ada majikan mungkir tidak membayar gaji, banyak yang dirotan disiksa malah diperkosa dan pada jam pertama mendarat di negeri sendiri diperas pula.

Negeri kita tidak merdeka lagi, kita sudah jadi negeri jajahan kembali. Selamat datang dalam zaman kolonialisme baru, saudaraku. Dulu penjajah kita satu negara, kini penjajah multi-kolonialis banyak bangsa.

Mereka berdasi sutra, ramah-tamah luarbiasa dan berlebihan senyumnya. Makin banyak kita meminjam uang mereka makin gembira karena leher kita makin mudah dipatahkannya.

Di negeri kita ini, prospek industri bagus sekali. Berbagai format perindustrian, sangat menjanjikan, begitu laporan penelitian. Nomor satu paling wahid, sangat tinggi dalam evaluasi, hari depannya penuh janji, adalah industri korupsi.

Prosedur investasi industri korupsi tidak dipersulit birokrasi sama sekali, karena iklim kondusif, banyak fihak partisipatif, cerah secara prospektif, sehingga sangat atraktif, pasti produktif, semangatnya kreatif, dan terhadap mereka yang reaktif dan negatif, akan dipasang penangkis kuda-kuda antisipatif.

Shareholder, stakeholder dan keyholder industri korupsi ini lebar sekali, meliputi semua potongan hidung — pesek dan mancung —, lalu bentuk mata – sipit dan membuka —, visi dan misi, kelompok politisi, praktisi ekonomi seluas-luas profesi, dipayungi oleh kroni, hubungan famili, ikatan ideologi, suku itu dan ini dari mana saja provinsi.

Apalagi di negeri kita lama sudah tidak jelas batas halal dan haram, ibarat membentang benang hitam di hutan kelam jam satu malam.

Bergerak ke kiri ketabrak copet, bergerak ke kanan kesenggol jambret, jalan di depan dikuasai maling, jalan di belakang penuh tukang peras, yang di atas tukang tindas.

Untuk bisa bertahan berakal waras saja di Indonesia hari ini, sudah untung. Penamaan koruptor sudah tidak menggigit lagi kini, istilah korupsi sudah pudar dalam arti. Lebih baik kita memakai istilah malling. Malling dengan dua el, membedakannya dari maling dengan satu el.

Lihatlah para malling itu kini mencuri secara berjamaah. Mereka bersaf-saf berdiri rapat, teratur berdisiplin dan betapa khusyu’. Begitu rapatnya mereka berdiri susah engkau menembusnya. Begitu sistematik prosedurnya tak mungkin engkau menyabotnya. Begitu khusyu’nya, engkau kira mereka beribadah. Kemudian kita bertanya, mungkinkah ada malling yang istiqamah?

Lihatlah jumlah mereka, berpuluh tahun lamanya, membentang dari depan sampai ke belakang, melimpah dari atas sampai ke bawah, tambah merambah panjang deretan saf jamaah. Jamaah ini lintas agama, lintas suku dan lintas jenis kelamin.

Bagaimana melawan malling yang mencuri secara berjamaah? Bagaimana menangkap malling yang prosedur pencuriannya malah dilindungi dari atas sampai ke bawah? Dan yang melindungi mereka, ternyata, bagian juga dari yang pegang senjata dan yang memerintah. Bagaimana ini?

Tangan kiri jamaah ini menandatangani disposisi MOU (Memorandum of Understanding) dan MUO (Mark Up Operation), tangan kanannya membuat yayasan beasiswa, asrama yatim piatu dan sekolahan.

Kaki kiri jamaah ini melakukan studi banding pemerasan dan mengais-ngais upeti ke sana ke mari, kaki kanannya bersedekah, pergi umrah dan naik haji. Otak kirinya merancang prosentase komisi pembelian, pembobolan bank dan pemotongan anggaran, otak kanannya berzakat harta, bertaubat nasuha dan memohon ampunan Tuhan.

Bagaimana caranya melawan malling begini yang mencuri secara berjamaah? Jamaahnya kukuh seperti benteng kraton, tak mempan dihantam gempa dan banjir bandang, malahan mereka juru tafsir peraturan dan merancang undang-undang, penegak hukum sekaligus penggoyang hukum, berfungsi bergantian.

Bagaimana caranya memroses hukum malling yang jumlahnya ratusan ribu, bahkan kini sudah jutaan, cukup membentuk sebuah negara mini, meliputi mereka yang pegang kendali perintah, eksekutif, legislatif, yudikatif dan dunia bisnis, yang pegang pestol dan mengendalikan meriam, yang berjas dan berdasi. Bagaimana caranya?

Mau diperiksa dan diusut secara hukum? Mau didudukkan di kursi tertuduh sidang pengadilan? Mau didatangkan saksi-saksi yang bebas dari ancaman? Hakim dan jaksa yang steril bersih dari penyuapan? Percuma. Buang tenaga. Seratus tahun pengadilan, setiap hari 12 jam dijadwalkan Insya Allah tak akan habis, tak akan terselesaikan. Dua puluh presiden kita turun dan kita naikkan, masalah ruwet kusut ini tak habis teruraikan.

Kita selama ini sudah terperangkap, terjerembab, terikat, terjerat dalam sistem yang kita sendiri buat, sistem yang ruwet, kusut, keriting dan berbelit sangat, yang dari padanya, rakyat tidak mendapat manfaat. Dan karena kita semua terlibat, merubahnya seperti kita tak lagi dapat.

Jadi, saudaraku, bagaimana caranya? Kita harus membujuk mereka. Bagaimana caranya supaya mereka mau dibujuk, dibujuk, dibujuk agar bersedia mengembalikan jarahan yang bertahun-tahun dan turun-temurun sudah mereka kumpulkan. Kita doakan Allah membuka hati mereka, terutama karena terbanyak dari mereka orang yang shalat juga, orang yang berpuasa juga, orang yang berhaji juga, orang yang melakukan kebaktian di gereja, pergi ke pura dan vihara juga. Kita bujuk baik-baik dan kita doakan mereka, agar bersedia kepada rakyat mengembalikan jarahan mereka.

Celakanya, jika di antara jamaah malling itu ada keluarga kita, ada hubungan darah atau teman sekolah, maka kita cenderung tutup mata, tak sampai hati menegurnya.

Celakanya, bila di antara jamaah malling itu ada orang partai kita, orang seagama atau sedaerah, kita cenderung menutup-nutupi fakta, hukumnya lalu dimakruh-makruhkan dan diam-diam berharap semoga kita mendapatkan cipratan harta tanpa ketahuan siapa-siapa.

Malling ini adalah kawanan anai-anai dan rayap sejati. Dan lihat kini jendela dan pintu rumah Indonesia dimakan rayap. Kayu kosen, tiang, kasau, jeriau rumah Indonesia dimakan anai-anai. Dinding dan langit-langit, lantai rumah Indonesia digerogoti rayap. Tempat tidur dan lemari, meja kursi dan sofa, televisi rumah Indonesia dijarah anai-anai. Pagar pekarangan, bahkan fondasi dan atap rumah Indonesia sudah mulai habis dikunyah-kunyah rayap.Rumah Indonesia menunggu waktu, masa rubuhnya yang sempurna.

Aku berdiri di pekarangan, terpana menyaksikannya. Tiba-tiba datang serombongan anak muda dari kampung sekitar.

“Ini dia rayapnya! Ini dia Anai-anainya,” teriak mereka. “Bukan. Saya bukan Rayap, bukan,” bantahku.

Mereka berteriak terus dan mendekatiku dengan sikap mengancam. Aku melarikan diri kencang-kencang. Mereka mengejarkan lebih kencang lagi. Mereka menangkapku.

“Ambil bensin,” teriak seseorang. “Bakar Rayap,” teriak mereka bersama.

Bensin berserakan dituangkan ke kepala dan badanku. Seseorang memantik korek api.

Aku dibakar. Bau kawanan rayap hangus. Membubung ke udara.

(*)


Editor: Dera Liar Alam